BAHAYA SOMBONG AKAN ILMU DAN MINIMNYA ADAB


Oleh : Nazril Firaz Al-Farizi  

Mengapa kami mengangkat tentang tema ini, karena kami pun menemukan prilaku sombong dan minimnya adab pada sebagian (semoga sebagian kecil saja) para pengemban dakwah karena ilmu yang dimilikinya.

Sesungguhnya syetan tidak akan pernah menyerah dalam hal menggoda dan menghasut manusia sehingga ada saja keburukan yang akhirnya manusia itu lakukan saat dalam kondisi apapun, bahkan karena sering bersikap buruk seperti itu, akhirnya menjadi suatu kebiasaan.

Bahkan saking licik dan pandainya syetan, meski manusia itu pun tidak melakukan kemaksiatan, menjaga agar tetap dalam ketaatan, tetapi syetan akan terus menggoda/menghasut kepada yang lebih berbahaya dari itu, sebagaimana yang tercantum dalam hadits berikut:

“Jika kamu tidak berbuat dosa, sungguh aku mengkhawatirkan kamu pada perkara yang lebih besar dari itu, yaitu ‘ujub, ‘ujub (kagum terhadap diri sendiri)”
[Hadist Hasan Lighairihi, sebagaimana di dalam Silsilah Al-Hadits Ash-Shahihah, no. 658, karya syaikh Al-Albani]

Rasa ujub (bangga diri) ini dapat muncul ketika seseorang merasa dirinya berbeda dalam hal ilmu, harta dan kedudukan bahkan keshalehannya sendiri daripada yang lainnya sekaligus menganggap bahwa hanya dirinya lah yang bisa, yang tahu, yang paling, sementara yang lain dianggap tidak tahu, tidak bisa dan sebagainya. Bahkan orang yang ujub ini haus pula ingin mendapatkan pujian dari orang lain karena ingin diakui.

Kemudian perihal sombong. Prilaku ini pun merupakan sifat yang satu paket dengan ujub yang muncul bersamaan disaat seseorang berhadapan dengan seseorang lainnya dalam hal tertentu.
Mari kita petakan dahulu. Kami akan memetakan tentang macam-macam sombong dan macam-macam hidayah. Mengapa ada pembahasan hidayah? Kita saksikan dulu saja pemetaan ini.
Perlu diketahui, sombong itu terbagi menjadi 2 hal:

1. Sombong terhadap Al-Khaliq (Al-Haq), yaitu dengan menolak Seruan As-Syari (Seruan Pembuat Hukum);

2. Sombong terhadap Makhluk (manusia), yaitu meremehkan dan merendahkan manusia lainnya.
Kedua poin ini disadari dari dalil berikut:
“Kesombongan adalah menolak kebenaran dan merendahkan manusia”. [HR. Muslim no. 2749, dari ‘Abdullah bin Mas’ûd]
Lalu perlu diketahui pula hidayah itu terdapat tiga tingkatan, diantaranya:
1. Hidayah Al-Khalq (hidayah penciptaan). Hidayah penciptaan ini telah Allah beri kepada setiap manusia sejak diciptakannya manusia itu sendiri, yaitu berupa adanya akal untuk berfikir membedakan mana yang benar dan mana yang salah, adanya Gharizah At-Tadayyun (naluri beragama), Gharizah An-Nau' (naluri berhasrat/kasih sayang), Gharizah Baqa (naluri mempertahankan diri) dan potensi jasmani. Dalil tentang ini: QS.Al-Balad: 10; QS.Asy-Syams: 7-8.
2. Hidayah Al-Irsyad Wa Al-Bayan (hidayah bimbingan dan penjelasan). Hidayah ini merupakan penjelasan, petunjuk, bimbingan yang diberikan Allah berupa risalah yang dibawa oleh Rasulullah Muhammad shalallahu slaihi wassalam yang membawa Al-Quran dan As-Sunah sebagai penjelas dan petunjuk hidup tentang keimanan dan kekufuran, kebaikan dan keburukan, ketaatan dan kemaksiatan, serta sebab dan akibat dari berbagai perbuatan.
Dalil tentang ini: QS.Asy-Syura: 52; QS.Ar-Ra'd: 7.

