Sudah Siapkah Indonesia Menuju Endemi?




Oleh Sutiani, A. Md (Aktivis Dakwah Muslimah)

“Jalan-jalan ke Singapura
Jangan lupa membeli ragi
Belum tuntas pandemi di Indonesia
Eh, malah bersorak menuju endemi”

Seiring dengan berjalannya waktu, lagi-lagi problematika di negeri ini tidak kunjung usai, karena isu adanya pencabutan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) level satu. Dilemanya Indonesia menuju endemi kini menjadi perhatian masyarakat. Maka artinya, hal ini sudah mendapatkan izin pelonggaran sehingga tidak perlu adanya PPKM. (okezone.com, 03/06/2022).

Pada nyatanya, kita lihat di kalangan masyarakat tidak mengikuti protokol kesehatan seperti, menjaga jarak, mencuci tangan, dan memakai masker. Untuk itu, sangat disayangkan ketika pemerintah terlalu cepat mengambil kebijakan endemi sehingga sekarang ini jika kita lihat mulai dari jalanan, orang berangkat dan pulang dari perkantoran, pemukiman, di tempat-tempat fasilitas pelayanan publik, tempat rekreasi, kuliner, dan lainnya hampir semuanya sudah bebas.

Padahal, kasus Covid-19 di Indonesia pada Minggu kemarin dilaporkan bertambah 551 kasus. Dengan demikian, total kasus Covid-19 di Indonesia saat ini mencapai 6.060.488, terhitung sejak kasus pertama diumumkan Presiden Joko Widodo pada 2 Maret 2020. Data yang sama menunjukkan ada penambahan kasus sembuh. Dalam sehari, jumlahnya bertambah 353 kasus.

Dengan demikian, total kasus sembuh dari Covid-19 saat ini tercatat sebanyak 5.899.111. Selain itu, terdapat dua pasien Covid-19 yang meninggal dunia dalam periode 11-12 Juni. Penambahan itu membuat total kematian akibat Covid-19 mencapai 156.643 orang. (kompas.com, 13/06/2022).

Bukan itu saja, menurut Kemenkes, indikator transisi dari pandemi menuju ke arah endemi yaitu, laju penularan harus kurang dari satu, angka positivity rate harus kurang dari 5%, dan tingkat perawatan rumah sakit harus kurang dari 5%.

Dalam rentang waktu misalnya enam bulan. Terlebih lagi, dampak pandemi sebelumnya, rakyat makin kelaparan di mana, PHK masal, tenaga kerja kesehatan kelelahan, bahkan banyak dari mereka yang gugur. Pekerja harian kehilangan pekerjaan mereka akibat dirumahkan, pelajar, guru dan orang tua stres karena daring. Begitulah sistem kapitalisme telah terbukti gagal menjamin hidup manusia sebab memberikan solusi yang tidak tuntas.

Kapitalisme tega memanipulasi data agar kasus Covid-19 menurun. Penguasa seolah lepas tangan dan mereka juga tega melakukan korupsi dana bantuan sosial Covid-19, belum lagi antigen dan tes PCR menjadi ladang bisnis penguasa dan kelonggaran ini bisa jadi ada kaitannya dengan produksi 500 juta dosis vaksin yang saat ini masuk uji klinis ketiga. (cnbc.Indonesia.com, 09/06/2022).

Logikanya, ketika pelonggaran dilakukan sedangkan kondisi belum terkendali, hal ini tentu akan mempercepat perkembangan dampak Covid-19, otomatis vaksin yang sudah diproduksi pasti akan terbeli. Dalam sistem kapitalisme yang berlandaskan manfaat, demi mendongkraknya ekonomi, maka segala upaya pun dilakukan walau  nantinya akan mengancam nyawa masyarakat.

Dalam Islam, masalah yang semacam ini pun pernah terjadi. Seperti yang pernah dikabarkan oleh Rasulullah saw. dalam sebuah Hadis.

إِذَا سَمِعْتُمْ بِالطَّاعُونِ بِأَرْضٍ فَلاَ تَدْخُلُوهَا، وَإِذَا وَقَعَ بِأَرْضٍ وَأَنْتُمْ بِهَا فَلاَ تَخْرُجُوا مِنْهَا
Artinya: “Jika kamu mendengar wabah di suatu wilayah, maka janganlah kalian memasukinya. Tapi jika terjadi wabah di tempat kamu berada, maka jangan tinggalkan tempat itu.” (h.r. Bukhari).

Ketika wabah pernah melanda, dalam sistem pemerintahan Islam, solusi yang ditawarkan yaitu melakukan lockdown. Namun, kehidupan masyarakat dijamin oleh negara, dan diberikan secara gratis segala kebutuhannya. Inilah yang kita rindukan. Sistem berikut dengan pemimpin yang pastinya akan memberikan kesejahteraan yang tidak  semu. Untuk itu, menerapkan sistem Islam kafah adalah sebuah kebutuhan yang harus disegerakan.

Wallahualam bissawab.