BAHAYA LIBERALISASI DIBALIK RUU P-KS


Oleh: Fitriani,S.Hi
(Forum Silaturahmi Muslimah Deli Serdang)
Sejak diajukan kembali perihal penggodokan RUU P-KS (RUU Penghapusan Kekerasan Seksual) tanggal 26 Januari 2019 lalu pro dan kontra terus terjadi dan terus menjadi sorotan dan beberapa kalangan mendesak agar segera disahkan. Pasalnya permasalahan kekerasan seksual terhadap perempuan terus mengalami peningkatan. Dorongan pengesahan ini, karena menurut catatan komnas Perempuan bahwa tindak kekerasan pada perempuan terus meningkat di beberapa dekade terakhir, seperti contohnya kasus yang menimpa Baiq Nuril,  juga berdasar laporan dari KPAI bahwa tindakan pelecehan seksual kepada anak juga meningkat. Data Komnas Perempuan menyebut jumlah kekerasan seksual terhadap perempuan yang dilaporkan dan ditangani selama tahun 2017 berjumlah 335.062 kasus. Jumlah kekerasan naik drastis dari tahun sebelumnya yang berjumlah 259.150 kasus.(tempo.com/6/12/2018).
Menurut mereka cara ampuh untuk menghapuskan kekerasan seksual terhadap perempuan adalah dengan segera menjadikannya sebagai Undang-Undang, karena selama ini  adanya tindak kekerasan seksual tersebut tidak bisa menjerat pelaku kekerasan seksual karena tidak ada payung hukum yang memadai. Hal ini dikarenakan payung hukum yang ada hanyalah berupa KUHP yang pastinya kekuatan hukumnya dibawah UU. Maka mereka menganggap bahwa pengesahan RUU P-KS menjadi UU adalah  kebutuhan  yang mendesak untuk dilakukan. Benarkah demikian?
Jika dilihat RUU P-KS ini masih menimbulkan polemik.Indah dijudul namun bisa berbahaya jka sampai RUU ini disahkan. Karena setelah dikaji lebih dalam ternyata RUU ini hanya mempermasalahkan kasus yang di dalam tindak seksualnya ada unsur pemaksaan. Namun ketika tidak ada pemaksaan, maka hal tersebut dianggap bukan sebuah kejahatan atau pelanggaran terhadap peraturan.Sebagaimana yang disampaikan Dr. Sabriati Azis Ketua Bidang Jaringan AILA (Aliansi Cinta Keluarga), bahwa dari definisi atau konsep kekerasan seksual dalam RUU Penghapusan KS (Kekerasan Seksual) itu adalah adanya paksaan dan tidak adanya upaya persetujuan dari seseorang. Bukan pada baik atau buruknya perilaku seksual tersebut ditinjau dari kesehatan, nilai-nilai agama, sosial, dan budaya Indonesia. Maka, jika seseorang melakukan zina suka sama suka, aborsi secara suka rela atau suami mensodomi istrinya dan istrinya senang-senang aja, itu bukan kekerasan seksual.
Selain itu, perzinaan dan perilaku LGBT serta penyimpangan seksual lainnya  dalam RUU itu tidak dianggap sebagai bentuk kekerasan seksual jika tidak ada unsur paksaan walaupun perilaku seksual tersebut bertentangan dengan moralitas dan agama. RUU ini, juga berpotensi melegalkan prostitusi dan aborsi. Jelas sekali nuansa liberalisasi dan sekulerisasi agama dalam RUU PKS ini. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Ketua Perkumpulan  Penggiat Keluarga (GiGa) Indonesia, Prof.Euis Sunarti bahwa RUU PKS ini memiliki satu masalah serius  yaitu memisahkan agama dari keseharian masyarakat.(Kiblat.net, 27/1/2019).
Jika ditafsirkan secara kebalikan, maka secara hukum perbuatan prostitusi dan aborsi dilegalkan apabila dilakukan atas kesadaran sendiri. Lebih dari itu, di dalam tataran keluarga, seorang ibu yang mengatur cara berpakaian anak perempuan juga harus berhati-hati.  Jika anak perempuan tadi enggan memakai jilbab dan khimar sebagaimana ibunya memerintahkan maka  dalam RUU ini juga dianggap sebagai bentuk kekerasan seksual. Dan sang ibu bisa diancam pidana. Innalillahi, bagaimana bisa seorang ibu yang menginginkan anaknya menjadi sholihah dengan memerintahkannya menutup aurat justru dianggap melakukan kekerasan? Maka, alih-alih memutuskan perzinaan, aborsi dan kejahatan seksual lainnya. RUU PKS ini justru berpotensi melegalkan zina,aborsi dan penyimpangan seksual lainnya.
. Jika dilihat meningkatnya kasus kekerasan seksual terhadap perempuan semata-mata bukan tanpa sebab, dan ternyata penyebab utamanya adalah penerapan sistem  sekulerisme dan liberalisme  yang menjadi akar permasalahan yang sebenarnya. Maka Sejatinya RUU PKS bukanlah solusi terhadap maraknya kasus kekerasan seksual pada perempuan ,karena nyatanya RUU ini justru menyebabkan legalnya dosa yang lebih besar yakni melanggengkan seks bebas, LGBT, prostitusi bahkan aborsi. Masalah kekerasan seksual juga tidak bisa dituntaskan dengan mengganti RUU P-KS dengan RUU Penghapusan Kejahatan Seksual atau RUU Penghapusan Kejahatan Kesusilaan. Sebab jika tata kehidupan di masyarakat tetap sekuler-liberal maka kejahatan seksual pun akan terus menjamur di masyarakat. Satu-satunya solusi yang harus kita ambil adalah bagaimana syariat Allah SWT bisa diterapkan, baik di dalam tataran individu, keluarga, masyarakat dan pastinya negara.
Maka penerapan Islam secara Kaffah lah yang akan menjadi solusi tuntas terhadap meningkatnya kasus kekerasan seksual ini. Dalam Islam kejahatan seksual  didefinisikan sebagai segala bentuk pelampiasan hasrat seksual yang dilakukan secara tidak ma’ruf dan tidak legal. Segala kejahatan itu zarimah (kriminal), termasuk di dalamnya berupa kejahatan yang bentuknya seksual, dan segala zarimah menurut Islam, itu pasti mengandung dosa. Tidak memandang lagi dilakukan atas dasar suka sama suka maupun paksaan (baca: kekerasan). Karena memang standar islam menghukumi sesuatu bukanlah ukuran suka atau tidak suka, bukan menggunakan standar HAM yang sudah jelas-jelas beraroma liberalisme Barat. Namun berdasarka apa yang ditetapkan Allah SWT. Maka selayaknya sistem Islam inilah yang harusnya kita perjuangkan untuk diterapkan. Sistem Islam Kaffah dalam naungan Khilafah Islamiyah yang akan menjaga kaum perempuan dari maraknya kejahatan seksual. Wallahu`alam bisshawab