Mengkritik Pesantren Waria di Indonesia Moderasi Agama Merusak Generasi
Oleh: Rahmah Khairani,
S.Pd (Aktivis Muslimah Medan)
Fakta Keberadaan Pesantren Waria
Pesantren adalah sebuah lembaga
yang dikenal sebagai wadah bagi para santri untuk menimba ilmu agama. Umumnya
pesantren diperuntukkan bagi pelajar mulai tingkat dasar hingga menengah atas.
Kegiatan di dalamnya pun cenderung terpisah antara santriwan dan santriwati.
Sebab syari’at sudah menetapkan adanya perbedaan-perbedaan khusus dalam
kehidupan laki-laki dan perempuan, seperti batasan aurat, wajibnya sholat
jum’at bagi laki-laki, masa haidh dan nifas bagi perempuan, dan sebagainya.
Semua hukum-hukum syara’ yang berlaku tersebut sesuai dengan keberadaan diri
apakah sebagai laki-laki atau sebagai perempuan. Lantas dapatkah anda
membayangkan jika ternyata ada sebuah pesantren bernama pesantren waria?
Pada faktanya pesantren ini
benar-benar ada. Lokasinya berada di daerah Cilenan, Kotagede, Yogyakarta
dengan nama Pondok Pesantren Waria Al-Fatah. Didirikan oleh Shinta Ratri pada
tahun 2008. Latar belakang berdirinya pesantren ini adalah rasa empati terhadap
beberapa waria yang meregang nyawa karena gempa bumi Yogyakarta tahun 2006.
Sehingga, pendirinya berinisiatif untuk membangun sebuah pesantren sebagai
tempat berlabuhnya para waria untuk belajar agama.
Pesantren sempat ditutup karena
warga resah, namun kembali berdiri hingga sekarang. Shinta memperjuangkan hak-haknya
untuk mempertahankan pesantren tersebut walaupun banyak mengundang kontra dari
masyarakat setempat. Kegigihannya tersebut banyak mendapat reward pembela HAM. Pada tahun 2019 lalu, Shinta mendapatkan
penghargaan sebagai pembela Hak Asasi Manusia dari Front Line Defenders,
organisasi Internasional untuk perlindungan pembela HAM yang berbasis di
Irlandia. Shinta berterimakasih kepada media massa yang mengangkat kisahnya
tersebut. “Kami perjuangkan hak beribadah, bagian dari HAM.” katanya.
(Tempo.co, 19/7/19)
Umat Islam tidak boleh diam saja di
tengah kerusakan dan kemungkaran yang ada di depan mata seperti ini. Umat
secara lebih luas harus mengetahui bahwa negara memelihara kelompok-kelompok
liberal yang jelas-jelas bertentangan dengan Islam namun memakai nama Islam
sebagai identitasnya demi HAM. Terbukti dengan pengalaman pesantren tersebut
yang pernah dibubarkan warga namun bisa kembali berdiri setelah mengadu kepada
Komnas HAM. Artinya bahwa berdasarkan hukum positif negara, Komnas HAM tidak
mempermasalahkan keberadaan pesantren waria tersebut, karena sejatinya mereka
berdiri demi terwujudnya persamaan dan kesamaan hak warga negara berdasarkan
hukum yang berlaku.
Sistem Demokrasi Menjamin HAM Waria
Jelas keberadaan pesantren waria di
negeri ini tentu tidak akan dimusuhi oleh negara, sebab di dalam sistem negara
kapitalisme-sekuler-liberal, kebebasan bertingkah laku serta berkeyakinan harus
ditegakkan. Namun hal semacam ini menjadi persoalan jika terbentur dengan
idealisme dan militansi umat Islam. Sebab secara ideologi, umat Islam yang
paham tentang agamanya pasti menolak dan mengutuk keras keberadaan lembaga yang
mengklaim dirinya islami padahal secara hakikat melanggar syari’ah, seperti
halnya pesantren waria tersebut.
Pelanggaran hukum syari’ah atas nama
HAM bukanlah hal baru di dalam sistem demokrasi. Namun, keberadaannya
diperhalus dengan narasi-narasi pembelaan yang datang dari kalangan tokoh,
aktivis, bahkan pemuka agama. Sebagai contoh di tahun 2016 lalu, Forum LGBTIQ
mendapatkan penghargaan dari Suardi Tasrif Award sebagai bentuk dukungan atas
reaksi diamnya negara dalam memberikan perlindungan terhadap para transgender
yang mengalami banyak penolakan serta diskriminasi di masyarakat. Hadir pula
dalam forum tersebut, menteri agama RI bahkan memberikan apresiasinya.
Secara umum, para transgender
mengaku sebagai korban dari pelecehan seksual yang terjadi pada mereka di masa
lalu. Sehingga muncullah keinginan untuk membela dan mempertahankan
identitasnya di depan umum demi hukum agar mendapat hak yang sama dalam
masyarakat. Namun tetap saja harapan seperti ini bertentangan dengan syari’ah
Islam. Sementara para pelaku transgender sebagiannya menganut agama Islam.
