Membangun Generasi dari Iman


Rahmah Khairani, S.Pd (Guru dan Aktivis The Great Muslimah Community Medan)

Beberapa waktu lalu sebuah diskusi publik di kota Medan, mengangkat sebuah tema berkenaan dengan resolusi di tahun 2020. Dengan mengusung judul “Resolusi tahun 2020: Indonesia ke Arah Mana?” diskusi tersebut mengundang seorang praktisi pendidikan, seorang ulama dan seorang pengamat media. Masing-masing pemateri berbicara sesuai keahliannya. Satu hal yang menarik adalah, ketiganya satu suara bahwa Indonesia saat ini sedang tidak baik-baik saja, dan bila terpaksa harus memprediksi maka hasilnya adalah Indonesia akan semakin mundur. Prediksi tersebut bukan tanpa alasan, melainkan berdasarkan fakta dan data di lapangan. Segala macam problematika tengah melanda negeri namun solusi seakan tak ditemui. Mengapa demikian?
Bila kita bertanya terkait nasib negeri, maka jawabannya merupakan pemikiran integral yang membahas terkait individu, masyarakat, dan negara. Sebuah masyarakat pada faktanya akan mempengaruhi individu, namun tidak sebaliknya. Masyarakat terdiri atas kesatuan dalam pikiran, perasaan dan aturan yang diterapkan atas orang-orangnya. Hubungan ini akan menciptakan suasana yang teratur dengan pemberlakuan sanksi tegas bagi pelanggar aturan. Keteraturan bermasyarakat ini akan membuat individu-individu di dalamnya tersuasanakan dengan jenis pemikiran, perasaan dan aturan yang sama. Tidak cukup sampai disitu, Keteraturan tersebut tidak dapat berjalan sempurna apabila hanya lahir dari keterpaksaan  belaka, melainkan harus didasari kesadaran yang mendalam. Kesadaran masing-masing orang pasti berasas kepada sebuah pemikiran paling dasar dan menyeluruh, yakni aqidah. Aqidah yang benar akan menuntun seseorang untuk mencapai aktifitas yang benar pula, sehingga menjadikannya seorang individu yang bertaqwa.
Rasulullah saw. saat mendakwahkan Islam kepada para sahabatnya, beliau tidak langung mengajari mereka al-Qur’an, melainkan didahului dengan membangun keimanan terlebih dahulu. Setelah memiliki keimanan yang mantap, barulah Rasulullah saw. mengajari mereka perihal al-qur’an yang wajib diikuti. Perintah dan larangan yang berasal dari al-Qur’an akan mudah diikuti secara ikhlas, bila hati sudah terlebih dahulu beriman. Pola binaan seperti itu telah terbukti mampu mencetak generasi terbaik umat Islam yang menjadi teladan bagi generasi selanjutnya. Hal ini dikarenakan adanya batas yang jelas antara fardhu ‘ain dan fardhu kifayah dalam pendidikan. Skala perioritas ini terbentuk dari aqidah yang telah diyakini sebelumnya. Pendidikan berasas Islam tersebut tidak hanya melahirkan para orang-orang yang faqih fi ad-diin namun juga para ahli ilmu pengetahuan dan teknologi. Semua hasil karya mereka, didedikasikan untuk kekuatan Islam.
Sayangnya, fakta hari ini bertolak belakang dengan kehidupan para sahabat di zaman Rasul. Namun bukan berarti menjadi legitimasi berhentinya upaya untuk mewujudkannya kembali. Pendidikan sekuler yang saat ini tengah membina generasi modern, telah memisahkan pikiran dengan perasaan mereka. Di satu sisi mereka cakap dalam aspek duniawi, namun di sisi lain mereka kering akan aspek spiritual (ibadah, akhlak, dll.), dan adapula yang sebaliknya. Generasi yang terbentuk lebih cenderung bersifat ‘pengikut’ dibanding pendobrak. Pada akhirnya, hal yang seharusnya menjadi sesuatu yang paling penting bagi kehidupan manusia (keridhoan pencipta) tidak menjadi tolak ukur perbuatannya. 
Dalam sistem Islam, pemeliharaan keimanan setiap individu berada di bawah pengawasan negara. Negara akan menerapkan kurikulum yang digali dari al-qur’an dan as-Sunnah pada setiap jenjang pendidikan. Negara akan menutup rapat pintu-pintu celah masuknya hal-hal yang dapat merusak keimanan warga negaranya. Suasana keimanan ini akan berlangsung seterusnya selama negara tersebut berdiri tegak. Walhasil, bukan hanya individu, namun ketaqwaan kolektif akan menjadikan para generasinya sebagai pendobrak peradaban untuk era keemasan. Wallahua'lam.