Menakar 'Womenomic' : Apakah solutif ?

 


Oleh : Alfisyah ( Pendidik & Aktivis Muslimah)


Gagasan “womenomic” atau perempuan sebagai penggerak ekonomi kini disuarakan kembali secara massif. Gagasan ini diyakini sebagai jalan atas masalah kemiskinan yang terjadi di negara-negara ketiga yang mayoritas “miskin struktural”. Kondisi miskin yang terjadi secara menyeluruh pada seluruh warga negara atau mayoritasnya. Sangat dibutuhkan analisis mendalam untuk menakar apakah solusi ini mampu menyelesaikan masalah kemiskinan khususnya yang menimpa perempuan.

PBB dan IMF sudah sejak lama menyuarakan dan mengampanyekan isu ini. Solusi ini pun kemudian diambil pemerintah dengan sambutan hangat. Maka kemudian tidak heran pihak di parlemen yang mengurus pemberdayaan perempuan sebagai ujung tombaknya. Sektor swasta pun tak kalah untuk ikut andil dalam menyuarakan gagasan ini. 

Pihak –pihak yang menyuarakan gagasan ini beranggapan bahwa jika perempuan itu bekerja maka angka kemiskinan akan menurun bahkan tuntas. Gagasan ini juga diharapkan mampu memakmurkan masyarakat khususnya secara finansial, terlebih lagi kaum perempuan. Secara permukaan gagasan ini tampak menarik dan sangat manis. Namun jika dikaji lebih dalam gagasan ini hanyalah “narasi absurd” yang dibangun dari analisis masalah yang keliru. 

Seakan kepemilikan itu disebabkan oleh karena perempuan yang tidak bekerja (tidak produktif). Seakan kemiskinan itu juga disebabkan oleh norma-norma yang menjadikan perempuan menjadi ummun (ibu) dan robbaatul bayt (pengatur rumah tangganya sendiri). Seakan kemiskinan terjadi karena perempuan diam dirumah, berkutat pada urusan rumah, suami dan anak-anaknya. Terlebih lagi, pandemi korona yang belum usai dituduh sebagai kondisi yang merumahkan perempuan sehingga menjadi pihak yang tidak produktif secara ekonomi.

Narasi yang keliru itu telah mengajak setiap perempuan untuk berpikir dan juga bertindak keliru. Perempuan  kehilangan pemkiran mendasarnya bahwa dialah perempuan mulia yang ditanggung nafkahnya menurut syariat oleh suami, kerabat laki-laki dan negara dimana diaa hidup didalamnya. Perempuan seakan lupa akan kemuliaannya itu yang tersemat pada dirinya sejak Rasulullah membawa risalah islam di Madinah. Jati diri perempuan yang sejati itu kini pupus sebab hantaman serangan pemikiran kapitalisme sekularis. Perempuan muslimah hilang arah. Tugas mulia yang Allah sematkan tidak lagi dianggap lebih utama dari pada bekerja untuk mensukseskan seruan-seruan dari pegiat “womenomic” 

Jika dikaji lebih dalam penyebab kemiskinan itu adalah karena diterapkan ekonomi pasar bebas. Ekonomi yang dikuasai para kapital (pemodal) dan para penguasa yang membela kapital (korporatokrasi). Kebijakan arah ekonominya cenderung memihak keuntungan untuk kapital yang telah berjasa menaikan mereka menjadi penguasa. Masyarakat sebagai warga kelas dua harus dijadikan sebagai pasar atas produk barang ekonomi yang dihasilkan para kapital itu melalui koporasi mereka. Penguasa itu memuluskan kepentingan para kapital.

