HARI ANAK NASIONAL, CEREMONIAL TANPA REALITAS

 


Oleh: Mugi Mumpuni (Aktivis Muslimah Medan)


Dalam perjalanan sejarahnya, Hari Anak Nasional (HAN) mengalami beberapa perubahan. Penetapan HAN pertama kali dilakukan pada tanggal 6 Juni 1951 dengan sebutan Hari Kanak-Kanak lalu berubah menjadi tanggal 17 Juni 1951 dengan nama Pekan Kanak-Kanak Nasional Indonesia, hingga pada tahun 1985 akhirnya disepakati bahwa setiap tanggal 23 Juli sebagai HAN dan tidak berubah sampai saat ini. 

Selama 36 tahun memperingati HAN, disertai adanya perubahan undang-undang perlindungan anak, namun persoalan anak tetap saja menjadi PR yang belum terselesaikan. Alih-alih ingin memenuhi hak-hak anak dan mengurangi kekerasan pada anak, justru semakin bertambah tahun, kasus kekerasan terhadap anak juga semakin bertambah, apalagi dalam masa pandemi ini.


Pada masa pandemi Covid-19, anak mengalami berbagai persoalan, mulai dari kurangnya pengasuhan karena orang tuanya positif Covid-19, kurangnya kesempatan bermain dan belajar, serta meningkatnya kasus kekerasan sebagai akibat diterapkannya kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) maupun belajar dan bekerja di rumah. Kasus kekerasan terhadap anak di Kota Medan mencapai 154 orang korban, merupakan jumlah kasus tertinggi di Sumatera Utara. Disusul Kabupaten Langkat dengan 97 kasus dan Padang Sidempuan dengan 96 kasus. Hal tersebut didasarkan data aplikasi Simfhoni – PPA milik Pemprovsu Sumut hingga 4 Februari 2021. 


Manager Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA) Nias, Chairidiani Purnamawati, mengatakan bahwa sebanyak 200 anak dari 2 desa dampingannya, seluruhnya mengaku mendapatkan kekerasan dari orang tua mereka. Khususnya saat proses belajar di rumah selama Pandemi Covid-19. “Kasus-kasus kekerasan anak sudah terjadi namun di masa Pandemi Covid 19 semakin meningkat. Orang tua dipaksa menjadi guru, padahal ada orang tua yang tidak tamat SD bahkan tidak bisa baca tulis. Bagaimana bisa mengajar anak-anaknya di rumah," sebut Chairidiani, Rabu (20/1/2021).


Perubahan rutinitas di rumah dengan adanya pemberlakuan pembelajaran jarak jauh (PJJ)  dan bekerja dari rumah tentunya mengondisikan seluruh anggota keluarga baik orang tua maupun anak mengalami hari-hari yang panjang di rumah. Perubahan drastis ini dapat menyebabkan keluarga mengalami konflik internal akibat rasa jenuh yang membelenggu dalam kesehariannya. Penelitian menunjukkan bahwa mayoritas tindak kekerasan terhadap anak terjadi karena tekanan sosial-ekonomi keluarga seperti terlilit utang, tidak terpenuhi kebutuhan pokok keluarga, dan faktor lain yang menjadi penyebab tingginya tingkat stres pada orang tua lantas anak-anak menjadi korban ledakan emosi dan pelarian masalah orang tua.

Fakta-fakta tersebut jelas menunjukkan bahwa anak Indonesia belumlah terlindungi seperti yang dicita-citakan. Bahkan sebelum pandemi, anak-anak sudah dihadapkan berbagai permasalahan seperti kekerasan fisik dan verbal, kejahatan seksual, eksploitasi, korban perceraian orang tua, perdagangan anak, dan lain-lain yang jumlah kasusnya terus beranjak naik setiap tahunnya. 


Dari kondisi seperti ini, seharusnya kita jujur untuk mengatakan bahwa HAN mestinya bukan sekadar seremoni tahunan saja yang digelar secara nasional, baik di pusat maupun daerah, yang kemudian menghabiskan dana Negara untuk biaya desain poster, masker, kaos seragam, hingga bendera tangan dan tas sandang, akan tetapi berupaya sungguh-sungguh  bagaimana agar anak-anak terlindungi dan terjamin haknya tumbuh dan kembangnya.  Peringatan HAN tak ada faedahnya jika anak-anak di negeri ini terus mengalami kekerasan. 


SISTEM ISLAM MENJAMIN HAK-HAK ANAK


Anak adalah amanah dan karunia yang mahal dari Allah yang wajib dijaga dan dilindungi. Anak adalah titipan dari Allah yang mesti dijaga dan didik dengan benar sesuai dengan aturan yang menitipkannya, yaitu Allah. Jadi, sudah menjadi kewajiban orang tua untuk melindungi dan mendidik anaknya untuk mengenal dan menaati Allah dan Rasul-Nya. 


Melindungi dan mendidik anak, artinya mengantarkan mereka mewujudkan tujuan mereka diciptakan, yaitu sebagai hamba Allah Swt yang mengisi kehidupannya dengan beribadah (QS 51:56); menjadi generasi khairu ummah yang senantiasa mengajak manusia kepada cahaya Islam, dan melakukan amar makruf nahi munkar (QS 3:110); serta menjadi pemimpin orang-orang bertakwa (QS 25:74). . Tugas ini tidak akan berjalan dengan baik tanpa kerjasama berbagai pihak dalam sistem yang shohih.


