Khilafah Hanya 30 Tahun dan Tidak Wajib?

Benarkah masa kekhilafahan hanya berlangsung selama 30 tahun, dan setelah itu kerajaan?. Dan benarkah menegakkan khilafah setelah masa 30 tahun tersebut tidak wajib bagi umat Islam?.


Khilafah Setelahku 30 Tahun?


            Hadits yang menyebutkan masa khilafah hanya 30 tahun, sebagaimana penuturan safinah ra, banyak diriwayatkan oleh para ulama hadits seperti Imam at-Tirmidzi dalam kitab Sunan at-Tirmidzi, Imam Ibnu Hibban dalam shahih Ibnu Hibban, dan Imam al-Hakim dalam kitab al-Mustadrak ‘ala shahihain. Namun, tidak satupun dari ulama tersebut yang menyatakan bahwa khilafah tidak wajib.


Sedangkan pernyataan Abu Isa (Imam at-Tirmidzi) sendiri berkaitan dengan hal tersebut menyatakan “Qoola Abu ‘Isa wa fil baabi ‘an Umara wa ‘Aliyyin Qoolaa lam ya’had an-Nabiyyu Shallallahu ‘alaihi Wa sallama fil khilaafati syaian”artinya bukanlah “Abu Isa berkata yang ia dengar dari ‘Ali dan Umar bahwa Rasulullah saw sendiri tidak menetapkan sistem apapun di dalam mengatur khilafah atau pemerintahan.” Terjemah seperti itu tidak benar, kabur, dan menyesatkan. Namun yang benar adalah : “Nabi saw tidak pernah menjanjikan dalam sistem khilafah kepada siapapun.”Justru, pernyataan Abu ‘Isa (Imam at-Tirmidzi) menguatkan tentang adanya khilafah, namun Rasulullah saw tidak pernah menunjuk siapapun yang akan menjadi Khalifah.


Tentang khilafah 30 tahun, Imam an-Nawawiy dalam kitab Syarah Shahih Muslim, juz 12/201, menyatakan, “Yang dimaksud dalam hadits khilafah 30 tahun adalah khilafah an-Nubuwwah.”Sedangkan al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqolaniy dalam kitab Fathul Baariy, juz 19/479, menyatakan “berdasarkan hadits al-Khilafah sesudahku 30 tahun, yang dimaksud khilafah disini adalah khilafah Nubuwwah.Adapun Mu’awiyah dan setelahnya, kebanyakan mereka berjalan di atas jalannya para raja, walaupun mereka disebut Khulafa’ (para khalifah).” Adapun Imam Badr ad-Diin al-Ainiy dalam kitab ‘Umdat al-Qaariy, juz 24/24, menyatakan “Imam Ahmad, Abu Daud, at-Tirmidziy, dan an-Nasaaiy, menuturkan sebuah riwayat dari safinah, maulanya Rasulullah saw, bahwasanya Rasulullah saw bersabda, “Khilafah setelahku 30 tahun, selanjutnya kerajaan … , maka yang dimaksud oleh hadits ini adalah Khilafah Nubuwwah, dan tidak dimaksudkan bahwa tidak ada khilafah selain mereka.”


Di sisi lain, pada masa kekhilafahan Umawiyyah terdapat Khalifah Umar bin Abdul ‘Aziz, padahal ia telah melewati masa 30 tahun setelah Rasulullah saw. Bahkan, ia pun sering disebut para ulama dengan khulafa’ ar-Rasyidiin yang ke lima, Atau  Khalifah Harun ar-Rasyid yang terkenal kecerdasannya pada kekhalifahan Abbasiyyah. Oleh karena itulah Imam as-Suyuthi dalam kitabnya Tarikh al-Khulafa’ tetap menyebutnya sebagai para Khalifah, walaupun ada diantara mereka yang telah melakukan kedzholiman dan terjadi penyimpangan penerapan sebahagian syari’at, khususnya dalam masalah bai’at pada seorang Khalifah. Dari penjelasan di atas dapatlah disimpulkan bahwa makna hadits riwayat safinah “khilafah sesudahku 30 tahun” hanya menjelaskan rentang masa khilafah Nubuwwah setelah Rasulullah saw yang telah dijalankan Oleh para sahabat radhiallahu ‘anhum.



Khilafah Merupakan Kewajiban


            Seluruh Ulama dikalangan salafush sholih dan Ulama ahlus sunnah wal jama’ah telah menyepakati bahwa membai’at seorang khalifah untuk memimpin umat Islam di seluruh dunia adalah Wajib. Hal ini didasarkan pada Firman Allah dalam surah al-Baqarah ayat 30 (artinya) :“Dan ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Aku hendak menjadikan khalifah dimuka bumi.”Imam al-Qurthubiy dalam kitab al-Jaami’ li ahkaam al-Qur’an, juz I/264-265, menyatakan “tidak ada perbedaan tentang wajibnya pengangkatan khalifah tersebut di kalangan umat dan para Imam, kecuali apa yang diriwayatkan oleh Asham, dimana Asham telah menyalahi syari’at, demikian pula setiap orang yang mengatakan pendapatnya dan mengikuti pendapat serta mazhab Asham. Ketika ia berkata : sesungguhnya pengangkatan khalifah tidak wajib dalam agama, padahal pengangkatan khalifah merupakan kewajiban.”


