IKHLAS ITU CONDONG KEPADA KEBENARAN

 



Oleh: Zakariya al-Bantany


Di zaman now ini, terkadang dalam diskusi baik di dunia nyata maupun di dunia medsos tanpa sadar kita sering terjebak pada baqa’ atau keakuan. Seperti ego kesenioritasan dan hawa nafsu serta perasaan emosional atau baper, hingga terbitlah rasa sombong di dalam dada kita baik besar ataupun kecil kesombongan tersebut, baik dalam kondisi sadar maupun tidak sadar.


Sehingga kita pun terkadang terjebak dan terjerumus sering kali meremehkan dan merendahkan orang lain yang di bawah level kita dan di bawah usia kita. Hingga kita terkadang dengan arogan dan congkaknya menolak nasihat, ilmu dan hikmah serta kebenaran dari orang tersebut yang telah tulus semata-mata karena Allah dalam menyampaikan nasihat, ilmu dan hikmah serta kebenaran kepada kita.


Bahkan pula, karena kesombongan kita pada kebenaran lantas kita pun terkadang sampai membabi-buta menyerang pribadi dan membunuh karakter orang yang menyampaikan nasihat, ilmu, hikmah dan kebenaran tersebut dengan bully-an dan caci-makian yang sangat merendahkan dan melecehkan.


Padahal Allah SWT telah berfirman:


وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلاَئِكَةِ اسْجُدُوا لأَدَمَ فَسَجَدُوا إِلاَّ إِبْلِيسَ أَبَى وَاسْتَكْبَرَ وَكَانَ مِنَ الكَافِرِينَ


“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat: “Sujudlah kalian kepada Adam,” maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur (sombong) dan ia termasuk golongan orang-orang yang kafir.” (QS. Al-Baqarah: 34)


Qotadah rahimahullah berkata tentang ayat ini, “Iblis hasad kepada Adam ‘alaihis salaam dengan kemuliaan yang Allah berikan kepada Adam. Iblis mengatakan, “Saya diciptakan dari api sementara Adam diciptakan dari tanah.” Kesombongan inilah dosa yang pertama kali terjadi. Iblis sombong dengan tidak mau sujud kepada Adam.” [Tafsir Ibnu Katsir, 1/114, cet. Al-Maktabah at-Tauqifiyah]


Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi Saw, beliau bersabda:


لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ قَالَ رَجُلٌ إِنَّ الرَّجُلَ يُحِبُّ أَنْ يَكُونَ ثَوْبُهُ حَسَنًا وَنَعْلُهُ حَسَنَةً قَالَ إِنَّ اللَّهَ جَمِيلٌ يُحِبُّ الْجَمَالَ الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ


“Tidak akan masuk surga seseorang yang di dalam hatinya terdapat kesombongan sebesar biji sawi.” Ada seseorang yang bertanya, “Bagaimana dengan seorang yang suka memakai baju dan sandal yang bagus?” Beliau menjawab, “Sesungguhnya Allah itu indah dan menyukai keindahan. Sombong adalah menolak kebenaran dan meremehkan orang lain.” (HR. Muslim, No. 91)


An-Nawawi rahimahullah berkata, “Hadist ini berisi larangan dari sifat sombong yaitu menyombongkan diri kepada manusia, merendahkan mereka, serta menolak kebenaran.” [Syarah Shahih Muslim Imam Nawawi, II/163, cet. Daar Ibnu Haitsam]


Kesombongan ada dua macam, yaitu sombong terhadap al-haq (kebenaran) dan sombong terhadap makhluk. Hal ini diterangkan oleh Nabi Saw pada hadist di atas dalam sabda beliau, “Sombong adalah menolak kebenaran dan suka meremehkan orang lain.” Menolak kebenaran adalah dengan menolak dan berpaling darinya serta tidak mau menerimanya. Sedangkan meremehkan manusia yakni merendahkan dan meremehkan orang lain, memandang orang lain tidak ada apa-apanya dan melihat dirinya lebih dibandingkan orang lain. [Syarh Riyadus Shaalihin, II/301, Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin, cet Daar Ibnu Haitsam]


Menerima nasihat, ilmu, hikmah dan kebenaran yang disampaikan oleh orang yang di bawah level kita dan di bawah usia kita, serta dari orang yang kita tidak sukai memang sangatlah berat seperti laksana memikul gunung merapi, terkecuali yang sanggup memikulnya hanyalah orang-orang yang ikhlas (mukhlis) dan tawadhu’ saja. Orang yang mukhlis itu laksana padi yang semakin berisi, maka ia akan semakin merunduk dan kian menguning keemasan.


Karena itulah, dalam tiap diskusi atau dalam mencari kebenaran harusnya pemikiran dilawan dengan pemikiran, intelektual dilawan dengan intelektual, ide dilawan ide, fakta dilawan dengan fakta, ilmu dilawan dengan ilmu, hujjah dilawan dengan hujjah, data dilawan dengan data, karya ilmiah dilawan dengan karya ilmiah, buku dilawan dengan buku, tesis dilawan dengan tesis. Bukan dilawan dengan emosi, baperan atau bawa perasaan atau baqa’ (ego) ataupun hawa nafsu maupun bully-an serta cacian dan su'ul adab.


Jawaban-jawaban yang diberikan dalam diskusi harusnya pun jawaban elegan yang intelektual, argumentasinya kuat dan bernas, negarawan, ksatria, memuaskan akal atau logis, menentramkan hati, sesuai fitrah dan tentunya yang paling utama harus sesuai Syariah dan tidak menyimpang dari akidah Islam.


