Menyoal Progam Kabupaten/Kota Layak Anak



Oleh : Sri Cahyo Wahyuni, SPi (Praktisi dan Pemerhati Gerakan Perempuan, Keluarga dan Generasi)

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Republik Indonesia, Yohana Yambise, memberikan penghargaan kota Layak Anak (KLA) kategori Pratama 2018 kepada Pemko Kota Medan karena kota Medan dianggap sudah memenuhi kriteria sebagai kota yang peduli terhadap tumbuh kembang anak. Namun menurut anggota komisi b DPRD Medan, Surianto SH, hal itu sangat jauh berbeda dengan kenyataan. Fasilitas tempat bermain anak yang disediakan oleh Pemko Medan dinilainya masih sangat minim. Terlepas dari adanya pro dan kontra terhadap penghargaan yang diberikan Kementrian PPPA kepada Pemko Medan sebagai Kota Layak Anak dengan kategori Pratama.

Program Kabupaten/Kota Layak Anak (KLA) ini ada beberapa hal yang masih perlu dipertannyakan. Diantaranya adalah apa sebenarnya Kabupaten/Kota layak Anak?. Apa tujuan program KLA?. Mengapa Kabupaten dan kota Layak anak ini dikembangkan? Apa landasan progam KLA ini dan indikatornya? Benarkah KLA sebagai solusi terhadap pemenuhan hak anak? Pertama, Kota Layak Anak adalah Kabupaten/Kota yang mempunyai sistem pembangunan berbasis hak anak melalui pengintegrasian komitmen dan sumber daya pemerintah, masyarakat dan dunia usaha, yang terencana secara menyeluruh dan berkelanjutan dalam kebijakan, program dan kegiatan untuk menjamin terpenuhinya hak dan perlindungan anak.

KLA memiliki dua tujuan yaitu tujuan umum dan tujuan khusus. Secara Umum: Untuk memenuhi hak dan melindungi anak. Secara Khusus: Untuk membangun inisiatif pemerintahan kabupaten/kota yang mengarah pada upaya transformasi Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of the Child) dari kerangka hukum kedalam definisi, strategi dan intervensi pembangunan, dalam bentuk: kebijakan, program dan kegiatan pembangunan yang ditujukan untuk pemenuhan hak dan perlindungan anak (PHPA), pada suatu wilayah kabupaten/kota.

Indonesia sebagai Negara yang telah meratifikasi Konvensi Hak-Hak Anak (KHA), berkomitmen membangun Indonesia Layak Anak. Ratifikasi KHA disahkan dengan Keppres No.36/1990 tertanggal 25 Agustus 1990 dan terikat pada ketentuan-ketentuan KHA terhitung sejak 5 Oktober 1990. Upaya untuk mewujudkan Indonesia Layak Anak diawali dengan pengesahan UU no 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pada tanggal 22 Oktober 2002, Undang-undang ini berorientasi pada hak-hak anak seperti yang tertuang dalam Konvensi Hak-hak Anak.

Selain itu, Indonesia juga telah ikut menandatangani World Fit For Children Declaration (WFC) atau Deklarasi Dunia Layak Anak (DLA) pada tanggal 10 Mei 2002) pada saat Sidang Umum PBB ke-27 Khusus mengenai Anak (27th United Nations General Assembly Special Session on Children). memperkuat kebijakan KLA, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak telah menerbitkan Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Nomor 2 Tahun 2009 tentang Kebijakan Kabupten/Kota Layak Anak. Pengembangan Kabupaten/Kota Layak Anak juga telah ditetapkan sebagai salah satu prioritas pembangunan nasional yang tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 17 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2010-2014.

Selain itu, Presiden Republik Indonesia menginstruksikan ”Pengembangan Kebijakan Kabupaten/Kota Layak Anak” sebagai salah satu prioritas program bidang perlindungan anak sebagaimana yang tertuang dalam Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2010 tentang Percepatan Pelaksanaan Prioritas Pembangunan Nasional 2010. Kedua, Landasan INTERNASIONAL dalam penetapan progam KLA ini adalah Deklarasi Hak Asasi Manusia Konvensi Hak-hak Anak , World Fit For Children.

Sedangkan landasan NASIONAL-nya adalah Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28b ayat 2 dan 28c , UU 2/2015 tentang RPJMN 2015-2019 , UU 17/2007 tentang RPJPN 2005-2025 , UU 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah , UU 35/2014 perubahan atas 23/2002 tentang Perlindungan Anak , UU 12/2011 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Inpres 01/2010 tentang Program Prioritas Pembangunan Nasional, Inpres 05/2014 tentang Gerakan Nasional “Anti Kejahatan Seksual terhadap Anak" (GN-AKSA). Sedangkan Indikator KLA ditetapkan sebagai variabel yang digunakan untuk mengukur pelaksanaan pemenuhan hak anak di daerah dalam upaya mewujudkan KLA. Hal ini juga acuan bagi pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi kebijakan, program dan kegiatan pemenuhan hak anak untuk mewujudkan KLA.

