KAPITALISME HILANGKAN PERAN AYAH


Oleh: Alfysah (Ibu Rumah Tangga, Aktivis Muslimah Medan)

Kapitalisme dengan segala metode dan uslub-nya ternyata terbukti mampu menghilangkan peran ayah dalam sebuah keluarga. Peran yang paling utama dan menjadi indikator kokohnya keluarga. Kejadian dan peristiwa kejam di luar nalar tampaknya muncul akibat sistem kejam ini, yaitu kapitalisme. Kejadian di luar nalar tersebut bahkan terjadi di negeri tercinta ini. Beberapa waktu yang lalu ada seorang ayah yang membunuh anaknya karena rewel lalu dimakamkan seadanya untuk menutupi jejaknya. Ada juga ayah yang tega menghamili anak perempuannya sendiri. Ada juga ayah yang membanting anaknya hingga tewas karena stres ditinggal isterinya.
Ayah adalah seorang laki-laki yang memiliki kedudukan mulia sebagai qowwam (pemimpin sekaligus penanggungjawab) sebuah keluarga. Sosok ini bertanggung jawab menafkahi, menjaga orang-orang yang ditanggungnya agar terjaga harta dan jiwa mereka. arah berlayarnya keluarga ditentukan oleh segala kepemimpinannya. Namun, kini peran tersebut bahkan tak dirasakan lagi oleh anggota keluarga akibat kekejaman sistem kapitalisme. Sistem kapitalisme menjadikan kewarasan ayah menjadi hilang hingga tega membiarkan anggota keluarganya hancur dan kacau karenanya. Ayah bahkan lebih banyak menggantungkan tugasnya dan memindahkannya kepada Ibu. Lalu, Ibu meninggalkan tugasnya yang utama sebagai ummun warabbatul bayt.
Alih fungsi ini menyengsarakan anak. Bahkan menyebabkan anak dalam bahaya. Ibu tak lagi peka setelah capek mencari nafkah. Anak-anak tak lagi mendapatkan kasih sayang Ibu sebagaimana mestinya menurut Islam. Anak binasa akibat kapitalisme. Binasa akal dan perasaannya, namun tidak untuk tubuhnya. Sebab, tubuhnya tanpa akal dan perasaan yang sehat, ibarat jiwa yang telah mati.
Peran ayah sebagai sosok yang memberikan kenyamanan dan keamanan emosional serta finansial hilang tanpa bekas. Akibat sistem kapitalis yang menghilangkan banyak lapangan pekerjaan ternyata berdampak secara domino bagi pendapatan ayah. Ayah menganggur, dirumahkan, lalu ibu menggantikan peran ayah sehingga tak punya waktu dan tenaga lagi untuk melakukan tugas utamanya. Di sinilah tujuan sistem kapitalisme itu terealisir. Anak besar tanpa dididik, tanpa kasih sayang, tanpa tsaqofah dan tanpa identitas diri. Jika sudah begini hilanglah jati diri generasi. Tak lama hancurlah generasi secara mayoritas.
Lalu, sosok ayah sebagai teladan pun tak luput dari  serangan sistem ini. Ayah kini lepas dari peran tersebut. Anak tak lagi menjadikan ayahnya sebagai teladan.  Sebab, ayah masa kini kehilangan identitas dirinya secara perlahan. Teladan ayah yang sholeh, kuat, bertanggung jawab rusak tergerus pemikiran kapitalisme. Arus deras serangannya menyebabkan teladan ayah tan tampak secara kasat mata.
Ayah yang korupsi, ayah yang tertangkap tangan sebagai pelaku narkoba, sabung ayam, main judi, berzina, dan lain-lain sudah tak asing lagi ada di sekitar kita. Anak kehilangan teladannya. Tak ada lagi ayah yang mengajak anggota keluarganya untuk sholat berjamaah di rumah dan di masjid. Tak ada lagu sosok ayah yang rutin memurajaah hafalan anaknya.
Jarang sekali ditemukan ayah yang marah karena anaknya meninggalkan sholat, pacaran, membuka aurat, dan lain-lain dengan dalih kebebasan individu. Maka, ayah hari ini sudah terpapar ide kebebasan berperilaku yang disebabkan  oleh sistem kapitalisme ini. Kehancuran generasi karena ibu dan ayah kini menjadi sesuatu yang pasti dan mudah karena rapuhnya keluarga tersebut.
Kisah Luqmanul hakim tampaknya hanya tinggal kisah. Begitu juga kepemimpinan seorang nabi Yakub terhadap Yusuf yang terekam indah, kini tak dirasakan oleh anak. Dalam beberapa riwayat disebutkan bahwa Yususf terbebas dari rayuan Zulaikha karena bayangan dan rekaman ajaran, pesan, harapan ayahnya agar anak tak mudah berbuat maksiat, terngiang meskipun berpisah sejak kecil. Bagaimana kita hari ini? Tampaknya, ayah kini harus segera sadar bahwa peran mereka akan dihilangkan secara paksa oleh sistem ini. Kesadaran umum para ayah harus segera dibangun kembali, meskipun sulit dan berat. Ada ancaman dan siksa dari Allah jika ayah meninggalkan perannya.
Namun, tak cukup kesadaran umum itu secara personal/individu. Peran ayah sangat dibutuhkan untuk mewujudkan sistem Islam. Karena dalam sistem tersebut, mereka mudah merealisasikan perannya. Ayah mesti sadar bahwa sangat mustahil mewujudkan peran seperti Luqmanul Hakim, Ya’kub AS dan lain-lain terlebih dahulu. Ayah yang tangguh akan fokus pada tujuannya mewujudkan anak sekaliber ulama, mujtahid dan pemimpin bagi orang yang bertakwa. Bersama Ibu, sekolah dan negara (lingkungan) bersinergi mewujudkan generasi cerdas, generasi pemimpin, generasi penakluk penjajahan, generasi robbani yang dicintai Allah. Sebab, jika peran ayah itu hilang, lalu peran ibu juga hilang, sekolah yang sekuleristik, Negara yang jauh dari Allah, itu berkuasa, mustahil bagi kita mendapatkan generasi yang didambakan.
Faktanya, kini Negara dengan sistem robbani itu belum ada, sekolah pun sangat kapitalistik dan sekuleristik secara kurikulum hingga outputnya, peran ibu dibajak paksa, peran ayah dimusnahkan perlahan secara halus. Maka, generasi mendatang tidak akan mampu bertahan. Mari wujudkan institusi bernegara yang mampu mewujudkan peran ayah, ibu, lingkungan, sekolah yang berjaan pada koridor kenabian dengan satu langkah yatiu dakwah. Dakwah menuju tegaknya institusi itu, institusi yang diinginkan Allah SWT. Niscaya generasi yang akan datang, ulama, mujtahid, mujahid, khalifah di bumi segera terwujud. Aamiin. Wallahua'lam.