AKSI KEKERASAN MAKO BRIMOB DAN DESAKAN PENGESASAHAN RUU TERORISME [Sebuah Catatan Kritis]


Oleh: Ahmad Khozinudin, S.H.
Koalisi 1000 Advokat Bela Islam
Publik tentu turut prihatin atas musibah yang terjadi di rutan mako brimob (08/05/2018), aksi teroris yang melakukan kekerasan terhadap anggota Polri perlu dikecam. Publik selayaknya prihatin, atas musibah dan jatuhnya korban atas insiden itu.
Hanya saja, untuk melangkah menuju rekomendasi solusi tentu tidak bisa membuat simplikasi masalah dengan mengarahkan persoalan teroris pada satu sebab tertentu dan mengabaikan sebab yang lain. Alih-alih bukannya memberikan solusi, rekomendasi yang dibangun tidak berdasarkan kajian yang mendalam justru rawan menimbulkan masalah baru.

Sebagaimana diketahui, Wiranto selaku menteri Polhukum pasca kerusuhan Mako Brimob mewacanakan untuk menyegerakan proses pengesahan rancangan UU Terorisme yang sebelumnya pembahasannya tertahan di DPR. Argumen yang mungkin coba dibangun, adalah tindakan terorisme telah sampai pada level tertentu (horor) sehingga membutuhkan penanganan preventif ditingkat UU untuk memberikan solusi preventif pada 3 (tiga) aspek.

Pertama, perluasan penalisasi terorisme dari perbuatan teror aktual meluas pada perbuatan-perbuatan umum tetapi dipaksakan untuk diklasifikasi terindikasi terorisme sehingga dapat dikriminalisasi dan dipidana. Perluasan kriminalisasi tetorisme pada buku-buku yang berisi pemikiran tertentu, kegiatan organisasi yang mendakwahkan ide atau ajaran tertentu, kegiatan Kombatan yang berimplikasi pada status pencabutan kewarganegaraan, dan yang semisalnya.

Kedua, penambahan wewenang aparat penegak hukum untuk mengambil tindakan preventif maupun kuratif yang menyimpangi KUHAP, seperti penambahan kewenangan interogasi dan penangkapan pada status terduga melebihi 1 X 24 jam menjadi 7 hari (7 X 24 jam), penambahan kewenangan menangkap dan mengisolasi (menahan) terduga teroris hingga status tersangka pada tempat tertentu hingga beberapa bulan (seperti di Guantanamo), enam bulan hingga 1,2 tahun, atau wewenang tambahan lain bagi aparat untuk menindak aktivitas terorisme.

Ketiga, rekomendasi anggaran. Anggaran penanganan terorisme dipandang perlu ditingkatkan untuk menjamin Efektifitas kinerja Polri untuk menyukseskan agenda pencegahan dan pemberantasan tindak pidana Tetorisme.

REKOMENDASI PREMATURE DAN OBSCUUR

Kembali pada kasus rusuh Mako Brimob, jika ini yang dijadikan triger perubahan atau desakan pengesahan RUU anti terorisme, maka ada beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan :
Pertama, diantara sebab yang disebutkan media menjadi pemicu kerusuhan adalah faktor "makanan" baik mekanisme atau teknis pembagian, termasuk porsi makanan.
Maka kajian antisipasi sebagai solusi agar rusuh brimob tidak terulang dirutan brimob atau rutan lain adalah bagaimana memastikan pengaturan distribusi makanan yang merupakan hak asasi para tahanan, agar terjamin sehingga tidak menimbulkan kerusuhan.
Secara anggaran, perlu dipastikan Alokasi untuk menjamin ketersediaan dan distribusi makanan yang tersedia. Dalam hal ini, masalah klasik rutan mungkin akan sama dengan LP, dimana Kemenkumham berulang kali mengeluh atas besarnya operasional LP yang tidak tercover secara penuh oleh anggaran negara.

