Kritik atas Fenomena Childfree dan Kebebasan

 


Oleh: Rahmah Khairani, S.Pd

(Aktivis Muslimah dan Pemerhati Generasi)


 Childfree dan Feminisme


Akhir-akhir ini tagar #childfree menjadi trending di media social. Pemicunya adalah seorang selebgram yang memilih untuk tidak punya anak dalam sebuah wawancara menuai reaksi netizen yang beragam (utaratimes,20/8/21). Jika ditelusuri, ternyata trend ini biasa terjadi di Negara-negara Barat. Menurut orang-orang yang memilih childfree, keputusan tersebut beralasan. Ada yang tidak siap membesarkan anak di kondisi dunia yang kejam, ada yang karena tidak sempat memiliki anak sebab sibuk dengan pekerjaannya, ada yang mengatakan bahwa menikah tidak harus memiliki anak karena anak-anak yang ada di sekitarnya adalah anaknya juga, bahkan ada yang menganggap tidak memiliki anak adalah kebahagiaan karena tidak akan ada yang mengganggu hubungan pernikahannya, dan banyak juga yang mengkambing hitamkan masalah financial serta kondisi lingkungan yang tidak ideal untuk membesarkan anak (Parapuan.co,21/8/21). Intinya alasan-alasan ini lebih bersifat egosentris ketimbang dikatakan peduli.


Namun menurut sebagian mereka, keputusan untuk childfree dikatakan sebagai bentuk kepedulian karena orangtua menginginkan kehidupan yang makmur sejahtera untuk anak-anaknya. Namun, pada faktanya saat ini dia tidak mampu menghadirkan hal tersebut  sehingga khawatir jika anaknya nanti akan merasakan kehidupan yang keras di dunia ini. Jadi childfree adalah childcare.


Karena kehidupan yang tidak seimbang, aktivis-aktivis perempuan mulai bersuara. Mereka mengambil momentum revolusi Perancis untuk merubah pandangan masyarakat tentang keberadaan perempuan. Kampanye bahwa perempuan berhak atas dirinya sendiri juga santer digaungkan. Salah satunya dating dari seorang filsuf wanita Inggris bernama Mary Wollstonecraft yang mengkampanyekan ide feminis dalam bukunya berjudul, ‘A Vindication of Rights of Woman’, disertai dengan pernyataannya bahwa, “Telah tiba waktunya untuk mempengaruhi sebuah revolusi melalui cara perempuan. Telah tiba waktunya untuk memulihkan kewibawaan perempuan yang telah hilang.”

Dari fakta kehidupan Barat yang kelam dahulu, wajar jika para perempuannya bereaksi dengan ide kesetaraan. Namun, ide tersebut meluas hingga ke penjuru dunia bahkan ke dalam negeri-negeri yang tidak memiliki permasalahan seperti yang Barat alami. Lebih jauh lagi ide-ide tersebut meluas dan berevolusi menjadi ide-ide turunan yang lahir di atas klaim ingin mencapai kebahagiaan sebanyak-banyaknya. Salah satu ide turunannya adalah childfree  yang mengklaim bahwa meskipun perempuan punya rahim namun ia  berhak menentukan apakah ia akan mengandung atau tidak. Ini sama artinya dengan pandangan jika seseorang ingin memiliki anak bukan berarti dia harus menikah terlebih dahulu, karena sebagian orang merasa sudah cukup bahagia dengan kehidupan samen laven sembari mengadopsi anak, atau salah satu dari keduanya.


Feminisme vs Naluri dan Akal


Jika ditinjau dari timbangan naluri ide kebebasan berpikir dan berperilaku tidak sesuai dengan fitrah manusia. Sebab manusia secara fitrahnya tidak dapat mengatur cara berpikirnya sendiri. Manusia tidak mengetahui segala sesuatu di luar dirinya. Padahal untuk dapat membuat aturan, seseorang harus mengetahui fakta persoalan serta akibat-akibat yang dapat ditimbulkannya. Pada faktanya jika manusia menurutkan apa saja yang manusia ingini, maka kehidupan di dunia akan mengalami kekacauan, pertentangan, dan kesengsaraan. Penyebab lahirnya ide-ide kebebasan yang terjadi di Barat adalah karena rezim otoriter yang berkuasa mengekang kebebasan manusia dengan kasta-kasta piramida kapitalis. Hal ini memang tidak sesuai dengan fitrah manusia, namun bebas tanpa aturan juga bukan solusi permasalahan. Seandainya seluruh manusia yang ada saat ini menjalankan ide childfree maka manusia akan punah. Seandainya manusia dahulu lebih awal memilih childfree, maka manusia sekarang tidak akan sempat memikirkan ide serupa karena mereka tak pernah dilahirkan. Jika alasan childfree adalah dunia yang tidak ideal maka seharusnya yang dirubah adalah dunia yang rusak ini, bukan sebaliknya menafikan fitrah manusia yang bisa memiliki keturunan. 

