Islam Menjaga Kestabilan Mata Uang


Alfisyah, S.Pd (Aktivis muslimah Medan)

Indonesia benar-benar dalam kondisi yang memprihatinkan. Sejak Januari 2015, nilainya telah merosot nyaris melewati ambang batas psikologis (Banjarmasinpos.co.id) Memang, tidak ada konsensus berapa persen pelemahan suatu mata uang hingga dikategorikan krisis. Para pejabat pemerintah pun tetap bersikukuh jika saat ini Indonesia belum masuk dalam kategori krisis. Namun yang pasti, pelemahan rupiah telah membuat perekonomian Indonesia ‘panas-dingin’.
Dampak pelemahan rupiah ini berimplikasi pada beberapa hal diantaranya;


Pertama, menekan produsen dalam negeri terutama importir dan perusahaan yang mengandalkan bahan baku impor. Imbasnya, mereka terpaksa menyesuaikan produk, menaikkan harga atau mengurangi kapasitas usaha mereka yang sebagian berdampak pada pengurangan jumlah tenaga kerja.
Kedua, menurunkan daya beli masyarakat akibat kenaikan harga barang (imported inflation) dan menaikan jumlah pengangguran. Sektor-sektor lain yang tidak berhubungan secara langsung dengan perdagangan luar negeri ikut terkena dampaknya.

Ketiga, meningkatkan biaya pembayaran utang luar negeri. Menurut keterangan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), pada tahun 2018 secara nominal, ULN akhir Mei 2018 tercatat sebesar US$ 358,6 miliar atau sekitar Rp5.075,3 triliun (kurs Rp14.153), sedangkan ULN akhir April 2018 sebesar US$356,9 miliar. Utang tersebut terdiri dari utang pemerintah dan bank sentral sebesar US$ 182,5 miliar dan utang swasta termasuk BUMN sebesar 176,1 miliar dolar AS pada akhir Mei 2018 (VIVANEWS,17 Juli 2018).Kerugian kurs akibat pelemahan rupiah juga kerap menimpa BUMN dan perusahaan-perusahaan swasta yang mengandalkan utang luar negeri.

Ada beberapa faktor fundamental yang menjadi sebab krisis pada sistem ekonomi kapitalisme termasuk krisis mata uang yaitu: penggunaan mata uang kertas (fiat money), sistem finansial yang berbasis riba dan bersifat spekulatif serta liberalisasi perdagangan dan investasi. Hal-hal tersebut tentu saja tidak akan terjadi jika negara ini mengadaposi sistem islam. Berikut perbedaannya.

Terkait dengan penggunaan mata uang kertas (fiat money), maka yang menjadi masalah adalah jika uang yang nilai nominalnya tidak ditopang oleh nilai yang bersifat melekat pada uang itu (intrinsic value). uang menjadi berharga lantaran ia dilegalkan oleh stempel pemerintah atau otoritas moneter suatu negara. Dampaknya, jika ekonomi atau politik negara tersebut melemah, mata uangnya ikut melemah. Standar tersebut juga membuat pemerintah lebih mudah untuk menambah pasokan uang yang selanjutnya dapat mendorong kenaikan inflasi. Contoh mutakhir adalah kebijakan quantitave easing oleh bank-bank sentral Eropa, AS dan Jepang yang menambah uang beredar dengan membeli surat-surat utang pemerintah. Dampaknya, inflasi menggerogoti nilai kekayaan masyarakat dan mengurangi daya beli dalam jangka panjang. Kondisi tersebut membuat mata uang kertas menjadi salah satu sasaran spekulasi di pasar uang. pemerintah tak jarang harus turun tangan untuk melakukan intervensi pasar dengan menggelontorkan cadangan devisanya untuk menstabilkan mata uangnya. Jika kurang, mereka terpaksa berutang kepada negara lain ataupun kepada institusi internasional terutama IMF yang menjadi penanggung jawab utama sistem moneter global saat ini.

Sebaliknya, di dalam Islam, negara wajib mengadopsi standar mata uang emas dan perak. Dengan demikian uang yang beredar baik dalam bentuk emas dan perak, ataupun mata uang kertas dan logam yang ditopang oleh emas dan perak, nilainya ditopang oleh dirinya sendiri. Dengan kata lain, nilai nominalnya ditentukan oleh harga komoditas yang menjadi fisik atau penopangnya (intrinsic value). Kondisi tersebut membuat pemerintah tidak bebas memproduksi uang yang beredar. Ia hanya dapat menambah jumlah uang subtitusi baik kertas ataupun logam sejalan dengan peningkatan cadangan emas dan perak yang dimiliki negara. Kegiatan spekulasi oleh para spekulan untuk mempengaruhi nilai tukar mata uang negara tersebut menjadi sangat berat. Pasalnya, yang mereka spekulasikan sejatinya adalah emas dan perak. Meskipun demikian, Khilafah akan berupaya agar negara-negara di dunia ini kembali mengadopsi standar emas dan perak sehingga harga emas di pasar global dapat bergerak lebih stabil, sebagaimana yang terjadi ketika negara-negara di dunia ini mengadopsi standar ini hingga Perang Dunia I berkecamuk.