3. Hidayah At-Taufiq (hidayah taufik). Hidayah taufik ini murni berasal dari Allah subhanahu wa ta'ala. Tetapi hidayah taufik ini tidak ada pada diri setiap manusia, artinya hidayah at-taufik ini tidak Allah tanam dari awal, dan tidak datang sendiri. Melainkan hidayah taufik ini merupakan penyiapan sebab-sebab hidayah akhirnya turun kepada manusia. Jika seseorang telah menyifati dirinya dengan masuk ke dalam sebab-sebab turunnya hidayah taufik ini, maka Allah akan memberikan hidayah taufik ini kepada seseorang itu. Dalil tentang ini: QS.Muhammad: 17; QS.Al-Ankabut: 69
Kita contohkan keadaan seorang Pengemban Dakwah dari 3 tingkat hidayah ini dan hubungannya dengan Kesombongan dan Adab. Contoh:
Hidayah tingkat 1:
Si Fulan sudah mendapatkan hidayah tingkat 1 dari sejak si Fulan Allah ciptakan. Si Fulan punya akal, gharizah dan potensi jasmani.
Hidayah tingkat 2:
Kemudian dengan bekal hidayah tingkat 1 tadi si Fulan ini mendapatkan penjelasan tentang mengetahui Allah, mengetahui Rasul, mengetahui Islam dan hukum-hukum Islam di dalam Al-Quran dan As-Sunah lewat Rasul, estafet ke para Sahabat, estafet ke para Tabi'in, estafet ke para Tabi'ut Tabi'in, estafet ke para Mutaakhirin, estafet ke para ustadz, kyai, ulama dan kaum muslim saat ini. Sehingga akhirnya si Fulan tahu dan mendengarkan informasi tentang hukum-hukum yang ada di dalam Al-Quran dan As-Sunnah serta 2 penunjukkannya (Ijma Sahabat dan Qiyas Syar'iyyah).
Hidayah tingkat 3:

Si Fulan ini sudah mempunyai hidayah tingkat 1 salah satunya yaitu Akal untuk mencerna hidayah tingkat 2, yaitu penjelasan-penjelasan, bimbingan/pedoman yang ada pada hidayah tingkat 2 yaitu Al-Quran dan As-Sunnah.
Contoh, pembahasan tentang Wajibnya Memperjuangkan dan Menegakkan Syariah dan Khilafah yang dijelaskan dalam hidayah tingkat 2. Si Fulan jelas dapat mencerna hidayah tingkat 2 ini karena sudah punya kekuatan hidayah tingkat 1. Akhirnya setelah si Fulan ini menerima dan mau diajak dan diseru misal untuk ikut memperjuangkan Syariah dan Khilafah, maka si Fulan ini telah masuk ke zona yang akan menyebabkan turunnya hidayah tingkat 3 sebagaimana Allah berfirman:
"Orang-orang yang mencari petunjuk, Allah menambah mereka petunjuk dan memberi mereka balasan ketakwaannya." [QS.Muhammad: 17]
Dari dalil diatas sebetulnya membahas 3 tingkat hidayah sekaligus. Kita saksikan kalimat "Orang-orang yang mencari petunjuk". Kata itu menjelaskan bahwa hidayah itu haruslah dicari, dihampiri, bukan menunggu dan diam, karena petunjuknya sendiri itu sudah ada, sudah Allah sampaikan dan jelaskan. Apa itu? Yaitu hidayah tingkat 2 tadi.

Kemudian dengan apa untuk mencari dan menghampiri hidayah tingkat 2 itu? Yah jelas dengan hidayah yang sudah Allah berikan kepada kita sebagai modal dasar, yaitu pergunakanlah hidayah tingkat 1 untuk mengejar hidayah tingkat 2.
Kemudian kalimat "Allah menambah mereka petunjuk" ini merupakan hidayah tingkat 3 yang telah Allah beri kepada manusia, yaitu Hidayah At-Taufik. Jika apa? Jika mereka tidak berprilaku Sombong. Sombong kepada siapa? Sombong kepada Al-Khaliq.
Artinya seseorang ini telah menerima seruan untuk mau Memperjuangkan Syariah dan Khilafah sebagai Seruan Asy-Syari (Sang Pembuat Hukum), karena dia tidak sombong kepada Allah dan mau diajak lewat Para Pengemban Dakwah.

Setelah menerima seruan untuk berjuang, maka Allah akan memberi kemudahan, keberkahan, kerahmatan dalam keterlibatan kita di jalan dakwah sebagaimana Allah sebutkan tadi "Allah menambah petunjuk mereka".

Tetapi, kesombongan akan tetap bisa muncul meski seseorang sudah mendapat 3 tingkatan hidayah. Dan ini kami lihat dan saksikan ada di tubuh para pengemban dakwah itu sendiri.
Apakah itu?

Dialah Sombong Terhadap Makhluk. Sebagaimana yang sudah kami sebutkan di bagian awal tulisan.
Keadaan seorang pengemban dakwah itu sudah berada pada hidayah tingkat 3, tetapi ada yang sudah sempurna, ada yang belum sempurna. Karena kesempurnaan mendapat hidayah tingkat 3 jika pengemban dakwah tidak sombong kepada Al-Khaliq, pun juga tidak sombong kepada Makhluk.
Tetapi sayangnya ada pula pengemban dakwah yang dia tidak sombong kepada Al-Khaliq karena sudah menerima seruan Asy-Syari tadi, tetapi dia tetap sombong kepada Makhluk.
Lalu apa yang membuat pengemban dakwah itu sombong kepada Makhluk, padahal dia tidak sombong kepada Al-Khaliq?

