Ulama dan Pemain Figuran


Oleh : Abu Hana Al Jawy

Publik memang sempat kaget ketika Ir. H. Joko Widodo yang saat ini masih menjabat sebagai Presiden RI, menetapkan Prof. Ma"ruf Amin (Ketua MUI) sebagai pendampingnya dalam Pilpres 2019 mendatang. Betapa tidak, pasalnya sebelum ketetapan ini, presiden yang didukung penuh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) itu selalu diidentikkan sebagai rezim yang anti Islam. Juga dianggap sebagai rezim yang mengkriminalisasi ulama. Loh, kok sekarang menggandeng Ketua MUI?

Sementara kubu Prabowo, sejak awal terkesan sudah "mesra" dengan para ulama. Itu terbukti saat sejumlah ulama melakukan ijtimak, lalu menjatuhkan pilihan mutlak kepada sosok  mantan Jendral Kopassus yang kini menjadi Pembina Partai Gerindra. Ijtimak melengkapi wakilnya dengan Ustadz Abdul Somad (UAS), walaupun akhirnya ulama yang digadang-gadang itu menolak sehingga pilihan jatuh pada Sandiaga Uno. Di sini ada yang mengatakan, Prabowo "tidak patuh" terhadap ijtimak ulama. Ia seharusnya menggandeng Habib Assegaf Al Jufri, seorang ulama yang juga politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS).

Ada realitas bahwa satu kubu kesannya menggandeng ulama, kubu yang lain kesannya meninggalkan ulama. Tetapi benarkah yang tampak di depan mata kita itu adalah fakta sebenarnya? Mengungkap ini tentulah tidaklah terlalu sulit. Semua pasti bisa melakukannya, sepanjang menggunakan "mikroskop" yang steril dari berbagai  kepentingan yang memihak.

Hal yang pasti dari fenomena di atas adalah ini sebuah kewajaran. Tentunya kewajaran dalam sebuah sistem yang bernama demokrasi. Para pemainnya hanya boleh fokus pada Gol yang akan dicetak. Apakah gol itu dilakukan dengan curang, misalnya ketika berada di dalam kotak pinalti lawan berpura-pura jatuh dijegal agar mendapat kompensasi tendangan  pinalti atau dengan cara-cara keras menerjang lawan. Semuanya sah, sepanjang dilakukan dengan baik dan tidak ketahuan wasit. Walaupun sebenarnya ada wasit yang pura-pura tak tahu.

Jika sebelumnya merasa 'eneg' dengan ulama, lalu sekarang senang melihat ulama juga boleh-boleh saja, asalkan itu bermanfaat untuk mendulang suara pada pemilihan mendatang. Disini, tidak ada aturan yang dilanggar sekalipun hanya sebatas etika politik karena etika itu sendiri tak memiliki nilai yang rigid (kaku), ukurannya tergantung siapa yang menilainya.

Pada pemilihan gubernur atau kepala daerah yang baru lalu, boleh saja satu kubu meneriakkan penolakan dan mengutuk adanya politik identitas. Atau melarang agama dibawa-bawa ke ranah politik praktis. Atau menolak ulama terlibat dalam politik praktis itu.  Tetapi dalam kesempatan lain (Pilpres, misalnya), boleh saja kubu tadi berbalik menjadikan ulama sebagai simbol-simbol untuk memenangkan "pertarungan".

Terlepas dari itu semua, saat berubahnya fikiran mereka menjadikan ulama sebagai sosok yang penting untuk diperjuangkan sebagai bagian dari pimpinan, apakah itu murni semata karena keinginan luhur atau hanya sekadar menjadikan ulama sebagai "model iklan" lalu ditempatkan sebagai pemain figuran?

Agaknya tepat apa yang dilakukan UAS. Ia menolak menjadi bagian dari paket itu. Ia mungkin menyadari bahwa seorang Wakil Presiden tidak akan mampu memberikan peran signifikan bagi kepentingan umat. Ia pun mungkin tak mau keberadaannya justru memberikan andil buruk bagi "kesucian sosok ulama", yakni ketika berada di dalam puncak kekuasaan justru tak memberi "warna" apa-apa bagi Islam atau malah terjebak ke dalam pusaran korupsi.

Atau mungkin dia menyadari bahwa sosoknya yang fenomenal itu hanya akan menjadi "magnit" untuk menarik dukungan. Jika benar inilah yang menjadi tujuan pemangku kepentingan, tentu keberadaan ulama di dalam pusaran politik ini sungguh sangat menyedihkan. Ia digandeng, ditinggikan dan "disucikan" hanya untuk menjadi pemuas nafsu pemburu kekuasaan. Ia hanya laksana seperti sosok wanita seksi dalam iklan-iklan produk sabun agar jualannya bisa laris manis menembus pasar. Setelahnya hanya menjadi pemain figuran.

Ironis. Tetapi itulah demokrasi, menghalalkan segala cara untuk meraih kekuasaan. Padahal dalam Islam, praktek-praktek seperti itu sangat tercela.