Mengembalikan Idealisme Perempuan


Oleh: Uci Riswahyu (Aktivis Muslimah / Pemerhati Perempuan)

Berbicara tentang perempuan kita sering mendengar bahwa perempuan itu adalah tulang rusuk yang bengkok, Allah menciptakannya untuk dilindungi bukan untuk disakiti atau bahkan diperlakukan semaunya. Namun, keprihatinan yang sangat mendalam justru terlihat jelas dalam potret perempuan saat ini dimana perempuan diperlakukan sangat rendah bahkan tidak manusiawi. Fakta yang memilukan adalah ketika kepala dinas Pemberdayaan Perempuan (PP) dan Perlindungan Anak (PA) Sumatera Utara, Nurlela menyebutkan bahwa telah menerima 280 laporan kekerasan terhadap perempuan dan anak yang terjadi sepanjang 2017 (Top metro. News). Adapun yang lebih memprihatinkan adalah jumlah kekerasan perempuan dalam cakupan nasional dimana Komnas perempuan membeberkan catatan tahunan pada tahun 2017. Dalam laporan itu terdapat 259 ribu kasus kekerasan terhadap perempuan di seluruh Indonesia. Ketua Komnas Perempuan, Azriana, mengatakan kekerasan ranah personal masih menepati urutan atas yakni 255 ribu kasus. Bentuk kekerasan diranah personal itu, jelas Azrina, semisal kekerasan fisik, psikis, seksual dan kekerasan ekonomi (m.kbr. id) . 
Dari data tersebut jelaslah bahwa begitu banyak kaum perempuan saat ini yang kehilangan kemuliaannya. Maraknya kekerasan terhadap perempuan tidak membuat pemerintah berdiam diri dimana Pemerintah mengambil tindakan dengan menyelenggarakan Koferensi Nasional Pemulihan kekerasan Perempuan pada tanggal 26-28 Oktober 2015. Hadir dalam kesempatan tersebut koordinator panitia konferensi yaitu Indriyati Suparno yang juga menjabat Ketua Sub Komisi pengembangan sistem pemulihan komnas perempuan Forum Pengada Layanan (PPI) Wilayah barat Yefri Heriani, Redima dari Aliansi Sumut Bersatu, Sierly Anita dari LBH APK dan Detti Arttsanti dari komnas perempuan. Konferensi yang membahas terkait penanganan pemulihan korban kekerasan terhadap perempuan ini bekerjasama dengan Komisi Nasional anti kekerasan terhadap perempuan (Komnas Perempuan) , Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Universitas Sumatera Utara dan Pemprov Sumut.

Sekda Provsu Hasbah Ritonga menyampaikan bahwa pemerintah memiliki kepedulian pada penanganan kekerasan terhadap perempuan. Dimana salah satu Nawacita Pemerintahan Jokowi-JK butir ke empat menyebutkan memperkuat kehadiran Negara dalam melakukan reformasi sistem dan penegakkan hukum yang bebas korupsi bermartabat dan tepercaya. Arah kebijakan dan strategi yang dilakukan diantaranya adalah penanganan kekerasan terhadap perempuan dan anak dan penguatan tindak lanjut penanganan kekerasan terhadap perempuan dan kekerasan seksual sebagaimana tertuang dalam PPJMN 2015- 2019. Oleh karenanya, hal itu menuntut Sekda akan menjadi tanggung jawab bersama baik Pemerintah pusat dan daerah untuk mewujudkannya. Harapan Sekda, konferensi dapat memberikan masukan dan rekomendasi untuk kebijakan penanganan korban kekerasan terhadap perempuan termasuk pemulihannya. Menurutnya Sumut termasuk yang rawan terjadinya kekerasan terhadap perempuan. (sumutprov.go.id) Konferensi seperti ini sudah sering dilaksanakan namun kenyataannya tidak mampu menghapus potret kelam kaum perempuan, sebab kekerasan terhadap perempuan tetap saja terjadi hingga saat ini. Permasalahan perempuan pastilah tidak dapat dipecahkan hanya dengan melakukan reformasi terhadap sistem, sementara asasnya saja masih berkiblat pada buah pemikiran kafir penjajah yakni kapitalisme yang sejatinya pengusung berbagai kebebasan. Kondisi perempuan saat ini tidaklah hanya dijajah secara fisik melainkan juga diserang secara pemikiran, pasalnya begitu banyak perempuan yang tidak mengenali jati diri dan perannya sebagai perempuan. 
Propaganda - propaganda menyesatkan terus saja mengalir deras hingga kaum perempuan terhanyut didalamnya. Banyak perempuan saat ini yang disibukkan dengan aktivitas yang justru bertentangan dengan fitrahnya. Fitrah perempuan sebagai tulang rusuk yang bengkok harus dipaksakan menjadi tulang punggung yang bongkok karena harus menjadi penopang ekonomi keluarga bahkan ekonomi Negara. Opini kesetaraan gender seolah sudah merasuk ke dalam jiwa kebanyakan kaum perempuan hingga mereka terlupa dengan idealismenya. Ini tentunya sangat berbahaya jika kondisi tersebut terus saja dibiarkan, sebab di tangan perempuanlah cahaya keberhasilan para generasi terpancar.

Tidak hanya sampai disitu, dalam sistem saat ini kaum perempuan juga didorong sangat keras untuk terjun ke dalam ranah perpolitikan secara eksploitatif. Berpartisipasi dalam pesta demokrasi yang ilusi serta dituntun untuk bersaing dalam politik praktis. Ketua DPD Kaukus Perempuan Politik Indonesia (KPP) Nurhasanah menyampaikan bahwa perempuan terkesan kurang berani bertarung, padahal jika berani belum tentu kalah. Jikapun kalah setidaknya sudah memiliki pengalaman yang bisa dievaluasi sebagai corong atau sebagai anggota tim sukses kampanye, tim survei, dan sebagainya. perempuan yang mengambil “peran kecil” di pesta politik seperti itu dapat memanfaatkannya sebagai ajang memperluas jaringan dan membuatnya lebih dikenal luas, sebagai upaya beralih ke peran yang lebih tinggi, sebagai bakal calon pemimpin daerah atau pun di lembaga perwakilan rakyat (m.analisadaily.com). Sungguh ini adalah sebuah pemahaman yang sangat keliru dan bertentangan dengan Islam karena perempuan tidak memiliki kewajiban bahkan diharamkan untuk menjadi pemimpin dalam urusan pemerintahan dan Islam sudah memberikan peran yang sangat mulia bagi kaum perempuan.

 Dalam Islam perempuan memiliki kedudukan yang tinggi dan peran yang sangat mulia yakni menjadi ummu warabbatul baith dan al ummu madrosatul uu'laa. Maka wajarlah ketika Islam berdiri dalam sebuah Negara banyak terlahir para generasi cemerlang yang menjadi ulama dan ilmuan yang hebat. Hal itu dikarenakan perempuan mengenali idealismenya sehingga mereka dapat menjalankan perannya dengan sangat baik. Oleh karena itu perempuan saat ini haruslah kembali pada idealismenya sebagai perempuan dan hal itu perlu adanya peran Negara dalam mewujudkannya. Untuk mewujudkannya tidaklah dengan tetap menempuh jalan kapitalis namun dengan kembali pada aturan Islam yang kaffah dalam bingkai Khilafah, karena sudah terbukti bahwa perempuan hanya akan mulia ketika dalam naungan Islam. Wallahua'lambisshawab.