Hipokrit PBB atas Nasib pengungsi Rohingya di Aceh

 


Oleh: Putri Sarlina SH (Aktivis Muslimah KoAs Tanjungbalai)

 

Kemungkinan tenggelamnya sebuah kapal dalam beberapa pekan terakhir, dengan 180 Muslim Rohingya berada di dalamnya, bisa membuat tahun 2022 menjadi salah satu tahun paling mematikan di laut dalam hampir satu dekade bagi etnis tersebut.

PBB mengungkap skenario terburuk itu, di saat para pengungsi Rohingya sedang berupaya melarikan diri dari kondisi putus asa di kamp-kamp Bangladesh.

Dalam pembaharuannya, UNHCR mengatakan telah menerima laporan yang belum dikonfirmasi, tentang insiden terpisahnya sebuah kapal dengan 180 orang pengungsi Rohingya. Para kerabat telah kehilangan kontak dengan para korban. Mereka yang terakhir berhubungan juga menganggap semua penumpang telah mati, kata UNCR dalam Twitternya. Dikutip dari AKURAT.CO.

Perwakilan UNHCR di Indonesia menekankan  bahwa pengungsi juga memiliki hak asasi manusia dan selayaknya bisa saling menolong.  Indonesia sesungguhnya tidak memiliki kewajiban untuk menerima pengungsi yang masuk karena sampai saat ini belum meratifikasi Convention Relating to the Status of Refugees (Konvensi 1951) dan Protocol Relating to the Status of Refugees (Protokol 1967).

Anehnya PBB  tidak mendorong negara lain untuk membantu pengungsi Rohingya, atau bahkan memaksa  dan menekan negara lain mengingat posisi PBB di dunia

Di sisi lain PBB tidak menekan pemerintah asal pengungsi rohingya, yaitu Myanmar untuk menyelesaikan konflik dalam negeri yang membuat warga muslim rohingya diusir dari negerinya sendiri.

Inilah sikap hipokrit lembaga dunia ini.  Apalagi justru mendorong adanya solusi pragmatis dengan menampung pengungsi dari Rohingya. Sikap ini sekaligus menunjukkan bahwa solusi persoalan Rohingya tidak akan  terselesaikan secara tuntas,  dan pengungsi Rohingya akan terus terlunta-lunta.

Mereka butuh tegaknya sistem Islam yang akan melindungi dan membela kaum muslim yang diusir dari tanah airnya sendiri.

Allahu 'alam bishawab