Yaitu karena Ilmu yang dia miliki yang merasa tinggi dalam tsaqafah Islam atau dalam ilmu sains dan teknologi yang dia persembahkan untuk Islam.
Tetapi dari Ilmu itu, dia merasa bangga (Ujub) dan sombong (Takabur) karena merasa diri paling bisa bahasa Arab, paling mengerti Ushul Fiqih, paling banyak mengkaji kitab, punya posisi penting, paling merasa pandai dalam ilmu sains dan teknologinya yang dipersembahkan untuk islam, sehingga merendahkan orang lain, meremehkan orang lain, bahkan merendahkan/meremehkan terhadap sesama pengemban dakwah itu sendiri, ingin disanjung, ingin dipuji, ingin dikagumi.
Padahal Allah berfirman:

“Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang menyombongkan diri.” [QS.An-Nahl : 23]
“Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.” [QS.Luqman : 18]

Kesombongan yang dimaksud adalah Sombong terhadap Al-Khaliq karena menolak kebenaran dan Sombong terhadap Makhluk karena merendahkan yang lain.
Bahkan Rasul pun berkata bahwa Ujub adalah perkara yang membinasakan seseorang tersebut.
“Tiga perkara yang membinasakan: sifat sukh (rakus dan bakhil) yang ditaati, hawa nafsu yang diikuti, dan ‘ujub seseorang terhadap dirinya”. [Silsilah Shahihah, no. 1802]
Kemudian seorang yang sombong pun tidak akan masuk surga sekalipun dia sudah mempunyai 3 tingkatan hidayah karena pengemban dakwah itu tetap berprilaku sombong terhadap sesama pengemban dakwah dan orang lain atas ilmu dan kedudukannya yang merasa tinggi dan penting.
“Tidak akan masuk surga seseorang yang di dalam hatinya terdapat kesombongan sebesar biji sawi.” Ada seseorang yang bertanya, “Bagaimana dengan seorang yang suka memakai baju dan sandal yang bagus?” Beliau menjawab, “Sesungguhnya Allah itu indah dan menyukai keindahan. Sombong adalah menolak kebenaran dan meremehkan orang lain.“ [HR. Muslim no. 91]
“Pada hari kiamat orang-orang yang sombong akan digiring dan dikumpulkan seperti semut kecil, di dalam bentuk manusia, kehinaan akan meliputi mereka dari berbagai sisi. Mereka akan digiring menuju sebuah penjara di dalam Jahannam yang namanya Bulas. Api neraka yang sangat panas akan membakar mereka. Mereka akan diminumi nanah penduduk neraka, yaitu thinatul khabal (lumpur kebinasaan)”. [HR. Bukhari di dalam al-Adabul Mufrad, no. 557; Tirmidzi, no. 2492; Ahmad, 2/179; dan Nu’aim bin Hammad di dalam Zawaid Az-Zuhd, no. 151]
Berikut perkataan (qaul) dari ulama yang begitu mengena sekali, menampar dan mencambuk seorang pengemban dakwah yang hari ini masih berprilaku Sombong kepada sesama pengemban dakwah dan orang lain.

Al Imam Adz Dzahabi rahimahullah berkata:
“Kesombongan yang paling buruk adalah orang yang menyombongkan diri di hadapan manusia dengan ilmunya, merasa dirinya besar dengan kemuliaan yang dia miliki. Bagi orang tersebut tidak bermanfaat ilmunya untuk dirinya. Barangsiapa yang menuntut ilmu demi akhirat maka ilmunya itu akan menimbulkan hati yang khusyuk serta jiwa yang tenang. Dia akan terus mengawasi dirinya dan tidak bosan untuk terus memperhatikannya, bahkan setiap saat dia selalu introspeksi dan meluruskannya. Apabila dia lalai dari hal itu, dia akan menyimpang dari jalan yang lurus dan akan binasa. Barangsiapa yang menuntut ilmu untuk membanggakan diri dan meraih kedudukan, memandang remeh kaum muslimin yang lainnya serta membodoh-bodohi dan merendahkan mereka, maka hal ini merupakan kesombongan yang paling besar. Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya terdapat kesombongan walaupun hanya sebesar dzarrah (biji sawi). Laa haula wa laa quwwata illaa billah.” [Al-Kabaa’ir ma’a Syarh li Ibni al ‘Utsaimin hal. 75-76, cet. Daarul Kutub ‘Ilmiyah]
Jadi yang justru lebih parah dan berbahaya itu adalah seseorang yang sudah mendapat hidayah 3 tingkatan, tetapi dia tetap berprilaku sombong kepada manusia karena ilmunya dan kedudukannya. Dan yang kami arah disini khususnya adalah pengemban dakwah, karena kami prihatin menyaksikan kondisi nyata ini.