            Imam an-Nawawiy dalam kitab syarah shahih Muslim, juz 6/291, menyatakan “Para ulama sepakat bahwa sesungguhnya wajib atas kaum Muslim mengangkat seorang khalifah.Dan kewajibannya ditetapkan berdasarkan syari’at, bukan berdasarkan akal.Adapun apa yang diriwayatkan Asham, bahwa ia berkata, “tidak wajib”, dan selain Asham yang menyatakan wajib namun berdasarkan akal bukan berdasarkan syari’at, maka dua pendapat ini bathil.”Adapun Asham sebagaimana disebutkan para ulama dalam berbagai kitab mereka adalah seseorang yang berasal dari golongan Mu’tazilah yang berpendapat bahwa mengangkat seorang khalifah tidak wajib.Sedangkan ia kemudian dianggap sesat berikut pengikutnya oleh para ulama karena telah menyimpang dari syari’ah Allah dan Rasul-Nya, menyimpang dari Ijma’ sahabat, menyimpang dari kesepakatan para ulama dan kaum Muslim.


            Kewajiban mengangkat 1 orang Khalifah, sekaligus tidak boleh ada dua orang khalifah atau lebih di seluruh dunia, telah disepakati seluruh ulama madzhab.Asy-Syeikh Abdurrahman al-Jaziri, dalam kitab  al-Fiqh ‘ala Madzahibil ‘arba’ah, juz 5/197, menyatakan “Telah sepakat para Imam (Imam Hanafiy, Imam Malikiy, Imam asy-Syafi’I, Imam Hanbaliy) semoga Allah merahmati mereka, bahwa Imamah (Khilafah) adalah kewajiban, dan wajib bagi kaum Muslim memiliki seorang Imam (Khalifah) yang menegakkan syi’ar-syi’ar agama, menolong orang-orang yang di dzholimi dari orang-orang yang dzholim, dan tidak boleh bagi kaum Muslim pada satu waktu di seluruh dunia memiliki 2 imam (khalifah), apakah mereka bersepakat atau tidak sepakat.”


Nyatalah bahwa kepala negara dalam Islam tidak bisa disebut sebagai Raja yang memimpin kerajaannya, atau presiden dengan sistem republiknya, atau kaisar dengan sistem kekaisarannya, atau nama yang lain selain nama yang telah ditetapkan Islam. Namun, disebut khalifah, Imam, Amirul Mu’minin, atau sulthan al-Muslimin. Hal ini didasarkan pada indikasi bahwa pada masa Rasulullah saw telah banyak sebutan penguasa dan sistem tata negara yang mereka jalankan. Namun, Rasulullah saw beserta sahabatnya tampaknya tidak tertarik pada seluruh sebutan dan sistem tata negara yang ada pada masa itu. Oleh karena itu, sebutan dan sistem tata negara yang dijalankan oleh para sahabat beliau tidak mengacu pada sebutan dan sistem tata negara manapun pada saat itu. Namun, didasarkan pada banyaknya hadits Rasulullah saw tentang khalifah dan sistem tata negara khilafah yang dijalankan sesudah wafatnya Rasulullah saw.


Hal ini pulalah yang dinyatakan as-Syeikh Arsyad Thalib Lubis, dalam buku fiqihnya “kepala negara islam disebut khalifah, artinya pengganti karena ia berkedudukan sebagai pengganti Nabi saw untuk memelihara dan menjalankan syari’at islam. Ia juga disebut Amirul Mu’minin, artinya pemerintah orang-orang Mu’min. dan disebut lagi ImamA’zham,artinya pemimpin yang teragung”, selanjutnya Tuan as-Syeikh Arsyad menyatakan “ia bertugas sebagai pengganti Nabi Muhammad saw untuk memelihara dan menegakkan agama dan siasat dunia”. (H. Arsyad Thalib Lubis, ilmu fiqih, hal. 200-201). Dengan demikian, siapapun yang menyatakan Khilafah tidak wajid berarti ia bukan berasal dari Ahlus sunnah wal jama’ah, namun berasal dari golongan Mu’tazilah yang menyesatkan.Na’udzubillahi Min Dzalik.


Keterangan Gambar khilafahart.net



Deskripsi


Karena Khilafah disatukan oleh ideologi Islam – bukan pada batas statis sebagaimana konsep nation state – maka wilayahnya akan membentang sangat luas, sebagaimana ditunjukkan dalam sejarah kekhilafahan masa lalu. Area kekuasaannya akan mempertemukan batas paling barat dengan sisi paling timur, wilayahnya meliputi daerah siang dan malam.



Detail Karya


- Ukuran: 56 x 76 cm
- Teknik: Cat air di kertas
- Tahun: 2016




Oleh : Muhammad Fatih al-Malawiy
Ketua Lajnah Tsaqafiyyah Hizbut Tahrir Indonesia Sumatera Utara