HUKUM KURBAN ONLINE



OLEH: KH. M. SHIDDIQ AL JAWI

Tanya :
Ustadz, bolehkah kita berkurban secara online? Jadi kita transfer ke satu pihak secara online, yang menawarkan jasa pembelian, penyembelihan, dan pendistribusian hewan kurban kita di daerah lain._ (Nugroho Baskoro, Jakarta)

Jawab :

Dari pertanyaan di atas, ada 2 (dua) persoalan;

Pertama, mentransfer uang kepada satu pihak secara online untuk membeli, menyembelihkan, dan mendistribusikan hewan kurban. 

Kedua,menyembelih hewan kurban di tempat lain yang bukan tempat tinggal pekurban (mudhahhi).

Hukum untuk persoalan pertama, boleh secara syariah seseorang mewakilkan urusan pembelian, penyembelihan, dan pendistribusian hewan kurban kepada pihak lain, dengan akad wakalah, yaitu akad mewakilkan suatu urusan kepada pihak lain, baik tanpa upah maupun dengan upah (ujrah) tertentu kepada pihak wakil _(wakalah bil ujrah)_.

Bolehnya wakalah dalam penyembelihan kurban, dalilnya hadits dari Jabir bin Abdillah RA, bahwa Rasulullah SAW telah menyembelih 63 hewan kurban [milik beliau] dengan tangan beliau sendiri, kemudian memberikan kepada Ali lalu Ali menyembelih hewan kurban sisanya.” (HR Muslim, no 1218).

Mengenai wakalah dengan upah, Syekh Wahbah Az Zuhaili berkata,”Sah hukumnya akad wakalah baik tanpa upah maupun dengan upah.” _(tashihhu al wakaalah bi ajrin wa bighairi ajrin)._ (Wahbah Zuhaili, Al Fiqh al Islami wa Adillatuhu, 5/691). 

Hanya saja ada 2 (dua) syarat agar tidak terjadi pelanggaran syariah pada akad wakalah tsb; 

Pertama, penyelenggara kurban online haruslah pihak yang amanah (dapat dipercaya), supaya tidak terjadi penipuan atau penggelapan. Misalnya uang yang sudah ditransfer ternyata malah dilarikan secara tidak bertanggung jawab. 

Kedua, penyelenggara kurban online harus memahami hukum-hukum syara’ seputar kurban, supaya tidak terjadi penyimpangan syariah. Misalnya, membeli hewan yang tidak memenuhi syarat, membagikan sembelihan kurban secara tidak syar’i (haram), misalnya menjual kulit kurban, atau menukar kulit kurban dengan daging, dan sebagainya.  

Adapun hukum kedua, yakni menyembelih hewan kurban di tempat lain yang bukan tempat tinggal pekurban sendiri, hukumnya boleh dan tidak ada larangan (maani’) secara syariah.

Inilah pendapat yang kami anggap _raajih_ (lebih kuat). Imam Al Mawardi dalam kitabnya Al Hawi Al Kabir (15/75) menyatakan,”Tidak dilarang mengeluarkan daging kurban dari tempat tinggalnya pekurban.” _(laa yumna’ min ikhraaj luhuum al dhahaayaa min balad al mudhahhi)._ (Husamuddin ‘Ifanah, Al Mufashshal fii Ahkaam Al Udhhiyyah, hlm. 157-158; Wahbah Zuhaili, Al Fiqh al Islami wa Adillatuhu, 4/282).

Hanya saja, penyembelihan di tempat lain tersebut adalah *khilaaful aula,* yaitu tindakan menyalahi keutamaan. Karena yang lebih afdhol (utama) adalah menyembelih kurban di tempat tinggal pekurban sendiri. Kecuali ada hajat (kebutuhan) yang syar’i, misalnya penduduk di tempat lain itu adalah kaum yang lebih miskin, atau lebih membutuhkan daging kurban dibanding di tempat pekurban sendiri, misalnya di tempat itu terjadi bencana alam, kekeringan, atau perang, atau wabah penyakit.

Penyembelihan di tempat lain disebut *khilaaful aula,* karena pekurban akan kehilangan berbagai keutamaan kurban, di antaranya : 
(1) kesunnahan untuk menyembelih sendiri hewan kurbannya (HR Bukhari, no 5558; Muslim no 1966); 
(2) kesunnahan untuk memakan hewan kurbannya sendiri (HR Muslim, no 1973); dan 
(3) kesunnahan  untuk mempersaksikan penyembelihan hewan kurbannya. (HR Al Hakim, no 7524). Wallahu a’lam. 

Yogyakarta, 23 Juli 2019

M. Shiddiq Al Jawi