Potensi Syariah "Recovery" Perekonomian Indonesia


Oleh : Zayna Ghauts Purwodihardjo SE
(Alumnus Manajemen Finansial - Ekonomi Bisnis USU dan Aktivis Muslimah Sumut)
Ditengah megahnya euforia pesta olahraga Asia yang diselenggarakan di Indonesia, ternyata bumi pertiwi ini sedang menyimpan duka bencana, bukan hanya karena tergoncangnya Lombok akibat gempa, namun juga tergoncangnya mata uang Rupiah. Melemahnya nilai tukar Rupiah terhadap Dollar AS merupakan bahaya besar perekonomian nasional. Terhitung sejak Maret 2018 mata uang Rupiah berkisar Rp13.000,-/Dollar AS dan terus menurun hingga menembus level terendah sejak tahun 1998 yakni Rp14.844,-/Dollar AS per tanggal 31/8/2018.
Hal itu terjadi karena berbagai faktor baik eksternal maupun internal. Adanya
ketegangan hubungan dagang AS dengan China serta penguatan Dollar AS atas ekspektasi percepatan normalisasi di AS disinyalir sebagai faktor eksternal
(kompas.com 27/8/2018). Adapun faktor internal dinilai dari carut-marutnya
pengelolaan ekonomi dalam negeri.
Secara umum, penyebab utama pelemahan Rupiah terhadap Dollar AS antara lain: Defisit transaksi berjalan, ketergantungan Indonesia pada impor, ekspor cenderung mengandalkan sumber daya alam, impor lebih besar dari ekspor, yang semuanya adalahpersoalan taktis yang harusnya dapat dikelola secara struktural. Tingginya investasi asing dan besarnya utang luar negeri. Dollar yang mengalir keluar jauh lebih besar dibanding yang masuk ke Indonesia (penurunan pertumbuhan ekonomi) dan inflasi tinggi akibat spekulasi.
Bukan hanya itu, Rupiah adalah mata uang kertas yang tidak dijamin oleh komoditas yang bernilai. Besarnya kendali AS atas pasokan dolar membuat inflasi menjadi tak terkendali dan telah menyebabkan mata uang negara-negara lain khususnya di negara-negara berkembang yang bergantung pada dollar menjadi tidak stabil.
Seperti dikutip dari laman CNBC,Senin (3/9/2018), ekonom Mizuho Bank, Vishnu
Varathan mengatakan bahwa kepemilikan asing yang tinggi pada obligasi ditambah dengan utang Dollar Amerika Serikat perusahaan Indonesia yang meningkat juga membuat (rupiah) cenderung melemah. Sekitar 41 persen utang pemerintah dalam mata uang asing. Jika rupiah terdepresiasi lebih lanjut akan membuat utang akan lebih mahal untuk kembali dibayar. Varathan mengingatkan jika kenaikan kredit meningkat lebih lanjut dan harga minyak tetap tinggi jelang sanksi Iran pada November akan menekan nilai tukar Rupiah terhadap Dollar Amerika Serikat. Ketika harga minyak naik itu berkontribusi pada peningkatan tagihan impor negara (Liputan6.com).
Wacana paket kebijakan guna mengatasi pelemahan rupiah ala Pemerintah pun bergulir,khususnya untuk meningkatkan ekspor dan menekan impor. Sejumlah pejabat terkait dikumpulkan untuk merumuskan masalah. Langkah yang biasa diambil masih bernuansa kapitalistik, antara lain Pengurangan pajak penghasilan (Pph) atau tax allowance bagi perusahaan yang menahan dividennya dan melakukan reinvestasi ; Bea masuk anti dumping untuk impor ; Pembebasan visa bagi wisatawan asing ; Kewajiban pencampuran Bahan Bakar Nabati (BBN) sebanyak 15 persen untuk Solar ; Kewajiban menggunakan letter of credit (L/C) untuk produk-produk sumber daya alam ; dan Pembentukan perusahaan reasuransi domestik.
Seluruhnya merupakan solusi pragmatis yang tidak ada gunanya, terlebih menurut pengamat ekonomi Ichsanuddin Noorsy, liberalisasi pasar yang ditanam SBY (presiden sebelumnya) sudah kokoh, maka sulit keluar dari masalah ini jika tidak mengganti UU No.24/1999 tentang lalu lintas devisia dan nilaitukar rupiah dan UU No.25/2007 tentang pembebasan repatriasi (pikiran-rakyat.com). Sekretaris Jenderal Seknas, Fitra Yenny Sucipto juga menilai kebijakan ini hanya berpihak pada kepentingan korporasi kakap,dalam maupun luar negeri.
Kita memang perlu berjuang untuk bisa sejajar dengan Negara-Negara maju, setiap rencana perlu direalisasikan, setiap misi perlu diraih, namun pertimbangan utama adalah standarisasi tingkat kemajuan dan taraf kebangkitan masyarakat. Jika kerjasama global yang terjalin justru menggerus idealisme umat, maka tak sepatutnya bangsa menjadi inferior. Proyek kearifan lokal yang dianggap memberikan Heterogen-sense bagi Indonesia dalam melawan hegemoni eksternal pun terbukti tak manjur untukmengembalikan kepercayaan warga terhadap produk negerinya sendiri. Sedangkan rakyat masih terus berada dalam tingkat kemiskinan yang amat tinggi.
Rendahnya tingkat kemakmuran rakyat adalah dampak dari kelalaian terhadap
pengelolaan mikro dan pengendalian makro ekonomi, yang notabene instrumen-
instrumen di dalamnya merupakan produk sistem ekonomi klasik. Poverty Analyst BankDunia, Maria Monica Wihardja pun mengungkapkan, ada beberapa kebijakan yang dinilai tak manjur dalam mengendalikan harga dan menjaga stok kebutuhan di dalam negeri. Indonesia malah mendistribusikannya di pedagang besar, bukan masyarakat langsung. Negara pun tak segan melakukan kebijakan impor saat panen melimpah.