Siyasah ekonomi kapitalis pasar bisnis itu menyebabkan kemiskinan masyarakat kaum perempuan sehingga bagian dari masyarakat merasakan dampaknya yang lebih banyak sebab perempuan lain yang menjadi maneger atas perjalanan rumah tangganya. Kemiskinan perempuan ini sebagai dampak dari kemiskinan yang disebabkan negara yang salah aturan. Peluang bisnis kemudian (merayu) perempuan untuk bekerja dan berbisnis. Disaat yang sama haknya dirampas dari anak-anaknya. Anak-anak yang selayaknya dibawah riayah(pengasuhan) perempuan itu kehilangan sosok ummun (ibu) dalam keluarganya. Aktivitas merampas perempuan ini dari rumahnya telah membuat institusi terkecil sebuah masyarakat menjadi goncang dan hilang arah. Narasi pengentasan kemiskinan yang disuarakan pegiat perjuangan perempuan “Womenomic” telah memalingkan tujuan perempuan tadi ada di dalam institusi terkecilnya. Konsep keseimbangan keluarga itu mulai oleng diterpa pusaran angin berlimpahnya materi (harta). Ide dan gagasan yang menipu. Narasi womenomic benar-benar menipu kaum perempuan. Perempuan terpedaya meninggalkan tugasnya di garda terdepan dalam pendidikan dan pengasuhan anak-anaknya. Oleh karena itu, perempuan mesti sadar, ini adalah jebakan yang menipu.

Narasi womenomic telah merampas waktu-waktu emas seorang ibu mencetak kader harapan bangsa. Waktu-waktu yang hilang itu tak akan bisa diganti dngan waktu yang lain dan juga tidak bisa diulangi. Usia anak tahap demi tahap itu berbeda perlakuannya. Kehilangan satu tahap saja akan berefek pada tidak sempurnanya tumbuh kembang anak. Hal itu akan memberikan pengaruh pada masa deapan dan masa tuanya. 

Pandangan syariat Islam terhadap gagasan absurd womenomic ini sangat jelas. Syariat Islam menganggap gagasan ini ibarat racun yang dibalut madu ada yang berbahaya dibalik manisnya gagasan itu. Karena didalm syariat islam solusi mengentaskan kemiskinan itu adalah dengan mengganti sistem ekonominya menjadi sistem yang benar (shahih). Sistem ekonomi yang shahih akan menjadikan setiap warga negara termasuk wanita menikmati kehidupan dengan keamanan finacial dari suami, kerabat laki-lakidan negara. Para suami wajib memberikan nafkah untuk istri dan anaknya. Jika suami tidak ada/ tidak bisa tugas itu beralih pada kerabat laki-lakinya. Jika pun tidak mampu, negara siap memback up untuk menyediakan harta (majikan) untuk kenyamanan financial kaum perempuan tentu saja negara itu haruslah memilih sumber APBN yang layak, surplus dan mandiri secara ekonomi. SDA nya pun tidak diserahkan pada asing untuk pengelolaannya mekanisme ini menutup cela penguasaan SDA oleh asing. Jumlah SDA yang berlimpah itu setelah dikelola sesuai syariat Islam dikembalikan hasilnya untuk rakyat dalam bentuk produk akhir (energi) atau layanan fasilitas umum yang terbaik dan profesional. Kepemilikan individu yang di bolehkan syariat untuk dikembangkan (tarmiyah) secara individu disesuaikan agar bisnisnya itu kodusif.

Pemberian dana hibah bagi siapa yang membutuhkan sangat mungkin diberikan secara massal dan dalam jumlah besar, tanpa riba dan  tidak diskriminatif. Negara memiliki sumber-sumber yang banyak dan berlimpah. Jika sudah begini, negara tidak akan diremehkan pihak lain. Negara itu mandiri secara ekonomi dan diperhitungkan secara politik. Kaum perempuan pun tidak “tergiur” untuk mengikuti arahan pegiat “womenomic”. Sebab gagasan womenomic yang merupakan narasi absurd iitu hanya ada dalam ekonomi kapitalis dan negara yang berbasis demokrasi. Akhirnya perempuan itu akan sejaterah dalam hidupnya begitupun juga kaum laki-lakinya, tanpa kecuali. Wallahu'alam.