Orang Luar Tanjungbalai Agar Hormati Vonis Meliana


TANJUNGBALAI : Tokoh umat Budha dan Ormas Islam se Kota Tanjungbalai, Jumat (24/8), meminta semua pihak menghormati vonis hakim terhadap terdakwa penista agama Islam Meliana yang memicu kerusuhan di Kota Tanjungbalai beberapa waktu lalu.

Tokoh Umat Budha, Leo Lopulisa, 43, asli putra Kota Tanjungbalai ini mengatakan, siapapun warga Negara Indonesia wajib menghargai keputusan pengadilan. Leo menilai, keputusan itulah yang terbaik sesuai fakta-fakta di persidangan.

Bagi pihak yang merasa kurang adil, kata Leo, masih ada upaya hukum lain seperti banding, kasasi sampai peninjauan kembali. Menurut dia, peristiwa tempo hari bukan persoalan antara Islam-Budha, tetapi murni tindak pidana yang dilakukan oknum baik itu dari massa maupun Meliana.

Dijelaskannya, toleransi antar umat beragama di Kota Tanjungbalai, berjalan baik, tidak seperti yang dituduhkan oleh berbagai media dengan menyudutkan salah satu agama, baik itu sebelum peristiwa kerusuhan sampai putusan pengadilan terhadap Meliana. Bahkan dia lahir sejak 43 tahun lalu, tidak ada terjadi gesekan antar umat beragama.

Terkait sosok Meliana, Leo tidak begitu mengenal jauh, tetapi dari informasi yang diperoleh paska kerusuhan, wanita ini bukanlah asli kelahiran Kota Tanjungbalai, melainkan pendatang luar daerah. Dari sisi aktivitas, dia juga kurang mengetahui keseharian keluarga Meliana, sedangkan rumah yang ditempatinya di dekat masjid adalah kontrakan.

Terkait suara adzan, Leo mengaku selama ini tidak pernah terganggu, padahal rumahnya sendiri dekat dengan Masjid Menara Lima Kota Tanjungbalai. Dia menerangkan sudah terbiasa, bahkan adzan menjadi pertanda untuk mengetahui waktu. “Tidak ada masalah itu adzan, lagian kita harus toleransi dengan umat lain,” ujarnya.

Dalam kesempatan itu, Leo meminta kepada Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) proaktif untuk menjaga kerukunan antar umat beragama. Terkait adanya komentar miring namun tidak tahu duduk masalah, dia berharap agar semua pihak termasuk pemangku kepentingan di Kota Tanjungbalai, duduk bersama meluruskan tudingan tersebut.

Hasilnya nanti, kata dia, disuarakan kepada masyarakat agar tidak lagi ada upaya seolah ingin memecah belah dan mengganggu kerukunan antar umat beragama di Kota Tanjungbalai.

Sementara itu, Ketua Forum Umat Islam Kota Tanjungbalai Indra Syah, melihat adanya pihak luar yang ingin Kota Tanjungbalai tidak kondusif, dengan memberi komentar dan opini menyesatkan baik itu media mainstream maupun media sosial.

Menurut Indra Syah, ada persoalan besar yang ditutupi oleh media yang pada intinya menjadikan Meliana terjerat pasal penistaan agama. Berita di media, kata dia, menyebutkan Meliana hanya mengeluhkan volume suara adzan dengan menyampaikan kepada pemilik warung, selanjutnya diteruskan ke nazir masjid.

Dijelaskan Indra, kejadian itu sebenarnya baru permulaan, sedangkan puncaknya, saat kenaziran masjid hendak mengklarifikasi ke rumah Meliana, di situlah penistaan agama Islam itu terjadi.

Faktanya, Meliana kepada pengurus masjid Haris Tua Marpaung mengatakan, adzan bikin bising, pekak telinga, dengan nada lantang dan emosional. Hal inilah yang memicu gerakan massa secara spontan merusak vihara, kelenteng, dan pekong di Kota Tanjungbalai.

“Dan semua fakta itu sudah terbukti di pengadilan, sehingga hakim berpendapat harus dihukum selama 18 bulan,” tutur Indra.

Menyangkut tudingan salah satu media terhadap Ormas Islam termasuk FUI yang menuduhnya Islam garis keras dan kerap mengintervensi jaksa dan hakim, Indra mengatakan, hal itu tidak berdasar. Kehadiran mereka di persidangan, ingin mengawal indepensi hakim agar bebas dalam memutuskan.

Media tersebut, sebut dia, telah membuat berita bohong, tidak berimbang, mencampuradukkan antara opini dan fakta, dan fatalnya, persidangan kasus Meliana disebut digelar di Tanjungbalai, padahal sebenarnya di Medan. Media inilah menjadi pangkal pemberitaan, sehingga media nasional lainnya bahkan internasional menyadur mentah-mentah, tanpa adanya perimbangan narasumber.

