Kunjungan Presiden: Diplomasi Mie Instan?



Oleh Retno Purwaningtias
Pegiat Literasi

Boro-boro mengemban misi perdamaian. Kunjungan Presiden ke Ukraina hanya sekadar pencitraan.
"No free lunch",“Tidak ada makan siang gratis”. Dalam sistem kapitalisme, untung-rugi menjadi landasan bertindak. Pun sama seperti kunjungan Presiden ke Ukraina beberapa waktu lalu.

Dilansir dari laman kemlu[dot]go[dot]id, (30/6/2022), presiden negeri ini, Joko Widodo melakukan kunjungan ke Ukraina pada 29 Juni 2022 lalu. Pada pertemuannya dengan Presiden Ukraina, Volodymyr Zelenskyy, ia menyampaikan bahwa kunjungannya ke Ukraina merupakan manifestasi kepedulian masyarakat Indonesia untuk Ukraina. Jokowi juga menyampaikan bahwa rakyat dan pemerintah Indonesia berusaha memberi kontribusi, seperti obat-obatan dan rekonstruksi rumah sakit. Selepas pertemuan tersebut, akan ada kunjungan dengan Presiden Putin.

Tampak pemerintah membangun kesan bahwa negeri ini menggunakan kemampuan diplomasi untuk mendamaikan konflik dan menyelamatkan nyawa. Seolah pahlawan dalam peperangan, kita mengulurkan tangan membantu. Namun, hal ini perlu dicermati secara detail. Benarkah motif dan tujuan hakiki kunjungan pemerintah adalah untuk mendamaikan konflik internasional? Benarkah untuk penyelamatan nyawa?

Apabila kunjungan presiden memang untuk mendamaikan konflik, mengapa ketika kaum muslim di negeri-negeri muslim diperangi, dilecehkan, disiksa, negeri muslim terbesar ini diam tak berkutik? Apabila memang kunjungan presiden bermisi penyelamatan nyawa, mengapa ketika kaum muslim berdarah-darah, disiksa hingga melayang nyawanya, negeri ini tak bersuara, cenderung di posisi netral? Padahal, penyiksaan dan invasi ke negeri muslim di luar sana kita saksikan terus menerus di berita-berita, tak berhenti.

Terkait nyawa, problem negeri ini pun serupa. Adalah banyak TKI meninggal dalam tahanan akibat minim perawatan. Seperti yang terjadi di Malaysia, dimana 149 TKI meninggal di tahanan, dengan beberapa di antaranya mengalami penganiayaan. (hidayatullah[dot]com, 29/6/2022).

Kalaulah kunjungan presiden ke Ukraina adalah untuk mendamaikan konflik dan dalam rangka penyelamatan nyawa, mengapa tiada pembelaan terhadap WNI yang bekerja di luar negeri?

Dari fakta-fakta yang dilampirkan tersebut, kita tarik benang merah bahwa tujuan hakiki kunjungan presiden bukan mendamaikan konflik dan penyelamatan nyawa. Berlandas "no free lunch", terdapat potensi kepentingan pribadi dari kunjungan tersebut. Apalagi, sudah menjadi rahasia umum bahwa Ukraina penting bagi rantai pasok pangan dunia. Pun Presiden dalam kunjungannya juga menegaskan bahwa semua usaha harus dilakukan agar Ukraina bisa kembali melakukan ekspor pangan.

Begitulah, tidak ada “gratisan” dalam sistem kapitalisme. Berdasar data, Indonesia adalah importir gandum terbesar di dunia dan 25% dari impor berasal dari Ukraina. Gandum merupakan bahan pokok pembuatan mi instan Indonesia. Tetapi, gandum mengalami kelangkaan sejak awal perang Rusia-Ukraina. Hal ini kemudian berdampak pada melonjaknya harga mi instal sejak April lalu. (intisari[dot]grid[dot]id, 30/6/2022).

Jadi kesimpulannya, kunjungan Presiden ke Ukraina tidak lebih dari urusan mie instan, bukan untuk misi perdamaian.

Perlu diketahui pula, negeri-negeri di bawah kuasa kapitalisme cenderung tak frontal dan tegas dalam menginginkan perdamaian. Ya, mereka cenderung berada di posisi netral, tak mengerahkan militer untuk membantu negara yang diperangi. Karena begitulah, di sistem ini tak ada kawan dan lawan abadi. Yang ada hanyalah kepentingan abadi.

Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila negeri ini tidak vokal dalam membela WNI yang bekerja di luar negeri. Pun jangan heran apabila negeri muslim terbesar ini memosisikan diri di tengah-tengah, tak bertindak, sekadar mengecam, di saat saudara-saudari muslim diperangi di sudut bumi lain. Apalagi ada sekat-sekat kebangsaan yang menjadi senjata untuk tetap bungkam. Ditambah dalih, “itu urusan dalam negeri mereka” dan “tidak ada kepentingan kita di sana” bisa meenjadikan negeri ini diam saja.

Tentu saja, negeri-negeri hari ini pun pemimpinnya berkarakter seperti itu, kurang lebih sama. Karena di antara mereka saling berkepentingan. Wajar dan pasti jika tujuan hakiki perdamaian dunia dan penyelamatan nyawa tidak bisa terealisasi di dunia di bawah kuasa sistem kapitalisme.

Dengan demikian, kita membutuhkan suatu institusi besar yang berdiri sendiri, yang tidak terikat dengan negara lain karena “kepentingan” atau "no free lunch” yang bisa membebaskan manusia dari penghambaan kepada sesama manusia serta membawa perdamaian dan kesejahteraan untuk seluruh alam. Suatu sistem yang berjalan berdasar titah dan aturan Sang Penguasa kehidupan, yang salah satu fungsi diterapkannya ialah dapat menjaga nyawa manusia.

Wallahualam bissawab.