Fiqh Ikhtilaf : Pro Dan Kontra Apakah Menyentuh Isteri Membatalkan Wudhu' ?

 


Oleh : Tommy Abdillah

(Alumni Pondok Pesantren Darul Arqam Kerasaan, Simalungun Angkatan 1990) 

Masalah menyentuh isteri apakah dapat membatalkan wudhu' atau tidak adalah termasuk masalah klasik yang telah berlangsung sejak lama diperdebatkan. Tepatnya sejak perkembangan mazhab-mazhab Islam hingga saat ini sekitar abad 2 Hijriyah. 

Sebenarnya masalah ini adalah masuk pada wilayah khilafiyah yang bersifat cabang agama (furu'iyyah) bukan perbedaan yang mendasar (Ushul) sehingga Islam mentolerirnya. 

Meskipun para ulama mampu menghormati perbedaan pendapat tapi terkadang disikapi dengan fanatik mazhab secara berlebihan bagi para pengikutnya.

Memahami Khilafiyah

Perbedaan pendapat dalam memahami nash dalil baik dalil Al-Quran maupun dalil Al-hadist sebenarnya bukan terjadi pada zaman now saja tapi telah terjadi sejak generasi sahabat Rasulullah SAW seperti dalam peristiwa perang Bani Quraizhah Rasulullah SAW bersabda,

لَا يُصَلِّيَنَّ أَحَدٌ الْعَصْرَ إِلَّا فِي بَنِي قُرَيْظَةَ

Artinya : "Janganlah salah seorang diantara kalian melaksanakan shalat ashar kecuali di Bani Quraizhah".(HR. Bukhari No. 4.119).

Dalam menyikapi pernyataan ini para sahabat Rasulullah SAW ada diantara mereka yang shalat dalam perjalanan dengan mafhum jangan shalat dikampung Bani Quraizhah dan sebahagian yang lain dengan mafhum mengakhirkan shalat ashar hingga sampai di Bani Quraizhah sementara. Setibanya mereka bertemu dengan Rasulullah SAW maka beliau mendiamkan kedua pendapat tsb. 

Ikhtilaf ada 2 macam yaitu : ikhtilaf yang terpuji dan ikhtilaf yang tercela. Ikhtilaf yang terpuji adalah dalam perkara-perkara tidak pasti (dzanni) dari perkara furu’ (cabang agama) sebagaimana ikhtilaf yang didiamkan oleh Rasulullah SAW kepada para sahabat juga seperti  ikhtilaf para sahabat dalam perkara-perkara yang ada pada mereka.

Sedangkan ikhtilaf yang tercela adalah menyangkut perkara pokok-pokok agama (ushuluddin) yaitu ikhtilaf dalam perkara aqidah Islam seperti aliran Ahmadiyah yang mengakui Ghulam Ahmad sebagai Nabi setelah Rasulullah Muhammad SAW. 

Antara Pro Dan Kontra

Bersuci dari hadast dan najis serta berwudhu' adalah salah satu syarat sah shalat sehingga setiap mukmin dan mukminat wajib berwudhu' ketika hendak shalat dan wajib pula mengetahui perkara-perkara yang membatalkan wudhu'. Dasar perintah berwudhu' Allah SWT berfirman, 

{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ ۚ وَإِن كُنتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا ۚ وَإِن كُنتُم مَّرْضَىٰ أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِّنكُم مِّنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُم مِّنْهُ ۚ مَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُم مِّنْ حَرَجٍ وَلَٰكِن يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ} [المائدة : 6]

Artinya : "Hai orang-orang yg beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki dan jika kamu junub maka mandilah, Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yg baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. 

Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur".(QS. Al-Maidah : 6

Hukum Menyentuh Isteri Setelah Berwudhu'

Setidaknya terdapat 3 pendapat dalam masalah ini yaitu :

1. Sebagian ulama berpendapat bahwa menyentuh isteri setelah berwudhu' membatalkan wudhu secara mutlaq seperti pendapat Imam Syafi'ie dan Imam Ibnu Hazm.

Bersentuhan kulit laki-laki dengan kulit perempuan dengan bersentuhan itu batal wudhu' yang menyentuh dan disentuh, dengan syarat bahwa keduanya sudah sampai umur baligh berakal dan diantara keduanya bukan mahram baik mahram nasab keturunan, persusuan ataupun perkawinan.(1)

2. Sebagian ulama berpendapat menyentuh isteri tidak membatalkan wudhu' seperti pendapat Imam Ahmad bin Hambal dan Imam Ibnu Taimiyah.