Bukan justru jawaban seperti anak kecil yang polos dan suka ngambek-ngambek atau jawaban seperti orang awam, mencla-mencle, mengedepankan baqa’ atau emosi atau ego atau keakuan maupun ego kesenioritasan serta baperan. Sehingga jawabannya tidak intelektual, tidak negarawan, tidak ksatria, tidak memuaskan akal (tidak logis), tidak menentramkan hati, tidak sesuai fitrah dan tidak pula sesuai dengan akidah dan Syariah Islam hingga jauh dari kebenaran. Sehingga diskusinya pun bukan lagi diniatkan mencari kebenaran, tapi justru hanya untuk menang-menangan semata dan berakhir dengan debat kusir yang sangat jauh dari adab Islam atau akhlaq Islam.


Karena itulah, dalam hal ini Allah SWT memberikan panduan yang jelas pada kita dalam firman-Nya:


 اُدْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ


“Serulah mereka ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan nasihat yang baik serta bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. Sesungguhnya Tuhanmu adalah Yang lebih mengetahui siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. An-Nahl: 125)


وَقَالُوا لَنْ يَدْخُلَ الْجَنَّةَ إِلَّا مَنْ كَانَ هُودًا أَوْ نَصَارَىٰ ۗ تِلْكَ أَمَانِيُّهُمْ ۗ قُلْ هَاتُوا بُرْهَانَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ


“Dan mereka (Yahudi dan Nasrani) berkata: “Sekali-kali tidak akan masuk surga kecuali orang-orang (yang beragama) Yahudi atau Nasrani.” Demikian itu (hanya) angan-angan mereka yang kosong belaka. Katakanlah: “Tunjukkanlah bukti kebenaranmu jika kamu adalah orang yang benar.”  (QS. Al-Baqarah [2]: 111)


إِنَّمَا كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِينَ إِذَا دُعُوا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ أَنْ يَقُولُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا ۚ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ


“Sesungguhnya jawaban orang-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya agar rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan, “Kami mendengar, dan kami patuh.” Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. An-Nuur: 51)


Oleh karena itulah, hanya orang-orang yang mukhlis (ikhlas) saja yang mau senang hati dengan penuh ketulusan dan ketawadhu’an menerima nasihat, ilmu, kebenaran dan hikmah yang benar dari siapapun. Sekalipun nasihat, ilmu dan hikmah serta kebenaran itu datangnya dari anak kecil ataupun dari hewan sekalipun maupun dari orang yang paling kita benci sekalipun.


Sebab nasihat, ilmu dan hikmah serta kebenaran yang disampaikan dengan tulus oleh saudara kita itu, hakikatnya adalah datangnya dari Allah SWT sebagai wujud cinta dan kasih sayang (rahmah) Allah kepada kita agar kita selamat dunia dan akhirat serta tetap dalam koridor akidah Islam dan Syariah Islam.


Sekaligus nasihat, ilmu dan hikmah serta kebenaran yang disampaikan oleh saudara kita itu pun, hakikatnya adalah wujud cinta dan kasih sayangnya kepada kita sebagai sesama saudara seakidah dan semuslimnya sebagai tuntutan akidah Islam dan ukhuwwah Islamiyyah.


Dalam hal ini, disandarkan kepada Sayyidina Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu, bahwa beliau berkata:


أنظر ما قال ولا تنظر من قال


“Lihatlah apa yang dikatakan jangan melihat siapa yang mengatakan.”


Senada dengan ucapan di atas, Syaikh Muhammad Amin asy-Syinqithi rahimahullahu juga mengatakan :


أنظر إلى القول ولا تنظر إلى القائل


“Perhatikanlah ucapannya jangan memperhatikan yang mengucapkan.”


Sebagaimana yang diucapkan oleh Ubay bin Ka’ab:


اقْبَلِ الْحَقَّ مِمَّنْ جَاءَكَ بِهِ وَإِنْ كَانَ بَعِيدًا بَغِيضًا ، وَارْدُدِ الْبَاطِلَ عَلَى مِنْ جَاءَكَ بِهِ ، وَإِنْ كَانَ حَبِيبًا قَرِيبًا


“Terimalah kebenaran yang datang padamu walaupun berasal dari orang jauh yang kau benci, dan tolaklah kebathilan yang sampai padamu walaupun berasal dari orang dekat yang kau cintai.”


Allah SWT berfirman:


قُلْ إِنِّي أُمِرْتُ أَنْ أَعْبُدَ اللَّهَ مُخْلِصًا لَهُ الدِّينَ


Katakanlah: “Sesungguhnya aku diperintahkan supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama.” (QS. Az-Zumar: 11)


قَالَ رَبِّ بِمَا أَغْوَيْتَنِي لَأُزَيِّنَنَّ لَهُمْ فِي الْأَرْضِ وَلَأُغْوِيَنَّهُمْ أَجْمَعِينَ. إِلَّا عِبَادَكَ مِنْهُمُ الْمُخْلَصِينَ


“Iblis berkata: “Ya Tuhanku, oleh sebab Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat, pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik (perbuatan maksiat) di muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hamba-Mu yang ikhlas di antara mereka.” (QS. Al-Hijr: 39-40)


Oleh karena itulah, sesungguhnya ikhlas itu selalu condong pada kebenaran. Sebaliknya sombong itu selalu condong pada keburukan.


Wallahu a’lam bish shawab. []