Kalau Gak dilaporkan, Gak Jalan?



Aulia Zuriyati (Aktivis Muslimah)

Pemandangan jalan rusak sudah menjadi pemandangan umum di berbagai wilayah di Indonesia. Salah satunya di Jalan Danau Singkarak, Gang Madrasah, Kecamatan Medan Helvetia. Kondisi jalan yang berlubang dan saluran drainase yang buruk telah dikeluhkan warga cukup lama. Jalan rusak itu disebut merupakan salah satu jalur menuju kampus di sekitar lokasi.

Jalan itu banyak dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai akses. “Atas laporan masyarakat jalannya rusak, ada beberapa yang sudah kita benerin, yang ini kan belum. Ada beberapa daerah yang akan kita tinjau hari ini,” kata Rico Tri Putra Bayu Waas usai meninjau jalan rusak, dan katanya jalan tersebut bakal diperbaiki mulai pekan depan (detik.com,12/06/2025). 

Pertanyaannya, mengapa perbaikan baru dilakukan setelah dilaporkan? Haruskah publik “berteriak” dulu agar pemerintah bergerak? Fenomena semacam ini seolah menjadi pola kehidupan di Indonesia. Pemerintah baru tanggap setelah viral. Aspirasi rakyat dianggap hanya ketika tekanan publik kuat. Padahal dalam Islam, pemimpin adalah pelayan rakyat. Rasulullah saw. bersabda: “Pemimpin suatu kaum adalah pelayan mereka.” (h.r. Abu Nu’aim).

Maka, pemimpin yang hanya bertindak ketika dipermalukan diruang publik adalah pemimpin yang tidak memahami esensi kepemimpinan dalam Islam. Peristiwa ini menyoroti krisis infrastruktur jalan di Medan Helvetia yang membahayakan keselamatan pengguna jalan, terutama pengendara roda dua.  Pemerintah daerah gagal menjamin hak rakyat atas fasilitas umum yang aman, termasuk kondisi jalan.

Jalan berlubang dan tergenang adalah bentuk kelalaian, ketidakpedulian dan buruknya sistem pengelolaan publik yang bisa berujung maut. Ketika pemerintah hanya bekerja berdasarkan aduan, maka fungsi pengawasan dan pemeliharaan telah gagal dijalankan. Yang mana sistem kapitalisme sering kali menempatkan pembangunan berdasarkan nilai ekonomis, bukan kemaslahatan umat. Akibatnya, wilayah pinggiran seperti Medan Helvetia kurang mendapat perhatian. 

Dalam Islam, tugas negara adalah memastikan hajat hidup rakyat terpenuhi dengan optimal dan adil. Umar bin Khattab pernah berkata, “Andai ada seekor keledai mati terperosok di jalan Irak, niscaya aku takut Allah akan meminta pertanggungjawaban kepadaku karena tidak meratakan jalan untuknya.”

Jika seekor keledai saja begitu diperhatikan dalam Islam, apalagi rakyat? Sayangnya, dalam sistem sekuler yang dipraktikkan hari ini, peran negara lebih seperti “manajer anggaran” ketimbang pelayan rakyat. Perbaikan hanya dilakukan jika ada alokasi, jika viral, jika dilaporkan. Maka tidak heran, banyak jalan baru diperbaiki saat dekat masa kampanye atau saat media menyorot. Ini bukan lagi pelayanan terhadap rakyat, melainkan pengelolaan citra.

Selain masalah sistem, rendahnya kesadaran kolektif masyarakat juga menjadi penyumbang krisis. Banyak warga yang masih membuang sampah sembarangan disungai atau selokan. Drainase pun tersumbat, dan ketika hujan tiba, banjir pun datang dan lingkungan yang kotor adalah cerminan akhlak masyarakat yang juga belum tertata. Islam menekankan pentingnya menjaga lingkungan. Rasulullah saw. bersabda, “Jauhilah dua perkara yang mendatangkan laknat: buang hajat di jalan dan di tempat berteduh.” (h.r. Muslim).

Bahkan, membuang duri di jalan pun disebut sebagai salah satu cabang dari iman. Maka, membersihkan lingkungan bukanlah sekadar kerja sosial, tetapi wujud dari keimanan. Islam tidak hanya memberi tuntunan ibadah personal, tetapi juga sistem kehidupan yang menyeluruh. Dalam sistem Khilafah, negara memiliki kewajiban untuk mengelola urusan rakyat secara proaktif. Jalan rusak, sistem air, dan kebersihan kota adalah bagian dari tanggung jawab negara bukan sekadar proyek, tetapi amanah.

Negara tidak menunggu laporan. Negara harus memiliki perangkat yang memastikan semua fasilitas umum diawasi, dicek, dan dipelihara secara berkala. Khilafah memiliki struktur Baitul mal (kas negara) yang dikelola secara syar’i dan digunakan untuk kepentingan rakyat, bukan untuk memperkaya segelintir elite. Fungsi kontrol dari masyarakat juga terstruktur dalam amar makruf nahi munkar, yang dijamin dan dilindungi hukum.

Sudah saatnya umat sadar bahwa perbaikan tidak cukup hanya dengan memperbaiki satu jalan atau memperlebar satu saluran air. Kita butuh perubahan sistem yang menyeluruh, yang berlandaskan akidah Islam. Sistem sekuler yang menjauhkan aturan Allah dari urusan publik telah terbukti menyisakan ketidakadilan, kelalaian, dan kemunduran. Rakyat juga jangan hanya menunggu. Melainkan juga saling mengingatkan, dan mengoreksi penguasa dengan cara yang benar. Jadi Islam bukan hanya sekadar soal salat dan puasa, tetapi juga bagaimana cara mengatur kehidupan sehari-hari. 

Wallahualam bissawab.