Mengapa Remaja Kita Semakin Agresif?


By : Iwan Januar

Sore itu anak sulung saya pulang dengan cerita mengerikan. Kawan-kawannya terlibat dalam bentrok tawuran melawan warga di malam hari. Gerombolan anak sekolah itu semula hendak menyerang lawan sekolah mereka, namun di lokasi mereka bentrok dengan warga yang bermaksud mencegah tawuran.
Cerita anak saya hanyalah mozaik yang melengkapi chaosnya perilaku kawula muda Indonesia. Kemarin kita dibuat trenyuh dengan kabar meninggalnya seorang guru muda setelah dianiaya muridnya, di Sampang, Madura.
Ini bukan kali pertama murid menganiaya guru. Tahun lalu di  seorang guru senior di Makassar mengalami kebutaan setelah dianiaya siswa dan bapaknya. Ayah dan anak ini kompak menghajar sang guru karena tak terima teguran yang diberikan pada sang anak.
Bahkan perilaku agresif ini juga ditampakkan anak-anak bau kencur. Di Kediri sekelompok anak SD menganiaya kawan sebayanya hanya karena ia melakukan gol bunuh diri dalam pertandingan sepakbola. Selain dipukuli, bocah malang itu juga ditendang kemaluannya. Ia pun harus masuk ICU karena luka serius.
Tak berapa lama kasus penganiayaan guru SMK di Sampang, di Los Angeles, AS terjadi penembakan di sebuah sekolah yang dilakukan siswi (perempuan) berusia 12 tahun dan melukai 5 orang pelajar. Sebelumnya, pada bulan Januari, seorang pelajar SMA berusia 15 tahun melakukan penembakan di Kentucky, AS, melukai 17 orang dan menewaskan dua orang pelajar.
Berita ini sengaja saya sandingkan, karena Indonesia nampaknya mulai mengikuti jejak AS dalam statistik tindak kekerasan oleh pelaku usia muda. Sejak tahun 1989, warga AS berkali-kali mengalami kasus penembakkan massal yang dilakukan usia muda khususnya pelajar. Statistik pada tahun 2010 menunjukkan 784 remaja ditangkap karena kasus pembunuhan dan 2.198 remaja ditangkap karena pemerkosaan. Lengkapnya pembaca bisa melihat di https://www.teenhelp.com/violence-anger/teen-violence-statistics/.
Amarah memang bagian dari karakter dasar manusia yang muncul sebagai naluri membela diri. Ia bermanfaat pada kadar tertentu, namun bisa menjadi berbahaya ketika agresifitasnya meningkat. Membanting pintu, merusak barang-barang, memaki-maki, sampai melukai orang lain adalah bentuk agresifitas yang berbahaya.
Semua terjadi tidak begitu saja, tapi karena sejumlah faktor yang terbentuk dalam rentang waktu cukup lama, sehingga mengubah karakter anak-anak dan remaja menjadi agresif dan beringas.
Apa saja penyebab yang membuat anak-anak dan remaja Indonesia hari ini bisa menjadi begitu agresif dan beringas?
1.  Kekurangan kasih sayang. Dalam tulisan saya https://www.iwanjanuar.com/pengasuhan-adalah-utang-orang-tua-pada-anak/ saya paparkan bahwa manusia bisa mengalami kelaparan kasih sayang. Anak-anak yang jarang dipeluk, dicium, dan diperhatikan orangtuanya akan mengalami kondisi skin hunger. Keadaan ini membuat anak sulit membayangkan rasanya cinta, kasih sayang, dan berempati pada orang lain. Ruang batin anak-anak seperti ini kering dan malah hanya diisi dengan kesedihan bahkan dendam. Mereka sedih karena tak bisa merasakan kasih sayang seperti anak-anak lain, dan juga merasa dendam pada siapa saja yang ia anggap melukai hatinya.