Masalahnya adalah saat mereka menginginkan penerimaan atas identitas tersebut
oleh agama sebagaimana negara menerimanya.
Islam Moderat Merusak Generasi
Harapan untuk mengukuhkan keberadaan
kaum LGBT di Indonesia tampak bersinar dengan adanya Islam Moderat. Islam
Moderat adalah istilah yang lahir sebagai sikap defensif apologetik sebagian
umat Islam atas propaganda Barat yang berupaya menekan kebangkitan Islam ‘ala
manhaj nubuwwah. Isu-isu intoleran, radikal, dan terorisme yang dihembuskan
barat ke dalam ajaran-ajaran Islam membuat seakan-akan umat Islam kian terpojok
dengan ajarannya sendiri. Sehingga saat Barat memberikan solusi agar terlepas
dari tuduhan-tuduhan tersebut, mereka mengambilnya tanpa syarat. Solusi itu
tidak lain bernama Islam Moderat.
Islam moderat dikampanyekan di
Indonesia sebagai Islam rahmatan lil ‘alamin. Sebab, dari namanya yang berarti
‘jalan tengah’ adalah jawaban atas kekhawatiran melihat Islam sebagai pihak
tertuduh. Tidak ingin mendapati dirinya sebagai pihak tertuduh, namun juga
tidak ingin melepaskan Islam sepenuhnya. Sehingga mengambilnya diharapkan dapat
menyenangkan semua pihak, termasuk Barat. Jadilah ia rahmat bagi seluruh alam
versi mereka, yakni Islam yang diterima dari timur hingga ke barat. Saat cadar
dianggap radikal, maka moderat membenarkan menutup aurat sesuai keinginan asal
menutup tubuh. Saat jihad dianggap terlalu ekstrim, maka moderat mengalihkan
makna jihad kepada aktivitas yang lebih sempit yaitu sifat sungguh-sungguh
dalam segala hal kebaikan. Dan saat Khilafah yang dianggap sebagai ajaran
sumber radikalisme dan ekstrimisme plus terorisme, maka moderat memalingkan
wajahnya sembari menjunjung demokrasi yang Islami. Tak ketinggalan pula dengan
keberadaan kaum LGBT yang sudah dicap negatif oleh Al-Qur’an sebagai kaum
laknat, maka moderatisme menganggap mereka adalah kaum yang harus dirangkul. Hal
ini jelas sangat membahayakan generasi Muslim.
Pilihan-pilihan alternatif inilah
yang membuat barat semakin berani mengukuhkan dirinya sebagai kiblat dunia,
yang tanpa persetujuan darinya, sesuatu itu akan menjadi musuh. Ancaman ini
telah menggertak sebagian umat Islam sehingga mereka mencari tempat
perlindungan dengan mengakui sebagai muslim yang berislam moderat.
Mengakhiri Negara Sekuler
Kekacauan pola pikir dan pola sikap
umat Islam tidak terlepas dari atmosfer sistem negara sekuler. Sementara
peradaban Islam yang gemilang sangat jauh untuk dijangkau dengan panca indera
secara langsung. Akhirnya yang terjadi adalah jurang antara umat Islam dan
ajarannya semakin terbuka lebar. Namun bukanlah hal yang mustahil bagi umat
Islam untuk mengakhiri seluruh keadaan yang menyesatkan ini.
Umat Islam harus menyadari bahwa
mereka butuh kembali ke dalam naungan syari’ah Islam secara kaffah. Tidak
berkompromi terhadap kekufuran yang dibalut dengan pujian-pujian manis. Umat
Islam harus menyadari keagungan dan kemuliaan agamanya saat diterapkan secara
menyeluruh dalam institusi bernama Khilafah.
Khilafahlah yang mampu menghapuskan
segala bentuk istilah-istilah yang membuat Islam sebagai pihak tertuduh dengan
ketinggian martabatnya. Khilafah mampu menunjukkan bahwa Islam adalah ajaran
yang menghargai segala perbedaan namun bukan berarti seluruhnya dibenarkan.
Karena Khilafah memiliki tolak ukur benar dan salah hanya menurut hukum syara’
semata.
Khilafah dengan atmosfer keimanan
mampu menciptakan suasana kehidupan takwa bagi rakyatnya. Penerapan sanksi yang
tegas kepada para pelaku pelanggaran akan menjerakan dan menjadi pelajaran bagi
yang lain. Sehingga manusia tidak akan memperoleh celah untuk berbuat
kemaksiatan. Hal tersebut benar-benar untuk menjaga dan melindungi aqidah generasi
dan tujuan bermasyarakat dapat tercapai.
Inilah kerusakan negara sekuler
yang harus diakhiri. Mengakhirinya membutuhkan perjuangan nyata dari umat
Islam. Mengambil bagian dari perjuangan ini adalah kemuliaan, sementara
meninggalkannya adalah suatu kehinaan. Wallahu’alam bish showab.