Dalam hal ini, ketika persoalan dikembalikan pada ekonomi syariah, akan berbeda dengan sudut pandang ala kapitalisme. Menghimbau masyarakat untuk tenang dan tak perlu khawatir dengan merosotnya nilai rupiah bukanlah solusi, meski dengan dalih apa yang menimpa Indonesia tak seburuk di Negara-Negara lainnya. Indonesia butuh keluar segera dari berbagai bencana ini.
Dalam perekonomian syariah, mata uang yang dikenal adalah emas dan perak yang terbukti lebih unggul dibanding jenis mata uang lainnya, antara lain: Pertama, emas dan perak termasuk uang komoditi atau uang barang (commodity money). Pada saat mata mata uang kuat seperti dolar AS kehilangan kepercayaan pada saat krisis, orang tetap ramai-ramai memborong emas-perak. Kedua, emas dan perak mampu menjamin kestabilan moneter, sehingga akan menghapus masalah inflasi yang selama ini ditimbulkan mata uang kertas karena banyak dan cepatnya uang beredar sehingga menyebabkan naiknya harga barang-barang. Ketiga, sistem emas dan perak mampu menciptakan keseimbangan neraca pembayaran antar negara secara otomatis untuk mengoreksi ketekoran dalam pembayaran tanpa intervensi bank sentral. Keempat, sistem emas dan perak mempunyai keunggulan sangat prima, yaitu berapapun kuantitasnya akan mencukupi kebutuhan pasar dalam pertukaran mata uang, berbeda dengan sistem uang kertas, jika negara mencetak semakin banyak uang kertas, daya beli uang itu akan turun dan terjadilah inflasi. Kelima, sistem emas dan perak mempunyai kurs yang stabil antar negara. Standar emas-perak akan mengurangi masalah perdagangan internasional akibat ketidakstabilan kurs mata uang. Keenam, sistem emas dan perak akan memelihara kekayaan emas dan perak yang dimiliki oleh
setiap negara.
Lantas, bagaimana Indonesia yang kini mengadopsi sistem keuangan kapitalis dapat beralih pada sistem syariah? Itu semua bergantung pada political will Indonesia untuk dapat melakukan recovery secepatnya kondisi perekonomian yang berada di atas ambang bahaya. Syariah ini dipandang sebagai sebuah solusi sistemik bukan sentimen agama. Dalam konteks Islam, setidaknya ada enam kebijakan yang bisa dilakukan (Zallum, 2004 : 232-234) diantaranya: Menghentikan pencetakan mata uang kertas ; Memberlakukan kembali mata uang emas dan perak dalam seluruh interaksi ekonomi ; Menghilangkan berbagai kendala pajak atau cukai yang berkaitan dengan emas, serta
menghilangkan syarat yang membatasi impor dan ekspor emas ; Menghilangkan
beragam ketentuan yang menghalangi pemilikan emas, kontrol atas pergerakan emas, jual belinya, dan berinteraksi dengan menggunakan emas ; Menghilangkan beragam regulasi yang menghalangi pemilikan mata uang utama dunia, menciptakan persaingan bebas di antara mata uang, sehingga diperoleh harga yang stabil dengan mata uang lainnya dan terhadap mata uang emas tanpa campur tangan dunia internasional untuk menaik turunkannya ; Mengambil alih dan mengelola perusahaan asing yang telah merebut dan memprivatisasi kekayaan alam dan komoditi kepemilikan umum di seluruhnegeri kaum muslim, terutama emas dan perak, sehingga kaum muslim memiliki cadangan dan potensi emas dan perak yang berlimpah, untuk memenuhi ketersediaan emas dan perak.
Dalam sistem perekonomian syariah, tidak ada kemungkinan untuk beberapa individu mengambil kesempatan mengumpulkan kekayaan secara berlebihan, sementara mayoritas rakyat dibiarkan susah payah dalam memenuhi keperluan pokok hidupnya,apalagi bila pemerasan dilakukan oleh negara misal tuntutan pajak berkedok agama.Permasalahan pokok dalam teori mikro ialah menghasilkan output/hasil produksi yang berkaitan dengan biaya-biaya dari faktor-faktor produksi, seperti SDA, modal, dan SDM
yang penyelenggaraannya sarat ribawi.Inilah sumber masalah yang seharusnya menjadifokus pembahasan para ahli untuk menguraikan problem ekonomi, seperti inflasi, pengangguran dan kemiskinan.
Tidak semestinya kita hanya berputar pada masalah pembahasan bagaimana
meningkatkan pendapatan nasional dan menaikturunkan suku bunga, sebagaimana solusi yang selama ini diberikan ekonomi makro. Akar masalahnya tentu ada pada pola pikir manusia yang merupakan makhluk dengan segala keterbatasannya, yang sudah tentu akan menghasilkan pemikiran lemah nan cacat. Kemajuan yang diindera
masyarakat dunia kini pada realitanya tak mampu memberi jaminan jangka panjang, yang ada justru rusaknya tatanan ekonomi rakyat, karena lemahnya 'supporting system'.
Recovery perekonomian Indonesia dengan syariah bukanlah hal yang mustahil
mengingat besarnya pangsa pasar ekonomi riil syariah, kita hanya perlu
mengembangkan, membangun sinergi, sehingga mampu meningkatkan peran pada sektor-sektor ekonomi riil syariah secara global. Saatnya kembali pada sistem ekonomi syariah yang menjanjikan dan mengundang keberkahan bagi seluruh umat.
Wallahua'lambishawab.