Setengah Juta Generasi Terancam Putus Studi Masa Pandemi, Bukti Negara Gagal Mengayomi



Oleh: Sari Ramadani (Aktivis Muslimah)


Hari berganti hari, namun belum ada kabar yang pasti kapan berakhirnya pandemi. Jeritan rakyat kian memenuhi negeri yang dicintai ini. Namun sayang sungguh sayang, Tuan yang duduk di singgah sana masih saja tak peduli dengan para generasi yang terancam akan putus studi. Nasib memang hidup disistem Demokrasi!


Pandemi Covid-19 tak hanya membawa dampak bagi sektor kesehatan. Tetapi juga di bidang ekonomi yang mengakibatkan banyaknya mahasiswa putus kuliah. Mengutip data dari Kemendikbudristek, sepanjang tahun lalu angka putus kuliah mencapai 602.208 orang. (jawapos.com, 16/08/2021).


Sulitnya hidup di sistem hari ini nyatanya sukses membuat rakyat pusing tujuh keliling, hal ini pun di perparah dengan datangnya pandemi yang dengan senang hati menghiasi Bumi Pertiwi. Tak hanya soal kebutuhan pokok saja yang sulit dipenuhi, namun juga kebutuhan terhadap pendidikan. Padahal pendidikan merupakan salah satu wadah pencetak generasi intelektual yang dapat membawa perubahan bagi suatu negeri.



Berdasarkan survei yang dilakukan oleh BEM Universitas Indonesia, terdapat 72% dari 3.321 mahasiswa mengaku kesulitan membayar biaya kuliah. Prihatin dengan nasib mahasiswa, Najwa Shihab melakukan Ternak Uang bersama Kitabisa yang secara aktif mengeluarkan program donasi untuk membantu mahasiswa melanjutkan pendidikan. (mediajabodetabek.pikiran-rakyat.com, 21/08/2021).


Pentingnya pendidikan bagi generasi nyatanya tak mempengaruhi kebijakan yang di berlakukan penguasa masa pandemi yang tidak mencakup pembebasan biaya pendidikan bagi para calon intelektual di negeri ini. Karena pada faktanya tak sedikit mahasiswa yang memiliki latar belakang ekonomi menengah ke bawah.


Belajar abnormal, UKT dibuat normal. Ya begitulah potret pendidikan pada saat ini. Alih-alih ingin mencetak generasi unggul pembangun peradaban, negara malah terancam akan kehilangan potensi intelektual generasi di masa mendatang.


Sebenarnya jika mau saja, negara dapat mengurangi atau bahkan menggratiskan UKT yang dibebankan oleh mahasiswa. Mengingat negeri ini sangat kaya dengan SDA yang melimpah sehingga ini akan cukup untuk memaksimalkan pendidikan.


Namun sayangnya, SDA yang melimpah nyatanya tak menjamin kebutuhan pendidikan bagi generasi dapat terpenuhi, dikarenakan pengelolaannya diserahkan kepada pihak asing dan swasta sehingga rakyat sendiri tak dapat apa-apa.


Tak heran memang, ini terjadi karena sistem yang diterapkan hari ini, semua-semua serba dikapitalisasi sehingga wajarlah jika biaya pendidikan melambung tinggi hingga para intelektual negeri ini tak sanggup lagi melunasi UKT yang dibebani. Inilah bukti negara telah gagal dalam mengayomi. Serta ini pun menjadi bukti bahwa tidak layaknya sistem yang diterapkan hari ini maka, tak ada jalan yang lain lagi kecuali menggantinya dengan Islam yang dirahmati.


Padahal dalam Islam pendidikan merupakan kebutuhan pokok yang wajib dipenuhi oleh negara dan disediakan secara cuma-cuma yang pendanaannya berasal dari harta milik umum dan juga harta milik negara. Sehingga rakyat tak perlu memusingkan soal biaya.


Pendidikan dalam sistem Islam juga dilaksanakan sesuai dengan apa yang dibutuhkan dalam kehidupan. Contohnya pada saat dunia dilanda wabah seperti saat ini. Maka pendidikan diatur untuk mendukung terselesainya wabah. Mulai dari pengkajian dari segala disiplin ilmu hingga penelitian untuk menemukan obat atau vaksin. Jadi, pendidikan dalam Islam tak hanya selesai soal biaya namun juga menyelesaikan masalah ada.


Maka, kembalilah pada sistem Islam yang dirahmati yang dengannya manusia menjadi mulia dengan aturan Allah Swt.


“Imam/khalifah adalah pengurus rakyat dan dia akan dimintai pertanggung jawaban atas kepemimpinannya.” (HR. Al-Bukhari).


Wallahualam bisawab.