Komoditas Bayi di Medan: Potret Gelap Negeri Kaya Raya
Oleh: Suci Musada, S.M.
Tangisan bayi biasanya menjadi penanda kehidupan baru, harapan, dan doa panjang orang tua. Tetapi di sebuah kamar kos di Padang Bulan, Medan, tangisan itu justru berubah menjadi komoditas. Bayi yang seharusnya direngkuh dengan kasih sayang, ditukar dengan selembar uang. Pada 22 September 2025, Subdit IV Renakta Polda Sumut membongkar sindikat perdagangan bayi. Fakta yang terungkap sungguh mengguncang, yaitu sejak 2023 sudah delapan bayi diperjualbelikan. Jaringan mereka tersusun rapi, penjual dan pembeli terputus jejak, seakan-akan ini hanya transaksi dagang biasa (Medanbisnisdaily, 22/09/2025).
Siapa yang bisa membayangkan, seorang ibu rela melepaskan darah dagingnya sendiri? Tetapi kita harus berani melihat lebih dalam bahwa mereka bukan hanya pelaku, melainkan korban dari sistem yang memaksa. Kemiskinan menelanjangi manusia hingga harga diri runtuh. Ketika perut kosong, pekerjaan sulit, dan harga kebutuhan pokok terus melesat, logika bisa patah. Keputusasaan bisa mengalahkan cinta yang paling murni.
Inilah wajah kapitalisme. Sebuah sistem yang menjadikan uang sebagai tolok ukur segalanya, bahkan nyawa manusia. Kapitalisme menjadikan rakyat kecil tidak lebih dari angka statistik, dan setiap angka hanya berarti beban bagi penguasa. Dalam kapitalisme, kesehatan, pendidikan, bahkan kebutuhan dasar seperti makan dan minum bukan hak, melainkan komoditas yang harus dibeli. Siapa yang punya uang, selamat. Siapa yang tidak, tersingkir.
Kapitalisme lahir dari ide bahwa manusia harus bersaing bebas untuk hidup. Tetapi apa artinya kebebasan bagi si miskin? Yang kaya semakin kuat dengan modal dan aksesnya, yang miskin semakin terjepit tanpa peluang. Negeri yang katanya kaya raya ini pun dijadikan ladang oleh segelintir oligarki. Hutan digunduli, tambang dikeruk, minyak dan gas dijual ke asing. Hasilnya bukan untuk rakyat, melainkan untuk memperkaya elite.
Kapitalisme membuat negara berubah fungsi. Alih-alih menjadi pelindung rakyat, negara hanya jadi satpam bagi kepentingan kapitalis. Pajak diperas dari rakyat miskin, tetapi keringanan diberikan kepada korporasi besar. Subsidi untuk rakyat dipangkas, tetapi utang ribuan triliun terus ditambah demi proyek mercusuar yang menguntungkan investor. Kapitalisme menaruh beban pada rakyat kecil, lalu menghadiahkan keuntungan pada orang kaya.
Maka, jangan heran jika tragedi penjualan bayi terjadi. Ia bukan keanehan, melainkan konsekuensi logis dari sistem yang gagal menyejahterakan rakyat. Ketika kapitalisme berkuasa, kemiskinan bukan kecelakaan, melainkan produk yang dihasilkan terus menerus. Ia adalah mesin yang memang didesain untuk menciptakan kesenjangan. Dan kesenjangan itulah yang memaksa orang tua menjual anaknya sendiri.
Lihatlah betapa munafiknya negara dalam sistem ini. Mereka sibuk bicara soal pertumbuhan ekonomi, tetapi apa artinya angka pertumbuhan bagi rakyat yang masih kesulitan makan? Mereka berbangga dengan pembangunan gedung tinggi, jalan tol, kereta cepat, tetapi apa gunanya semua itu jika rakyat di desa masih bingung membayar biaya sekolah anaknya? Sementara itu, bayi-bayi dijual dari kamar kos murahan, dan negara hanya hadir ketika skandal sudah terbongkar.
Allah Swt. sudah memperingatkan:
“…supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu.” (QS. Al-Hasyr: 7).
Tetapi inilah kapitalisme, harta berputar di kalangan orang kaya, rakyat hanya menonton dari jauh.
Islam tidak membiarkan hal ini terjadi. Dalam Islam, negara hadir sebagai penjamin hak rakyat. Sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan, dan keamanan bukan komoditas, melainkan kewajiban negara. Rasulullah bersabda:
“Imam (khalifah) adalah pengurus rakyat, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang ia urus.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Pemimpin dalam Islam bukan pejabat yang berpesta dengan uang rakyat, melainkan pelayan yang memastikan tidak ada satu pun rakyat yang kelaparan.
Sejarah membuktikan, pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz, hampir tidak ditemukan lagi penerima zakat. Mengapa? Karena negara benar-benar mengelola kekayaan untuk kesejahteraan rakyat. Tidak ada yang dibiarkan melarat, tidak ada yang terpaksa menjual anaknya. Sistem Islam menyelesaikan kemiskinan dari akarnya, bukan sekadar menutupinya dengan bantuan seadanya.
Sindikat penjualan bayi di Medan adalah bukti keras bahwa kapitalisme telah gagal menjaga kemanusiaan. Ia melahirkan kemiskinan, menumbuhkan kesenjangan, dan pada akhirnya menghancurkan nilai kasih sayang yang paling dalam. Selama sistem ini dipertahankan, tragedi serupa akan terus berulang. Hanya dengan kembali pada sistem Islam, keadilan bisa ditegakkan, kebutuhan rakyat dijamin, dan tragedi menjual anak demi hidup bisa benar-benar dihapuskan.
Wallahualam bissawab.