“Mari kita buka, yang melaporkan Meliana adalah petugas Polres Tanjungbalai bernama Kuntoro, bukan masyarakat, jadi bagaimana mungkin kita melakukan intervensi terhadap penegakan hukum,” tutur Indra Syah sembari mengatakan, pihaknya akan menempuh jalur hukum terhadap media tersebut karena telah menyudutkan umat Islam Tanjungbalai.

Ketua Dewan Mesjid Indonesia Tanjungbalai Datmi Irwan, Ketua Gerakan Pemuda Islam Indonesia Indra, Ketua Alwashliyah Gustami, Ketua Himpunan Mahasiswa Alwashliyah Fery Fadly, Ketua Majelis Dakwah Islam Ali Rukun, Aliansi Mahasiswa dan Masyarakat Independen Bersatu Nazmi Hidayat, Ketua Forum Pemuda Mahasiswa Sumatera Utara Indra Putra Bungsu, mengimbau masyarakat menghormati apapun keputusan hakim.

Datmi Irwan menuturkan, vonis hakim merupakan produk hukum positif di Indonesia, sehingga sangat tidak baik jika diseret ke ranah politik dan HAM. Dia meminta pemerintah dan juga yudikatif harus objektif menilai permasalahan ini, jangan mudah terpancing oleh pembangunan isu bersifat provokatif yang dapat merusak kebhinekaan.

Sementara Ali Rukun menilai, petisi yang muncul meminta pembebasan Meliana tidak mewakili aspirasi warga Tanjungbalai. Seharusnya, kata Rukun, pihak pembuat petisi bertanya dulu pada warga Tanjungbalai, fakta sebenarnya kasus Meliana.

“Saya tidak setuju dengan petisi pembebasan Meliana karena melukai hati umat Islam khususnya Tanjungbalai. Jika Meliana tidak puas bisa mengajukan upaya hukum lain, kami tetap berharap hakim memberikan hukum seberat-beratnya karena telah memicu kerusuhan di kota kami,” ujar Ali Rukun.

Sedangkan Indra Putra Bungsu menegaskan, vonis 18 bulan sebenarnya terlalu ringan, namun demikian umat Islam Tanjungbalai menghormatinya. Kepada masyarakat yang tidak tahu permasalahan sebenarnya, dia meminta agar jangan asal berbicara karena dapat membuka “luka lama” yang telah menyakiti umat Islam.

Menurutnya, Tanjungbalai saat ini kondusif dan rukun. Namun, Indra melihat ada pihak yang sengaja membuat opini seakan-akan Meliana tidak bersalah dan umat Islam Tanjungbalai yang intoleransi.

“Saya lihat di media mainstream dan medsos, pokok dari permasalahan tidak dipublikasikan, yang dibuka hanya Meliana minta tolong untuk mengecilkan suara speaker, padahal bukan itu yang utama,” kata Indra Putra.

Indra juga khawatir akan terjadi hal yang tidak diinginkan, jika isu Meliana terus digoreng dan menjadi konsumsi politik. Hal itu pula akan menimbulkan perpecahan di Kota Tanjungbalai, dan bisa meluas sampai keluar daerah.

Ketua PD Awlashliyah Gustami menyatakan putusan hakim sudah tepat. Landasannya jelas yakni Fatwa MUI menyatakan Meliana menista agama Islam. “Pro dan kontra itu wajar, namun mari kita berkomentar sejuk, tidak memprovokasi, sehingga tercipta suasana yang kondusif,” ujar Gustami yang akrab disapa buya ini.

Berikut putusan dialog antara DKM Masjid Al Maksum, Haris Tua Marpaung dengan Meliana sesaat sebelum terjadi kerusuhan. Dialog ini pula tertuang dalam fatwa MUI Prov Sumut No. 001/KF/MUI-SU/I/2017 tgl 24-01-2017 yang menegaskan ucapan terangka Meliana atas suara yang berasal dari Masjid Al-Maksum merupakan perendahan & penistaan terhadap agama Islam.

Haris Tua: Ada Bapak atau Mamak

Anak Meliana: Ada

Haris Tua: Katanya di rumah ini ada yang keberatan suara azan dari masjid

Anak Meliana: Iya loh itu, masjid bikin bising, tidak tenang, bikin ribut saja

Haris Tua: Lho itu kan rumah ibadah umat muslim mengumandangkan adzan ada lima kali sehari

(Tak berapa lama kemudian muncul terdakwa Meliana dengan ucapan keras menjawab)

Meliana: Lu ya, Lu ya (maksudnya kamu sambil telunjuk tangannya menunjuk wajah Haris Tua), kita sudah sama-sama dewasa ini negara hukum, itu masjid bikin telinga gua pekak, sakit kuping saya hari-hari ribut, pagi ribut, siang ribut, malam ribut bikin gua tidak tenang.

Ucapan Meliana kemudian menyulut emosi masyarakat Tanjungbalai, yang secara spontan membakar dan merusak sejumlah vihara, kelenteng, pekong, dan rumah[] Waspada