Dalam Sistem Islam, yang merupakan sistem yang shohih, terdapat tiga pihak yang berkewajiban melindungi dan menjamin kebutuhan anak-anak. Pertama, keluarga yang merupakan madrasah utama dan pertama, yaitu ayah dan ibu. Ayah dan ibu harus bersinergi  menentukan serta menjalankan pola asuh dan ajar anak, mencukupi gizi anak, dan menjalankan peran sebagai orang tua dengan landasan keimanan dan ketakwaan kepada Allah Swt. Kedua, masyarakat tempat di mana generasi itu akan tumbuh dan hidup bermasyarakat. Masyarakat memiliki andil dalam menciptakan lingkungan yang kondusif bagi tumbuh kembang anak. Masyarakat adalah pengontrol perilaku anak dari kejahatan dan kemaksiatan. Dengan penerapan sistem sosial Islam, masyarakat akan terbiasa melakukan amar makruf nahi mungkar kepada siapa pun. Kondisi ini akan mewujudkan lingkungan yang islami dan ketakwaan anak. Ketiga, negara yang berada dalam sistem syariat Islam secara kafah, yaitu Khilafah. 


Dalam hal ini, negara berkewajiban memenuhi kebutuhan dasar yang layak, yaitu sandang, pangan, dan papan. Negara menciptakan lapangan kerja bagi para ayah agar mereka dapat memenuhi kebutuhan keluarga. Peran ibu sebagai sekolah pertama bagi anak-anak dapat dijalankan dengan baik karena ibu tidak dibebani lagi dengan himpitan ekonomi. Bila suami atau wali tidak ada, negara yang akan menanggung nafkah ibu dan anak-anaknya sehingga tidak mengganggu konsentrasi para ibu menjaga, merawat, dan mendidik anak-anak. Dengan adanya penjaminan ekonomi seperti ini, kesulitan ekonomi keluarga dapat teratasi dan kekerasan terhadap anak dapat dituntaskan. 


Negara juga menerapkan sistem pendidikan melalui kurikulum pendidikan berbasiskan syariat Islam dan UU yang mendukung penerapan kurikulum tersebut. Sistem Pendidikan Islam telah terbukti  tahan terhadap berbagai krisis seperti pandemic saat ini. Banyak cendikiawan muslim dengan temuannya yang penuh maslahat bagi umat lahir dalam sistem Islam. Dari sini dapat diketahui bahwa penerapan sistem Islam merupakan cara untuk melahirkan generasi berkepribadian Islam (ber-syakhsiyah Islam); memiliki bekal ilmu yang diperlukan dalam kehidupan, baik ilmu Islam (tsaqafah Islam) maupun ilmu terapan seperti sains dan teknologi. Negara berkewajiban membina warga negara melalui pendidikan dan dan mengadakan berbagai ajang kajian agama sehingga ketakwaan individu menjadi pilar bagi pelaksanaan hukum-hukum Islam.

 

Negara juga menjamin kesehatan. Negara wajib menyediakan pelayanan kesehatan secara gratis.  Pelayanan kesehatan tidak berorientasi pada untung rugi seperti saat ini. Negara memberikan pelayanan terbaiknya untuk menjamin kesehatan rakyatnya sebagai bagian dari amanah pemimpin dan ketundukannya pada perintah Allah. Jika keputusan lockdown diambil negara kita saat pandemi ini, sudah tentu, anak-anak yang berada di wilayah bebas wabah tetap ceria dan sehat serta dapat menjalankan aktivitasnya seperti biasa, bermain di luar rumah, belajar tatap muka di sekolah dan lain sebagainya


Selain itu, negara juga melakukan pengaturan dan pengawasan  terhadap media massa dan media digital. Negara menyaring dan memblokir konten-konten porno atau muatan yang mengandung gaya hidup liberal melalui departemen penerangan. Tujuannya, menjaga anak dari pengaruh negatif media yang merusak. Media massa dan media digital diperkenankan menyampaikan informasi, namun mereka terikat dengan kewajiban untuk memberikan pendidikan bagi umat, menjaga akidah dan kemuliaan akhlak, serta menyebarkan kebaikan di tengah masyarakat. Media yang memuat pornografi, kekerasan, ide LGBT, segala konten yang merusak akhlak dan melalaikan anak dari ibadah, serta menjauhkan anak dari agama, dilarang untuk terbit dan naik tayang, serta diberikan sanksi tegas bagi pelaku pelanggaran ini. 


Negara harus menjatuhkan hukuman tegas terhadap para pelaku kekerasan terhadap anak. Penyodomi dibunuh. Pembunuh anak akan di-qishas, yakni balas bunuh, atau membayar diyat sebanyak 100 ekor unta atau 1.000dinar yang bila dikonversi ke rupiah saat ini kurang lebih  senilai kurang 4 miliar Rupiah. Setiap anggota tubuh anak memiliki nilai diyat sama dengan orang dewasa. Penjatuhan sanksi dalam Islam berdimensi dunia akhirat, didunia memberikan efek jera bagi pelaku atau orang lain yang berencana melakukan kejahatan yang sama dan dimensi akhirat yaitu sebagai penghapus dosa dihadapan Allah.

Beginilah sistem Islam dan kepemimpinannya bekerja memenuhi segala kebutuhan anak dan melindungi hak-hak mereka. Anak-anak itu amanah, hanya boleh dididik sesuai keinginan yang menitipkan, yaitu Allah, bukan sesuai hawa nafsu kita.  Mendidik dan membentuk generasi bahagia, memiliki pemikiran cemerlang dan bertakwa haruslah didukung negara dengan sistem  Islam kaffah, yaitu Khilafah Islamiyah. Anak-anak terlindungi dan hak-haknya terpenuhi bukan cuma slogan namun kenyataan. 


Wallahu a’lam bishawab.[]