Indikator ini terdiri dari 6 kelembagaan dan 25 indikator subtansi yang dikelompokkan dalam 5 klaster hak anak yaitu Hak Sipil dan Kebebasan Lingkungan Keluarga dan Pengasuhan Alternatif Kesehatan dan Kesejahteraan Dasar Pendidikan, pemanfaatan waktu luang dan kegiatan budaya Perlindungan khusus. Hak Sipil dan kebebasan terutama kebebasan berpendapat mendapat tempat yang sangat penting dalam KLA. dalam Pasal 5 Permen 11/2011 disebutkan bahwa salah satu prinsip Kebijakan Pengembangan KLA adalah penghargaan terhadap pandangan anak, yaitu mengakui dan memastikan bahwa setiap anak yang memiliki kemampuan untuk menyampaikan pendapatnya, diberikan kesempatan untuk mengekspresikan pandangannya secara bebas terhadap segala sesuatu hal yang mempengaruhi dirinya.

Hal ini sejalan dengan KHA pasal 12 yang memberi kebebasan kepada anak untuk menyatakan pendapatnya tentang semua hal. Kebebasan berpendapat pada anak ternyata diberi ruang yang sangat besar. Untuk mempercepat perwujudan kebebasan berpendapat, melalui Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2004-2009 Indonesia memprogramkan pembentukan berbagai wadah seperti Forum Anak, Parlemen Remaja, Kongres Anak Indonesia, Forum Partisipasi Anak Nasional, Konsultasi Anak Nasional, Dewan Anak, dan Pemilihan Pemimpin Muda Indonesia, guna mendengarkan dan menyuarakan pendapat dan harapan anak sebagai bentuk partisipasi anak dalam proses pembangunan. Bahkan pemilihan Pemimpin Muda Indonesia sudah dilakukan Sejak tahun 2004. Berbagai forum tersebut diselenggarakan dengan dukungan UNICEF dan organisasi non pemerintah internasional.

Salah satu tujuan dari kegiatan ini adalah memberikan pengakuan terhadap anak berusia dibawah 18 tahun yang telah berpartisipasi memasyarakatkan pelaksanaan Konvensi. Konsep ini jelas bertentangan dengan Islam. Islam memang memberi ruang bagi kebebasan berpendapat, dengan catatan pendapat tersebut tidak boleh bertentangan dengan Islam atau pemikiran Islam. Adanya banyak forum bebas berpendapat bagi anak dengan asas HAM justru akan menjauhkan anak dari rambu-rambu berpendapat dalam Islam, karena HAM sendiri bertentangan dengan Islam.

 KLA juga menjadi sarana tercapainya kesetaraan gender. Dalam resolusi Majelis Umum no S-27/2.tentang World Fit for Children poin 23 dinyatakan : Secara nyata tercapainya pemenuhan hak anak disandarkan kepada terwujudnya perempuan yang menikmati semua hak asasi manusia dan kebebasan fundamental, dengan promosi kesetaraan gender dan kesetaraan akses dengan pengarusan program dan kebijakan berperspektif gender.

Dengan kata lain, kesetaraan gender menjadi prasyarat terpenuhi hak anak. Ketiga, dengan mencermati program pengembangan KLA dengan KHA dan DLA sebagai landasan, maka jelas arah yang akan dituju dalam memenuhi hak anak khususnya dalam membentuk kerangka berpikir anak, yang dalam KHA didefinisikan sebagai seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Dan ketika konsep KHA dan DLA bertentangan dengan Islam, maka dapat dibayangkan seperti apa kerangka berpikir anak yang terwujud melalui pengembangan KLA.

Pengesahan KHA menjadi alat untuk merubah pandangan anak-anak dan menanamkan nilai-nilai global yang bertentangana dengan Islam. langkah ini tentu saja menjadi lebih strategis karena kondisi anak-anak sedang tumbuh dan berkembang. Sejak dini anak-anak muslim sudah diarahkan untuk memiliki pola berpikir ala Barat, yang memberikan otoritas kepada manusia untuk membuat aturan.

Dengan demikian anak-anak muslim dibiasakan untuk menghilangkan hak Allah dalam menentukan satu pemikiran, dan KLA dengan segala macam forum bentukannya menjadi sarana efektif untuk memberikan lingkungan yang bertentangan dengan Islam mengikuti arahan KHA. Maka anak-anak diarahkan kepada kebebasan dalam segala hal – yang dalam bahasa World Fit For Chidren disebut kebebasan fundamental. Jelaslah ini merupakan upaya liberalisasi anak-anak muslim. Wallahu'alam.