Selanjutnya adalah Sektor finansial yang berbasis riba merupakan salah satu pemicu utama krisis ekonomi yang melanda negara-negara kapitalis di dunia ini. Transaksi perbankan dan jasa keuangan, juga perdagangan surat utang baik yang diterbitkan pemerintah maupun swasta, tidak lepas dari riba. Kebijakan bank sentral untuk mengontrol inflasi, mengendalikan nilai tukar mata uang dan menstimulasi perekonomian juga menggunakan kebijakan yang antara lain berbasis riba. Sebagai contoh, jika bank sentral bermaksud memperkuat nilai tukar mata uangnya, maka salah satu cara yang dapat ditempuh adalah menaikkan suku bunga. Dengan demikian diharapkan minat orang untuk berinvestasi di negara tersebut khususnya di sektor finansial meningkat; permintaan mata uang negara itu pun akan meningkat sehingga nilainya menguat. Pada saat yang sama, sektor perbankan secara otomatis akan menaikkan suku bunga pinjaman meski membuat beban debitur meningkat.
Hal tersebut tentu tidak akan dijumpai di dalam kehidupun Islam. Riba telah diharamkan secara tegas di dalam al-Quran dan as-sunnah. Oleh karena itu, negara tidak akan mengeluarkan kebijakan atau melakukan tindakan yang mengandung unsur riba seperti melakukan pinjaman ke Bank Dunia atau IMF. Kegiatan bisnis yang mengandung riba baik oleh institusi maupun perorangan dianggap sebagai kegiatan yang ilegal yang pelakunya diberi sanksi oleh negara.

Selanjutnya dalam sistem ekonomi kapitalisme, selain perbankan dan penerbitan obligasi, pasar saham menjadi salah satu sumber modal perusahaan yang berbentuk perseroan terbatas (PT). Perdagangan di pasar ini selain dipengaruhi oleh faktor-faktor yang bersifat fundamental juga dipengaruhi faktor-faktor yang bersifat spekulatif. Bahkan aspek spekulasi sangat dominan di pasar ini. Dengan adanya liberalisasi investasi, investor dapat menyerbu dengan mudah pasar saham satu negara dan sebaliknya mereka dapat membuat indeks saham negara tersebut anjlok hanya karena suatu isu yang belum pasti. Sebagai contoh, isu naik-tidaknya kenaikan suku bunga the Fed telah membuat Indeks Harga saham Gabungan (IHSG) mengalami fluktuasi tajam dalam dua tahun terakhir. Buntutnya, rupiah ikut berfluktuasi.

Kondisi tersebut tidak akan terjadi dalam Negara Islam/Khilafah. Pasalnya, model akad perusahaan yang mengeluarkan saham yang diperdangkan di pasar modal yakni perseroan terbatas (PT), bertentangan dengan islam. Walhasil, saham yang berasal dari PT juga menjadi haram diperdagangkan.Keharaman PT adalah karena akad (kontrak) pendiriannya bertentangan dengan konsep akad kerjasama bisnis (syirkah) dalam islam. Sebagaimana diketahui, syirkah baik yang berbentuk ‘inân, ‘abdan, mudhârabah, dan mufâwadhah mengharuskan adanya keterlibatan pihak yang menjadi pengelola bisnis dalam akad pendiriannya.
Hal ini berbeda dengan akad PT. Akad pembentukan PT sama sekali tidak melibatkan pihak yang menjadi pengelola. Yang berakad hanyalah para pemilik modal. Adapun pihak pengelola yang disebut dengan direksi bukanlah bagian dari orang yang terlibat dalam akad meski disebut di dalam akte pendirian perusahaan. Ia hanya ditunjuk oleh para pemodal. Buktinya, kompensasi bagi dia ditetapkan dengan sistem upah dan bukan dengan pembagian keuntungan atau tanggung risiko berdasarkan modal sebagaimana yang berlaku bagi para pemodal. Ia juga dapat diganti jika dikehendaki oleh pemodal tanpa perlu memperbarui status perusahaan. Inilah salah satu alasan mengapa eksistensi pasar saham dalam sistem kapitalisme bertentangan dengan islam.