Artinya, jika faktornya makanan maka solusi terhadap jaminan ketersediaan dan distribusi makanan di seluruh rutan patut menjadi perhatian, dan bukan tidak mungkin jika tidak diantisipasi bisa menjadi pemicu kerusuhan di rutan lainnya.

Kedua, perlu diperkuat jaminan sterilisasi rutan dari akses eksternal khususnya antisipasi ketat atas masuknya barang atau bahan yang haram diselundupkan ke rutan. Diketahui, tahanan di mako brimob memperoleh senjata (panah dll) dan disebutkan pula memperoleh bahan peledak untuk merakit bom, sebelum akhirnya membuat keributan dan merampas senjata aparat.

Jika hal ini yang menjadi sebab, maka penguatan sterilisasi tahanan adalah prioritas agenda antisipasi agar kerusuhan di rutan brimob atau rutan lainnnya tidak terjadi lagi. Jaminan atas sterilisasi tahanan dari bahan atau barang termasuk senjata yang bisa memicu kerusuhan, seharusnya menjadi agenda prioritas.

Ketiga, jika sebab itu hendak diperluas dikaitkan dengan motivasi balas dendam, motivasi ideologi, motivasi ekonomi dll, maka selayaknya negara mengoreksi kebijakannya.

Apakah negara telah memberikan keadilan pada rakyat ? Apakah negara telah memberikan kesejahteraan pada rakyat? Apakah negara telah memposisikan Islam dan umat Islam secara mulia?
Himpitan beban hidup atas kegagalan negara mensejahterakan rakyatnya, penegakan hukum yang tidak menjamin kepastian dan keadilan, serta tudingan-tudingan, kriminalisasi terhadap Islam dan ajarannya, para ulamanya, para aktivis dan pengembannya, juga penting untuk dijadikan rekomendasi solusi.
Negara harus mengubah pendekatan kepada Islam dan umat Islam dengan pendekatan kemitraan bukan kecurigaan. Negara harus mengubah persepsi kritik publik sebagai masukan bukan bentuk penentangan.
Negara harus berfokus melaksanakan kewajiban mensejahterakan rakyatnya bukan semata menuntut ketaatan. Negara wajib menjunjung tinggi keadilan agar rakyat mentaati hukum, sebagaimana negara memberi contoh dan teladan.
Ketika seluruh persoalan yang berkaitan dengan kerusuhan mako brimob dikembalikan pada sebab semakin mengkhawatirkannya ancaman terorisme sehingga perlu diantisipasi dengan pengesahan RUU terorisme, maka rekomendasi ini bisa dikatakan obscuur dan prematur.
Obscuur karena sebab yang menjadi pangkal masalah justru tidak diperhatikan, mengasumsikan sebab dari hal lain dan membangun solusi diatas asumsi. Prematur, karena solusi ditingkat praktis dan antisipatif belum dilakukan, tetapi wacananya dipaksakan pada solusi ditingkat perubahan UU terorisme.

KHATIMAH

kita semua setuju bahwa kekerasan -apapun dalihnya- tidak boleh tumbuh dan bersemi di negeti tercinta ini. Kita juga sepakat, negara sebagai lembaga pelindung dan pelayan masyarakat perlu segera mengambil tindakan untuk memberikan rasa aman dan nyaman kepada segenap warga negaranya.
Hanya saja kita tidak ingin, isu terorisme dikapitalisasi untuk kepentingan lain, menjadi komoditi politik, menjadi komoditi kapitalis untuk mengeruk anggaran rakyat, apalagi digunakan untuk melakukan teror dan monsterisasi pada Islam dan ajarannya.
Kita semua mengecam jika aksi terorisme ini dikaitkan dengan ajaran Islam tentang jihad, tuntutan penegakan syariat dan Khilafah. Tentu saja negara harus menyadari hal itu. Negara harus bertindak melindungi dan memberikan ketentraman kepada umat Islam, mayoritas warga negara di bumi pertiwi tercinta ini. Wallahu a'lam. [].