Ibnu Abbas r.a menyatakan,


إن”المس” و”اللمس”، و”المباشرة”، الجماع، ولكن الله يكني ما شاء بما شاء

Artinya : Namanya Al-mass, Al-lams dan Al-mubasyaroh bermakna jima’ (berhubungan badan). Akan tapi Allah SWT menyebutkan sesuai dengan yang Dia suka. Dalam perkataan lainnya disebutkan,

أو لامستم النساء”، قال: هو الجماع.

Artinya : Makna ayat lamastumun nisaa’ adalah jima’ berhubungan badan.(2)

Syaikh Sayyid Sabiq menyatakan, Disini kita ingin mengemukakan hal-hal yang disangka membatalkan wudhu' pada hal tidak demikian karena tidak adanya alasan yang sah dapat dijadikan pegangan yaitu menyentuh wanita tanpa ada batas.(3)

3. Sebagian ulama berpendapat menyentuh isteri bila dengan syahwat dapat membatalkan wudhu' seperti pendapat Imam Malik bin Anas.

Sebab Perbedaan

Perbedaan pendapat para ulama diatas berawal dari pemahaman ayat Al-qur'an diatas pada kalimat :

أَوْ لاَمَسْتُم النِّسَآءَ

Artinya : “Atau kamu menyentuh dgn istri.” (QS. An-Nisa’: 43).

Salah satu faktor terjadinya perbedaan pendapat dalam perkara fiqh adalah perbedaan dalam memahami nash dalil, apakah dalil Al-qur'an maupun dalil hadist.

Perbedaan perkara furu’ Ad-diin Perkara-perkara fiqih praktis yang di istinbath (digali) dari dalil-dalil terperinci terbagi kepada 2 yaitu :

1. Perkara-perkara yang qath’ie baik qath’ie tsubut (sumber) maupun dilalah (penunjukkan) hukumnya.

2. Perkara-perkara yang dzanni (dugaan atau tidak pasti) baik sumbernya (tsubut) atau penunjukan dalilnya (dilalah) ataupun dalam kedua-duanya sekaligus.

Adapun perkara qath’ie dalam tsubutnya maka ia berarti pasti bahwa sumbernya berasal dari Allah dan Rasul-Nya yakni dari Al-Quran atau hadist mutawattir. Sedangkan perkara yang qath’i dalam dilalahnya yaitu yang pasti dalam penunjukkannya yakni pasti (qath’ie) maknanya dan tidak diambil darinya kecuali satu makna saja seperti haramnya khamar, haramnya zina, haramnya riba atau haramnya membunuh ataupun mencuri. Semua itu tsabit (tetap) qath’i dan tidak mengandung makna kecuali satu makna saja.(4)

Nah, pada ayat diatas termasuk dzanni dilalah yaitu apakah pemahaman kalimat : لاَمَسْتُمُ adalah menyentuh secara hakiki ataukah majazi atau kiasan. Para ulama mazhab Imam Syafi'ie memahami kalimat menyentuh adalah secara makna hakiki yaitu setiap terjadi persentuhan kulit antara suami dan isteri maka wudhu' nya secara muthlaq batal.

Sementara ulama mazhab yang lain seperti mazhab Imam Ahmad bin hambal berpendapat bersentuhnya kulit antara suami dan isteri yang sudah berwudhu' tidak membatalkan wudhu' nya secara mutlaq, baik disertai dengan syahwat ataupun tidak. Argumentasinya adalah memahami dalil ayat diatas kalimat menyentuh secara majazi atau kiasan.

Kesimpulan

Jadi dalam hal ini kita selaku orang awam atau muqallid 'am boleh mengikuti salah satu pendapat para ulama diatas, apakah mengikuti pendapat ulama mazhab Syafi'ie, mazhab Maliki ataukah mazhab Hambali dengan konsekwensi bila berwudhu' mengikuti pendapat mazhab tertentu maka kaifiyat shalatnya juga mengikutinya.

Kemudian mari kedepankan saling menghormati perbedaan pendapat dalam perkara furu'iyyah tanpa harus cepat memvonis selain pendapat golongannya adalah bid'ah atau sesat selama pendapat golongan yang lain didasarkan kepada hujjah dalil yang dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya.


Wallahu a'lam


Catatan Kaki :

1. KH. Sulaiman Rasyid, Fiqh Islam hal 32.

2. Imam Thabari, Kitab Tafsir Thabari juz 8 hal 389.

3. Syaikh Sayyid Sabiq, Kitab Fiqh Sunnah Sayyid Sabiq, juz I hal 37

4. Syaikh Muhammad Asy-syuwaiki, Kitab Al-khalash wa ikhtilaf An-nas hal 80.