Bebas Utang dengan Sistem Khilafah

 


Oleh: Sari Ramadani (Aktivis Muslimah)


 "Gali lobang tutup lobang

Pinjam uang bayar hutang."


Begitulah kondisi Indonesia saat ini, terlilit utang hingga triliunan rupiah.


Kondisi inikah yang kita harapkan?


Sungguh ironi memang.

Indonesia menghadapi persoalan kenaikan utang luar negeri sejak krisis ekonomi 1998 dan era reformasi bergulir. Utang luar negeri yang tadinya berada pada level di bawah seribuan triliun rupiah, kini sudah nyaris menyentuh Rp 6.000 triliun per Oktober 2020. Tak heran jika belum lama ini Bank Dunia memasukkan Indonesia sebagai 10 besar negara berpendapatan rendah dan menengah yang memiliki utang luar negeri terbesar pada tahun lalu. (republika.co.id, 27/12/2020).


Kementerian Keuangan memperkirakan defisit APBN 2020 akan melebar dari target yang telah ditetapkan dalam Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2020 sebesar Rp1.039, 2 triliun atau 6,34 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Dengan adanya defisit yang besar, pemerintah harus mencari alternatif pembiayaan APBN lainnya, termasuk melalui utang. Meski demikian, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, utang yang dibuat di tengah masa krisis untuk selamatkan rakyat. (viva.co.id, 24/12/2020).


Dalam Khilafah, utang bukanlah solusi untuk memecahkan berbagai macam persoalan negara. Apalagi berdalih bahwa semua ini demi rakyat dan negara. Karena di dalam sistem Khilafah, pemasukan negara berasal dari kepemilikan negara dan kepemilikan umum.


Kepemilikan negara sendiri merupakan harta dari pada hak seluruh kaum muslim, sementara negara memiliki wewenang dalam pengelolaan harta tersebut. Yang termasuk harta negara adalah fai, Kharaj, Jizyah dan sebagainya.


Sedangkan kepemilikan umum adalah seluruh kekayaan yang telah ditetapkan oleh Allah bagi kaum muslim sehingga kekayaan tersebut menjadi milik bersama seperti tambang emas, lautan, batu bara, minyak bumi dan lain sebagainya. Serta haram hukumnya memiliki harta kepemilikan umum ini secara pribadi.


Baik harta kepemilikan umum maupun negara, keduanya dikelola oleh negara yang kemudian dikembalikan lagi kepada rakyat dan juga negara demi kemaslahatan negara dan juga warga negaranya.


Untuk itu, mustahil jika negara akan berutang pada negara lain, karena negara bertanggung jawab penuh atas harta kepemilikan umum dan negara.


Dalam sistem Khilafah, ketakwaan individu juga terjaga, baik orang-orang yang duduk di pemerintahan atau rakyat biasa. Sehingga tidak akan mungkin negara mengambil utang riba demi menyelesaikan permasalahan ekonomi negaranya karena sadar akan beratnya dosa riba.


“Rasulullah Saw melaknat pemakan riba yang memberi, yang mencatat dan dua saksinya. Beliau bersabda, mereka semua sama.” (HR Muslim)


Oleh karenanya Khilafah adalah negara yang anti "utang-utang klub" akan tetapi pembangunan dilakukan di wilayah yang sangat luas.


Pada masa Abbasiyah, kemajuan dicapai pada kepemimpinan Khalifah Harun Ar-Rasyid dan Al-Ma’mun. Kemajuan yang terjadi, meliputi berbagai macam bidang, terutama dalam bidang perekonomian, perdagangan dan pertanian. Yang mana hal ini membuat Baghdad menjadi pusat perdagangan terbesar dan teramai di dunia pada saat itu, sehingga negara memperoleh pemasukan yang begitu besar dari aktivitas perekonomian dan perdagangan ini.


Pemasukan yang begitu besar itu pun digunakan untuk pembangunan dan menyejahterakan rakyatnya. Kota Baghdad pun dibangun dengan indah dan megah. Gedung-gedung tinggi berdiri, tempat-tempat ibadah dibangun megah, sarana pendidikan pun banyak ditemukan dan fasilitas kesehatan gratis diberikan dengan pelayanan yang prima.


Hal ini sangat berbeda dengan sistem hari ini, alih-alih menyejahterakan rakyat malah membebani dengan banyaknya utang yang dengan itu rakyat menjadi terbebani dengan tingginya pajak yang dipungut.


Untuk itu, mampukah sistem hari ini menyelamatkan negara dari jerat utang?


Tidakkah kita merindukan hidup yang aman, damai, dan penuh dengan keberkahan?


Maka, tak ada jalan lain Islamlah jawabannya!


Wallahualam bissawab