Kasih sayang itu amat bermanfaat bukan saja mengisi ruang batin anak, tapi juga sekaligus sebagai kendali dan rem agresifitas seorang anak. Kecukupan kasih sayang pada seorang anak membuat ia tak mudah melampiaskan amarah apalagi menyakiti orang lain, karena ia bisa khawatir hal itu juga menimpa dirinya.
2.  Pembiaran oleh orang tua dan lingkungan. Ada sebagian orang tua membiarkan anak mereka melakukan tindak kekerasan pada kawannya dengan alasan sebagai latihan membela diri. Padahal orang tua harus bisa membedakan antara mempertahankan diri dengan menyakiti orang lain.
Ada juga orang tua yang out of control, memang benar-benar membiarkan anak mereka mempraktekkan kekerasan pada kawan atau saudara kandungnya. Ini karena kejahilan orang tua dalam pendidikan anak. Kondisi macam ini terutama terjadi pada keluarga broken home, dan keluarga miskin yang orang tua disibukkan dengan pemenuhan kebutuhan pokok. Semakin tinggi level kemiskinan dan jumlah keluarga broken home, maka kekerasan di kalangan anak-anak dan remaja juga meningkat.
disharmonis,
3.  Film, video game dan konten kekerasan lain. Ketika saya menulis buku Kecanduan Video Games yang diterbitkan oleh Gema Insani Press, saya mendapatkan artikel yang berisi pengakuan instruktur militer bahwa konten kekerasan dalam video game sudah melebihi takaran pelatihan militer. Khususnya di Indonesia hampir semua anak dan remaja bisa menonton dan mainkan game meski terdapat konten kekerasan dan pornografi.
4.  Pembiaran oleh sistem. Di dunia maya netizen mulai berceloteh; ketika ada siswa dipukul guru kalian ribut, tapi ketika guru mati di tangan siswa kalian diam saja. Ya, hampir setiap ada kekerasan bahkan berakibat kematian yang dilakukan pelajar selalu ada excuse, pemakluman dan pengecualian. Pada kasus siswa yang memukul guru hingga meninggal, pemda dan sejumlah kalangan langsung meminta agar pelaku tidak dipenjara, tapi diberikan perlakuan khusus yakni dianggap sebagai anak-anak.
Problem inilah yang telah diselesaikan oleh syariat Islam. Dalam sistem pidana Islam, orang yang telah memasuki usia akil-baligh, atau terdapat tanda-tanda baligh/pubertas, ia wajib diperlakukan sebagai orang dewasa. Secara usia, seorang remaja dikatakan dewasa ketika mencapai usia 15 tahun. Maka pada usia itu ia sudah harus wajib terikat dengan hukum-hukum syara’ termasuk dalam tindak pidana. Jadi, kalau kasus siswa yang menganiaya guru hingga tewas, maka jika usianya telah mencapai baligh ia terkena sanksi pidana selayaknya orang dewasa. Ia bisa dituntut qishash atau diyat/denda sebesar 100 ekor unta.

Terakhir, maraknya kekerasan oleh siswa di tanah air, juga cerminan arah dan pola pendidikan nasional masih bermasalah dan sistem sosial masyarakat yang kacau. Pendidikan nasional gagal membentuk karakter siswa berakhlak mulia, apalagi relijius. Ini semua karena sekulerisme menjadi pijakan bangsa ini termasuk dalam dunia pendidikan. Pelajaran agama minim dan sebatas teori, bukan untuk membentuk karakter yang berakhlak luhur. Ironinya, kini pemerintah malah terus menggencarkan program deradikalisasi di sekolah-sekolah dan di kampus-kampus.
Ini ibarat pepatah, buruk muka cermin dibelah. Gagal membentuk karakter remaja, malah justru menyalahkan agama (Islam). Padahal sistem pendidikan dan nilai sosial yang berlaku adalah sekulerisme-liberalisme. Merusak remaja. Inilah cara berpikir absurd.