Lalu pertanyaannya apa yang membuat para pengemban dakwah tetap ada yang sombong terhadap sesama, meski terhadap Allah sudah tidak sombong?
Jawabannya adalah Adab.
Adab lah yang kurang dipupuk oleh para pengemban dakwah, sehingga munculah kesombongan akan ilmu dan kedudukan yang dimiliki.

Padahal Allah mewajibkan setiap kita untuk beradab. Allah berfirman:
“Hamba-hamba Tuhan Yang Maha Pengasih adalah orang-orang yang berjalan di atas muka bumi dengan rendah hati (tawadhu’) dan apabila orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata yang baik.” [QS. Al-Furqaan : 63]

"Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk." [QS. An-Nahl : 125]
Dan sesungguhnya para ulama terdahulu pun sangat begitu mementingkan Adab daripada Ilmu, karena dengan Adab lah, maka Ilmu yang diemban dan disampaikan oleh pengemban dakwah itu akan menjadi Anggun dan Indah karena selalu dibarengi dengan tawadhu' (rendah hati), wara' (hati-hati), selalu bertafakur dan bertadabbur kepada Allah Ta'ala.
Imam Malik rahimahullahu mengisahkan:

“Aku berkata kepada ibuku, ‘Aku akan pergi untuk belajar.’ Ibuku berkata, ‘Kemarilah!, Pakailah pakaian ilmu!’ Lalu ibuku memakaikan aku mismarah (suatu jenis pakaian) dan meletakkan peci di kepalaku, kemudian memakaikan sorban di atas peci itu. Setelah itu dia berpesan, ‘Sekarang, pergilah untuk belajar!’ Dia juga pernah mengatakan, ‘Pergilah kepada Rabi’ah (guru Imam Malik, pen)! Pelajarilah adabnya sebelum engkau pelajari ilmunya!’.” [‘Audatul Hijaab 2/207, Muhammad Ahmad Al-Muqaddam, Dar Ibul Jauzi, Koiro, cet. Ke-1, 1426 H, Asy-Syamilah]
Abdullah bin Al-Mubarak Rahimahullah Ta’ala berkata : “Hampir saja adab menjadi dua pertiga ilmu." [Sifatush Shafwah 4/145]

Ibrahim bin Habiib Asy-Syahid Rahimahullah berkata : “Wahai anakku datangilah para ahli fiqih dan ulama, dan belajarlah dari mereka, ambilah adabnya, akhlaknya, karena hal itu lebih aku suakai dibandingkan hadits yang banyak”. [Al-Jami’ Liakhlakir Rawi 1/80]

Berkata Imam Adz-Dzahabi rahimahullahu:
“Yang menghadiri majelis Imam Ahmad ada sekitar 5000 orang atau lebih. 500 orang menulis [pelajaran] sedangkan sisanya hanya mengambil contoh keluhuran adab dan kepribadiannya.” [Siyaru A’lamin Nubala’ 21/373, Mu’assasah Risalah, Asy-syamilah]

Betapa pentingnya adab, sehingga para ulama pun lebih banyak mempelajari dan mendahului Adab daripada Ilmu. Hal tersebut begitu penting agar mereka (para ulama) terhindar dari sifat Sombong terhadap Makhkuk disaat posisi sudah mendapat banyak ilmu dan kedudukan. Dan agar mereka tetap tawadhu' (rendah hati), wara' (hati-hati), selalu bertafakur dan bertadabbur kepada Allah Ta'ala.
Semoga apa yang kami sampaikan dapat mengingatkan kami sendiri dan kita semua baik para pengemban dakwah maupun setiap kaum Muslim, sehingga hidayah yang kita dapatkan dalam 3 tingkatan tersebut sempurna kita terapkan dalam prilaku kita.
"Sesungguhnya Allah mewahyukan kepadaku agar kalian bersikap rendah hati hingga tidak seorang pun yang bangga atas yang lain dan tidak ada yang berbuat aniaya terhadap yang lain” [HR. Muslim no. 2865]

Terima kasih kepada guru-guruku yang telah membina dan membimbing kami, sehingga kami dapat menyusun tulisan ini sebagai pengingat diri sendiri, para pengemban dakwah dan kaum Muslim.
Wallahu alam bishowab
Nazril Firaz Al-Farizi