Faktor lain yang juga menjadi penyebab melemahnya rupiah dewasa ini adalah liberalisasi perdagangan dan investasi. Liberalisasi di sektor perdagangan membuat produk-produk asing membanjiri pasar domestik. Di sisi lain, akibat tidak adanya visi negara ini untuk menjadi negara yang tangguh dan mandiri, produsen dalam negeri dibiarkan bersaing bebas tanpa proteksi dan dukungan yang memadai. Akhirnya, barang-barang yang sangat penting seperti pangan dan produk industri-industri strategis yang semestinya diproduksi di dalam negeri, harus bergantung pada impor.

Pada saat yang sama, investor asing diberi keleluasaan untuk berinvestasi di berbagai sektor termasuk sektor yang menguasai hajat hidup orang banyak seperti di sektor pertambangan dan infrastruktur publik. Dampaknya, aliran dana yang keluar dalam bentuk pendapatan investasi asing baik langsung, portofolio dan investasi lainnya (pendapatan primer) dari tahun ke tahun semakin besar. Pada tahun 2014, misalnya, defisit transaksi pendapatan primer Indonesia mencapai 28 miliar dolar AS.

Dalam pandangan Islam kebijakan liberalisasi ekonomi diharamkan. Sektor perdagangan luar negeri seluruhnya harus terikat pada hukum syariah dan diawasi oleh negara. Sebagai contoh, tidak semua negara boleh melakukan transaksi perdagangan dengan Negara islam/Khilafah. Islam melarang hubungan dagang dengan negara-negara yang berstatus kafir harbi fi’l[an], negara yang sedang berkonfrontasi dengan Negara islam. Barang-barang tertentu yang oleh negara dipandang dapat memperkuat negara-negara kufur dalam memerangi kaum muslim dilarang untuk diekspor.

Lebih dari itu, islam mendorong agar negara Khilafah dapat menjadi negara yang mandiri dan melarang ketergantungan yang dapat mengakibatkan negara-negara kafir menjajah negara tersebut. Oleh karena itu barang dan jasa yang esensial seperti pangan, energi, infrastruktur dan industri berat harus mampu dihasilkan secara mandiri. Kemandirian dan produktivitas yang tinggi akan mendorong Khilafah menjadi negara eksportir barang dan jasa yang bernilai tinggi. Hal ini tentu saja akan memberikan keuntungan berupa peningkatan cadangan devisa yang dapat dipergunakan dalam banyak hal untuk membangunan kekuatan negara.

Selain itu, islam mengharamkan adanya liberalisasi investasi. Sebagai contoh, investor yang berasal dari negara yang berstatus dârul-harbi tidak diperkenankan masuk ke negara Khilafah. Objek investasi juga dibatasi; investasi swasta pada sektor yang masuk kategori barang milik umum, seperti pertambangan yang depositnya besar, tidak diperkenankan.

Meskipun demikian, penerapan islam secara komprehensif menjadikan kegiatan investasi menjadi sangat kondusif. Sebagai contoh, negara tidak diperkenankan menarik pajak. pajak hanya ditarik pada saat pemasukan negara tidak mencukupi untuk membiayai pengeluaran yang bersifat wajib dan hanya dikenakan kepada kaum muslim yang mampu. Akses permodalan tidak mengenal istilah bunga. Nilai tukar mata uang stabil. Inflasi rendah dan terkendali. Infrastruktur yang memadai. Negara, melalui Baitul Mal, juga terlibat secara aktif dalam menggerakkan perekonomian seperti pemberian subsidi dalam bentuk lahan, modal dan sarana lainnya. Dengan demikian, investasi akan berkembang sehingga ekonomi akan tumbuh dengan pesat, stabil dan—tentu saja—berkeadilan.

Indonesia butuh Khilafah. Setidaknya itulah kata pamungkas yang dapat mengatasi problem mematikan ini.Maka implementasi sistem ekonomi yang berasas islam dalam aspek moneter, fiskal, perdagangan luar negeri dan investasi, sebagaimana yang dicontohkan di atas, tentu tak mungkin diterapkan kecuali oleh negara. Di sisi lain, implementasi sistem ekonomi islam juga tidak dapat dipisahkan dengan sistem lainnya di bidang pemerintahan, hukum, pendidikan, sosial dan politik luar negeri yang semuanya wajib diterapkan. Oleh karena itulah, penegakan negara Khilafah islam menjadi suatu hal yang niscaya. Khilafah Islam adalah mahkota kewajiban (tâjul furûdh) sebab banyak kewajiban hanya dapat terlaksana dengan adanya Khilafah, termasuk dalam bidang moneter.
WalLâhu a’lam bi ash-shawâb.