Begitupun jika dintinjau dari timbangan akal manusia. Akal sehat manusia akan berbenturan dengan ide-ide rusak kebebasan. Akal manusia dipaksa membenarkan sesuatu yang salah. Secara logika manusia dapat berpikir, jika Tuhan menciptakan manusia untuk mengisi bumi dan memakmurkannya, lantas mengapa manusia mengamputasinya? Padahal yang paling mengetahui apa yang dibutuhkan alam semesta adalah Sang Pencipta. Jika dengan Childfree manusia meraih kebahagiaan, lalu mengapa Tuhan menciptakan manusia yang bisa melahirkan keturunan dan  merasakan kebahagiaa memiliki keluarga. Artinya baik secara fitrah dan akal terlalu lemah dan naïf untuk menentukan pilihan-pilihannya sendiri.


Kegagalan Demokrasi Memuliakan Perempuan

Ide-ide rusak tersebut adalah hasil dari pemikiran sekuler tentang kehidupan dunia yang tumbuh subur di dalam sistem kapitalisme-liberal. Pemerintahan demokrasi menjaga ide-ide tersebut atas nama kebebasan berpendapat dan berperilaku tanpa memikirkan dampak buruk yang timbul darinya. Ironinya, sistem kapitalisme-liberal ini juga tidak mampu menyelesaikan akar utama penyebab persoalan tersebut. Nihilnya aturan-aturan interaksi antara laki-laki dan perempuan ternyata memunculkan masalah-masalah kompleks lain. Pelecehan seksual, human traficking, eksploitasi tubuh perempuan, kebodohan perempuan, penindasan perempuan, dan sebagainya adalah masalah-masalah yang timbul sebab Negara tidak memberlakukan aturan dan sanksi yang tegas terhadap segala pelanggaran-pelanggaran terkait. 

Di sisi lain, Negara bak pahlawan kesiangan yang seakan mengakomodir perjuangan kesetaraan lewat dukungan-dukungan terhadap gerakan-gerakan feminis yang bebas bersuara, juga pembiaran terhadap adanya konspirasi ide-ide feminis dalam hari-hari khas semisal hari perempuan internasional dan hari kartini. Ini semua bukanlah upaya memuliakan perempuan, namun sebaliknya adalah sebuah penghinaan terhadap perempuan karena membiarkannya terus hidup di dalam kesengsaraan tanpa ada solusi tuntas.


Perempuan & Islam


Dalam pandangan Islam, perempuan yang memiliki keturunan adalah kemuliaan karena ada  pahala besar dalam setiap pengasuhannya terhadap anak. Anak-anaknya adalah pahala jariyahnya yang akan mengalirkan pahala meski ia telah tiada. Anak adalah rezeki yang memberikan kebahagiaan bagi orangtuanya. Melahirkannya adalah anugrah dan jumlahnya adalah kebanggaan Rasulullah di hari kiamat. Rahmat ini adalah karena Allah telah menitipkan di dalam setiap perempuan sifat Rahim dan rahim itu sendiri. Dan ketaatan setiap perempuan atas perintah Tuhannya adalah sebuah kebahagiaan hakiki.


Dalam lingkup kenegaran, Islam memboleh perempuan untuk bekerja, menjadi qadhi dalam daulah, ataupun surthoh yang menjaga keamanan daulah. Pekerjaan tersebut sama sekali tidak bertentangan dengan sifat dan naluri sebagai perempuan. Bahkan hal itu menunjukkan potensi yang dimiliki perempuan dihargai di dalam Negara Khilafah. Di samping itu di dalam daulah Khilafah mustahil ada gerakan-gerakan feminis dan kebebasan lainnya sebab, aturan-aturan yang ada menutup celah ketidak adilan dan kedzoliman bagi perempuan maupun laki-laki. Konsep seperti ini hanya ada jika syari’ah diterapkan di dalam Negara Khilafah Islamiyyah. Wallahu’alam.