Yakin, Gak Punya Anak Bisa Bahagia?

 



Oleh : Qisti Pristiwani

Mahasiswi UMN AW Medan

Kata mereka, “Hidup gak punya anak itu bahagia. Bisa mengurangi tumpukkan beban hidup. Bisa lebih bebas. Gak direpotkan dengan suara rengekkan anak-anak, gak perlu khawatir masalah keuangan, bentuk tubuh tetap bagus, bisa leluasa berkarir dan seterusnya”. Yakin itu semua sumber kebahagiaan?

Sekilas tampaknya begitu menyenangkan hidup berbeda dari manusia kebanyakan. Seorang perempuan tumbuh dewasa lalu kemudian menikah dan memutuskan untuk tidak memiliki anak. Memilih hidup dengan pola berbeda menurutnya bisa mengurangi permasalahan hari ini. Namun nyatanya, pemikiran pragmatis ala barat sekuleris ini hanya akan menambah persoalan baru yang semakin membuat rumit persoalan yang ada.

Bagaimana tidak? Para penggaung childfree ini terjebak dalam pandangan kebahagiaan semu yang bersifat sementara. Bagi perempuan, tubuh cantik yang ia miliki hanyalah bersifat sesaat. Diusia menjelang tua, ia tak dapat menunda penurunan fungsional tubuh atau keriputnya kulit meski beroperasi plastik. Di sisi lain, jika ia sudah tua dan akhirnya meninggal, siapakah yang kelak akan mengurusi jenazahnya dan mewarisi harta sepeninggalannya? Atau ketika sudah meninggal, tidakkah ia ingin dikirimi doa dari keturunannya untuk meringankan hisabnya? Hal yang lebih mengerikan lagi, jika semua orang memutuskan untuk childfree, siapa yang akan mengelola kehidupan di bumi ini?

Alasan-alasan pribadi yang dijadikan argumen untuk childfree sejatinya adalah dalih karena tak kuat menghadapi realita kehidupan dan ada pula yang terjebak ide feminisme buatan para pemuja kebebasan Barat. Padahal, rumitnya persoalan kehidupan hari ini dikarenakan tata kehidupan dicengkram aturan kapitalisme-sekuler yang jauh dari aturan agama. Sehingga, tiap-tiap lini kehidupan begitu sesak disana-sini. Misalnya, mahalnya biaya pendidikan anak membuat kekhawatiran tersendiri bagi orang-orang yang memiliki masalah dengan finansial. Mereka merasa takut tidak dapat membiayai sekolah anak. Akhirnya mengambil keputusan untuk childfree. Harusnya, permasalahan tersebut dicari solusinya, bukan malah lari dari masalah dengan mengambil keputusan untuk tidak memiliki anak.

Sama halnya dengan para pegiat feminisme yang mendukung prinsip childfree dikarenakan menganggap adanya hak otonom tubuh yang tak dapat diatur siapapun. Mereka bebas menentukan pilihannya sendiri atas tubuhnya, seperti childfree dan mendukung argumen “agar tubuh tetap bagus” dengan tidak hamil dan melahirkan. Sehingga mereka bisa berkarir setinggi-tingginya tanpa ada hambatan. Seperti itukah kebahagiaan? Jelas tidak. Pasalnya, manusia tak mungkin hidup kekal selama-lamanya di dunia. Lantas, bagaimana dengan kebahagiaan kehidupan akhirat yang sudah pasti menjadi tempat kehidupan yang abadi?

Di dalam Islam, tolak ukur kebahagiaan terletak pada ridho Allah. Bukan pada kecantikan dan kekayaan harta yang melimpah. Setiap muslim yang menjadikan agama sebagai sandaran hidupnya, maka akan menghantarkannya pada cara pandang yang unik dalam kehidupan. Sehingga tak berfokus pada permasalahan yang ada dan minim mencari solusi. Namun, ia berupaya menjadikan hal tersebut sebagai peluang amal yang bisa menjemput keridhoan Allah. Inilah yang nantinya akan memberi ketenangan hidup dalam dirinya. Sebab, ia berjalan di muka bumi ini sesuai aturan Allah Yang Maha Sempurna.

Demikian juga tentang anak. Dalam pandangan Islam, anak bukanlah sebuah beban. Melainkan anugerah dari Allah Swt. “Milik Allah-lah kerajaan langit dan bumi. Dia menciptakan apa yang Dia kehendaki. Memberikan anak perempuan kepada siapa siapa yang Dia kehendaki, dan memberikan anak laki-laki kepada siapa yang Dia kehendaki, atau Dia menganugerahkan jenis laki-laki dan perempuan, dan menjadikan mandul siapa saja yang Dia kehendaki. Dia Maha Mengetahui, Mahakuasa. (TQS. Asy-Syura ayat 49-50).

Kehadiran mereka adalah aset bagi dunia hingga akhirat. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw : "Apabila manusia itu meninggal dunia maka terputuslah segala amal, kecuali 3 yaitu : sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak yang sholih yang mendoakan kepadanya" (HR. Muslim). Ini adalah kabar gembira bagi setiap orang tua. Mereka memiliki investasi pahala yang mengalir hingga akhirat

Oleh karena itu, seorang muslim akan berbangga ketika memiliki anak karena Allah dan Rasulnya pun menyukainya. Ia akan mendidik anak-anaknya menjadi anak sholih dan sholiha agar  menjadi penolong kedua orang tuanya diakhirat kelak. Segala jerih payah orang tua yang menghabiskan energinya untuk mengurusi anak sesuai tuntunan syariat akan dibalas oleh Allah dengan limpahan pahala kebaikan, sebagai reward karena telah menjaga amanah dari Allah Swt dengan sebaik-baiknya.

Allah sang pemilik kehidupan tentunya mengetahui setiap kebutuhan hidup hamba-Nya. Tak mungkin Allah mengamanahi seorang anak namun membiarkan manusia mengurusinya sendiri, sementara ia adalah sosok makhluk lemah dan serba kurang. Tentu hal ini zhalim. Padahal, manusia itu sendirilah yang membuat hidupnya rumit karena berlepas dari hukum agama. Akibatnya, kehidupannya sempit dan terasa sulit. Mustahil merasakan kebahagiaan.

Oleh karena itu, sudah seharusnya kita kembali kepada hukum Islam dan menolak sistem kapitalisme-sekuler agar roda kehidupan ini senantiasa mengiringi kita dengan keberkahan dan menghantarkan kita pada kebahagiaan hakiki. Wallahua’alam bishowwab.