Menghadapi Pandemi: Kapitalisme VS Islam


Oleh: Widya Sriwahyuni Rusmanto 
(Aktivis Muslimah Dakwah Community)

China mengumumkan pertama kali pada (4/1/2020), khususnya di kota Wuhan tentang terpaparnya puluhan orang dengan penyakit Corona dan disebut Covid-19. World Health Organization (WHO) telah menetapkan COVID-19 sebagai pandemi. Virus Corona telah menyebar ke lebih dari 100 negara di dunia.

WHO sendiri mendefinisikan pandemi sebagai situasi ketika populasi seluruh dunia ada kemungkinan akan terkena infeksi ini dan berpotensi sebagian dari mereka jatuh sakit. Walaupun virus Corona telah dinyatakan sebagai pandemi, WHO menegaskan bahwa pandemi ini masih bisa dikendalikan.

Semua kepala negara berlomba-lomba untuk menyelamatkan rakyatnya dari virus. Tapi faktanya, penanganan yang dilakukan masih sekedar retorika belaka yang tidak memiliki jaminan. Bisa dilihat dari konsep yang diajukan oleh Presiden negeri ini lewat Juru Bicara Kepresidenan Fadjroel Rachman dalam pernyataan pers di Jakarta bahwa Presiden sudah menggariskan tiga program prioritas dalam menghadapi pandemi covid-19. Pertama, memfokuskan dan menggerakkan semua sumber daya negara untuk mengendalikan, mencegah, dan mengobati masyarakat yang terpapar covid-19. Kedua, memfokuskan dan menggerakkan semua sumber daya negara untuk menyelamatkan kehidupan sosial-ekonomi seluruh rakyat. Ketiga, memfokuskan seluruh sumber daya negara agar dunia usaha baik UMKM, koperasi, swasta, dan BUMN agar terus berputar.

Menggerakkan semua sumber daya Negara untuk mejalankan ketiga program sudah terlihat tidak sesuai realita, karena Presiden telah membuka peluang sebesar-besarnya kepada asing yang ingin menawarkan bantuan kepada Indonesia. Misalnya saja, bantuan yang datang dari Singapura berupa 50 unit APD dan dua alat ventilator yang disalurkan ke Kota Batam, Kepulauan Riau. Dalam sistem kapitalisme, tidak ada makan siang gratis. Tidak ada bantuan yang hanya sekedar bantuan. Pasti ada keuntungan yang ingin diperoeah dari si Negara pemberi bantuan.

Pemerintah juga tertarik pada tawaran pinjaman utang dari IMF yang sebelumnya, mengumumkan, telah menyiapkan dana 1 triliun dollar AS untuk negara-negara anggotanya yang menghadapi corona. Serta tawaran pinjaman dari Bank Dunia yang sudah menyiapkan dana 14 miiliar dollar AS untuk paket pembiayaan jalur cepat bagi negara yang juga menghadapi pandemi global itu. Tak lupa dari ingatan tentang hutang luar negeri Indonesia yang sudah melonjak drastis pada kepemimpinan rezim ini yang tembus 6079 triliun rupiah per Januari 2020.

Belum lagi yang katanya demi menghindari kericuhan, Presiden enggan menyebut penyebaran virus ini sebagai krisis. Pemerintah enggan menyebutkan persebaran virus ini secara gamblang. Presiden memang lalu mengeluarkan Keppres Nomor 7 Tahun 2020 tentang Gugus Tugas Percepatan Penanganan Virus Corona (Covid-1). Namun masyarakat butuh lebih dari itu. Mereka juga tak cukup hanya diimbau untuk bekerja, sekolah, dan beribadah di rumah demi mencegah meluasnya perebakan virus, sementara Negara tidak siap untuk lockdown. Hal ini menampakkan tidak ada tindakan pencegahan dari Negara untuk rakyatnya. 
Pada program yang kedua, yang diselamatkan adalah para pemilik modal dan bukan seluruh rakyat apalagi rakyat miskin. Negara bahkan rela menyebut kalau rakyat miskinlah penyebab dari penyebaran virus ini di Indonesia, dengan analisa, rakyat miskin tidak mampu membeli kebutuhan pencegahan Covid 19 yang sengaja dibuat melambung tinggi harganya seperti masker dan hand sanitizer.

Pada program ketiga, Negara yang 'doyan' nya menggandeng pihak swasta untuk menyelesaikan masalah rakyatnya, kali ini juga masih melakukan hal yang sama. Berharap daya beli terus meningkat dengan kondisi rakyat yang terus tercekik.

Dengan merenungkan mendalam tiga program pemimpin Negeri ini, menjadi jelas bahwa itu tidak mengatasi persoalan, tetapi akan meningkatkan kegagalan ekonomi dan kegagalan lainnya. Kemudian melipatgandakan penyakit ini dan kebosanan yang menimpa masyarakat. Oleh karena itu, solusi yang shahih untuk penyakit ini adalah seperti yang ada di dalam syariah Allah SWT, dengan negara menelusuri penyakit tersebut sejak awalnya dan bekerja membatasi penyakit di tempat kemunculannya sejak awal dan orang-orang sehat di tempat-tempat lainnya tetap bekerja dan berproduksi.

Imam al-Bukhari telah meriwayatkan di dalam Shahih-nya dari Usamah bin Zaid dari Nabi saw, beliau bersabda: “Jika kamu mendengar wabah di suatu wilayah, maka janganlah kalian memasukinya. Tapi jika terjadi wabah di tempat kamu berada, maka jangan tinggalkan tempat itu.”

Tipe karantina di dalam Islam, Negara membatasi penyakit di tempatnya dan penduduk tempat itu tetap tinggal disana dan penduduk lainnya tidak masuk ke tempat itu. Negara juga menjamin pelayanan kesehatan berupa pengobatan dan obat secara gratis untuk seluruh rakyat, mendirikan rumah sakit dan laboratorium pengobatan, dan lainnya yang termasuk kebutuhan asasi rakyat Daulah. Begitulah langkah-langkah yang sahih dengan mengisolasi penyakit menular di tempatnya dan mengkarantina orang yang sedang sakit dan pengobatan secara gratis, sementara orang-orang yang sehat tetap melanjutkan kerja mereka, kehidupan sosial dan ekonomi dapat berlanjut sebagaimana sebelumnya. Wallahualam.