“Ketika Niat Baik Tanpa Amanah, Refleksi atas Gagalnya Pelayanan MBG”



Oleh : Ice Ummu Farisha
(Pegiat Literasi)

Program Makan Bergizi Gratis (MBG) sejatinya lahir dari niat baik: memastikan anak-anak bangsa mendapatkan asupan bergizi agar tumbuh cerdas dan sehat. Namun di lapangan, niat baik itu sering terantuk pada kenyataan pahit, makanan basi, ratusan siswa keracunan, dapur penyedia tanpa standar kebersihan, dan koordinasi pemerintah yang saling lempar tanggung jawab.

Kasus terbaru di Kabupaten Toba, Sumatera Utara, menjadi contoh paling nyata.
Puluhan siswa SMP harus dirawat setelah menyantap makanan MBG yang diduga terkontaminasi. Beberapa dapur penyedia akhirnya disetop, dan penyelidikan masih berjalan. 
Dugaan awal menunjukkan buah semangka yang disajikan dalam kondisi agak berlendir sebagai salah satu bahan yang mencurigakan. 
Pemprov Sumut melalui Dinas Kesehatan telah menurunkan tim gerak cepat untuk menangani kasus ini dan melakukan koordinasi dengan instansi terkait. 
Sampel muntahan dari korban telah diambil untuk diuji di Laboratorium Kesehatan Masyarakat Sumut. 
Sampel makanan (menu MBG) telah dikirim ke BBPOM Medan untuk pemeriksaan keamanan pangan. 
Sementara itu, operasional dapur SPPG Pardomuan Nauli (yang memasok MBG) dihentikan sementara untuk evaluasi dan investigasi. 
Pemerintah Kabupaten Toba meminta agar seluruh dapur SPPG memperketat SOP (Standar Operasional Prosedur) dalam setiap tahap mulai dari bahan baku, proses memasak, hingga distribusi. 
Ini merupakan kejadian dari sekian peristiwa yang terjadi diberbagai daerah. 

Hilangnya Ruh Amanah dalam pelayanan Publik

Perlu harus dipahami bahwa persoalan ini bukan hanya soal teknis.  Kasus dugaan keracunan massal program Makan Bergizi Gratis (MBG) di Toba bukan sekadar persoalan teknis atau kelalaian dapur. Ini adalah cerminan hilangnya ruh amanah dalam menjalankan program yang sejatinya lahir dari niat mulia: memberi gizi bagi generasi penerus bangsa.

Puluhan siswa yang seharusnya tersenyum setelah makan siang justru terbaring lemah di rumah sakit. Ironis. Apakah sekadar karena kurangnya pengawasan higienitas, atau karena nurani tanggung jawab yang mulai tumpul?

Amanah bukan hanya tentang melaksanakan perintah, tapi menunaikan tanggung jawab dengan rasa takut kepada Allah dan kasih pada sesama. Ketika amanah berubah jadi sekadar proyek, maka yang tersisa hanyalah laporan, bukan keberkahan.

Program MBG semestinya menjadi ladang pahala, bukan ajang kelalaian. Makanan yang masuk ke tubuh anak-anak itu bukan sekadar nasi dan lauk pauk, tapi harapan, masa depan, dan doa orang tua yang menitipkan anaknya kepada sistem yang seharusnya menjamin kebaikan.

Solusi Islam
Bila kita membaca dalam sejarah Islam, kita menemukan contoh yang jauh lebih mulia.
Pada masa kekhalifahan, masjid dan rumah jamuan (Dār al-Diyāfah) menyediakan makanan gratis setiap hari bagi fakir miskin dan musafir. Bukan untuk proyek, bukan untuk laporan, tapi untuk ibadah.
Pengelolanya bukan kontraktor, tapi orang-orang beriman yang tahu bahwa satu suapan haram bisa menjadi azab.
Sumbernya bukan APBN, tapi wakaf dana yang dijaga dengan niat suci dan tanggung jawab moral.

Sistem itu sederhana, tapi berjalan ratusan tahun tanpa kasus keracunan massal, tanpa anggaran membengkak, tanpa rakyat kehilangan kepercayaan.
Mengapa? Karena setiap kebijakan dibangun di atas niat, amanah, dan barakah.

Kini, kita menyaksikan bagaimana program MBG tergesa dijalankan di banyak daerah tanpa kesiapan yang memadai dapur belum bersertifikat, tenaga belum terlatih, dan pengawasan pangan lemah.
Akhirnya, yang lahir bukan kesejahteraan, tapi kecemasan.

Kasus dugaan keracunan program Makan Bergizi Gratis (MBG) di Toba seharusnya menjadi bahan introspeksi bersama, bukan sekadar penyelidikan teknis.
Ketika program sebesar MBG diluncurkan, harapannya adalah menghadirkan keadilan gizi bagi anak bangsa. Namun apa arti program besar jika ruh amanah tak lagi menjadi dasar pelaksanaannya?

Dalam Islam, pelayanan sosial bukan hanya urusan kebijakan, tetapi wujud nyata dari ibadah dan tanggung jawab moral. Rasulullah SAW mengajarkan bahwa setiap pemimpin adalah penggembala, dan setiap penggembala akan dimintai pertanggungjawaban atas gembalaannya.
Artinya, memberi makan rakyat bukanlah “proyek negara”, melainkan ujian keikhlasan dan ketelitian bagi setiap pelaksananya.

Dugaan keracunan ini menunjukkan bahwa sistem bisa berjalan, tetapi nurani bisa tertinggal.
Pengawasan, sertifikasi dapur, dan prosedur higienitas memang penting  namun yang lebih penting adalah menumbuhkan rasa takut untuk lalai terhadap amanah publik.
Sebab ketika pelayanan sosial kehilangan ruh kejujuran, maka yang tersisa hanyalah program tanpa jiwa.

Ke depan, pemerintah daerah perlu tidak hanya memperbaiki teknis distribusi makanan, tetapi juga membangun budaya amanah di semua lini pelaksana MBG: dari dapur, sekolah, hingga pengawas lapangan.
Transparansi, pendidikan etika kerja, dan pengawasan moral berbasis nilai keagamaan harus menjadi pilar utama.

Sebab amanah bukan sekadar menjalankan tugas tetapi memastikan bahwa setiap nasi yang disantap oleh anak-anak bangsa membawa berkah, bukan bahaya.

Penutup
Program Makanan Bergizi Gratis adalah program yang harusnya dijadikan untuk penunjang kesejahteraan disekolah.
Program ini hendaknya diperhatikan bukan hanya tentang masalah teknis. Melainkan perlunya penanaman ruh amanah yang bangkit dari pilar utama yaitu agama.
Semua itu akan bisa berjalan bila pemerintah memperkuat kesadaran akan takutnya kepada Tuhan menjadi landasan dan pilar utama dalam menjalankan amanah. Bukan hanya masalah target tetapi segala amanah yang di jalankan bisa dipertanggung jawabkan di hadapan Tuhan.

Wallahu 'alam bissawab