KENISCAYAAN PENGGUSURAN DI ERA DEMOKRASI KAPITALIS


Oleh: Ummu Mush'ab-Mundzir

Senin, 19 Maret 2018 Pajak Pasar Lima Marelan yang selama ini menjadi salah satu pasar tradisional untuk wilayah marelan dan sekitarnya akhirnya ditertibkan dengan beberapa alat berat beserta Satuan Polisi Pamongpraja (Satpol PP) kota Medan berseragam lengkap dibantu Muspika Kecamatan Medan Marelan. Banyak pedagang di pajak pasar lima yang menolak proses penertiban ini namun ada juga para pedagang yang dengan kesadaran pasrah membongkar sendiri lapak dagangannya. Menurut aparat terkait para pedagang sebelumnya telah diberi surat pemberitahuan agar segera menertibkan lapak dagangannya dan segera pindah ke areal bangunan pajak yang baru dibangun Pemko Medan.
Memang selama ini kemacetan kerap terjadi saat ramainya warga sekitar berbelanja di waktu pagi dan petang karena tepi jalan digunakan untuk lapak pedagang di pajak pasar lima marelan. Penertiban pajak pasar lima marelan oleh Pemko Medan diharapkan dapat mengurangi kemacetan di Jalan Marelan Raya dan M.Basyir Pasar lima Marelan. Bangunan Pasar yang dibangun Pemko Medan untuk relokasi dididirikan dengan lokasi yang masih dekat dengan jalan utama Marelan tempat para pedagang berjualan sebelumnya. Namun tidak semua pedagang yang direlokasi mendapatkan lapak dagangan di pajak yang baru tersebut karena sudah penuh. Para pedagang yang akan mendapatkan tempat juga harus membayar uang muka 3 juta di lantai 1 dan 5 juta di lantai atas. Berdasarkan keterangan seorang pedagang sayur di lantai 1, harga lapak berupa meja keramik berukuran sekitar 3x1 meter sebesar 15 juta dibayar kontan, sementara kredit 20 juta dengan cicilan paling sedikit 300 ribu/ bulan. Bagi yang tidak sanggup membeli lapak disewakan dengan harga sewa 300 ribu/ bulan. Hal ini memberatkan bagi sebagian para pedagang yang mungkin sebelumnya mereka tidak membayar tempat dagangan semahal itu, karena para pedagang biasanya ada yang berjualan langsung di atas mobil pick up atau dengan sepeda atau motor yang dipasangkan keranjang tempat meletakkan dagangannya.
Rapat dengar pendapat yang dihadiri oleh komisi C DPRD kota Medan, PD Pasar dan perwakilan pedagang dengan pimpinan rapat Wakil Ketua Komisi C DPRD Medan, Mulia Asri Rambe (Bayek) menghasilkan penilaian yang buruk tentang kinerja dan tidak profesionalnya Dirut Perusahaan Daerah(PD) Pasar Medan, Rusdy Sinuraya dan meminta agar jabatan Dirut PD Pasar dievaluasi. Terbukti dengan pemindahan para pedagang di pajak pasar lima marelan dan pajak lainnya di kota Medan sarat masalah di bawah kepengurusan Rusdy Sinuraya.
Dari Rapat Dengar Pendapat tersebut ditemukan beberapa permasalahan yang muncul untuk kasus relokasi Pajak Pasar lima marelan antara lain: 1. adanya oknum yang ingin mendapatkan keuntungan dari proses relokasi ini. Seperti yang terjadi di lapangan, Dirut Pasar menyerahkan tugas pengerjaan kios- kios baru, pendataan pedagang dan kutipan kios kepada Persatuan Pedagang Pasar Tradisional Medan (P3TM), campur tangan P3TM ini dinilai menimbulkan masalah. 2.tingginya harga kios dan ada pedagang yang sudah bayar tapi belum mendapatkan kiosnya, 3. Tidak semua pedagang dari pajak yang lama mendapatkan kios di pajak baru, 4. Sarana yang tersedia di pajak baru sangat buruk, tempat kumuh dan atap bocor, 5. Dugaan kasus jual beli aset PD Pasar yang dilakukan oknum pejabat PD Pasar, sehingga perlu dilakukan pengusutan oleh kepolisian dan kejaksaan ujar Mulia Asri Rambe.
Akar Masalah Pengaturan Fasilitas Umum
Carut marut pengaturan fasilitas umum termasuk pasar/pajak berawal dari kesalahan paradigma berpikir dan kesalahan perangkat aturan yang muncul dari paradigma tersebut. Pengaturan pasar/ pajak bukan hanya perkara kesalahan teknis tapi perkara kesalahan sistemik. Paradigma berpikir yang salah itu bersumber dari sekulerisme dimana agama wajib dipisahkan dari semua kepengurusan kehidupan masyarakat. Sekulerisme melahirkan kapitalis yang memandang segalanya adalah bisnis dan kemanfaatan. Cara pandang seperti ini mengakibatkan pengaturan fasilitas umum seperti pajak/pasar bisa dikuasai oleh pengusaha swasta lokal atau nasional yang bekerjasama dengan penguasa setempat, sehingga sangat tercium aroma bisnis daripada pelayanan masyarakat.
Bagi kapitalis negara hanya sebagai legislator dalam pengaturan urusan masyarakat sementara operatornya diserahkan kepada mekanisme pasar. Fasilitas umum seperti pasar/pajak dikelola oleh swasta atau pemerintah setempat dengan orientasi komersial, hal ini sangat terlihat ketika para pedagang harus membayar kios baru dengan harga yang mahal tanpa diperhatikan sarana pendukung yang memadai dan membuat nyaman masyarakat di dalam pasar tersebut. Demi mengejar keuntungan tidak lagi diperhatikan kualitas tempat dan prosedur yang memudahkan para pedagang untuk mendapatkan tempat. Padahal harusnya negara menyediakan lapangan pekerjaan yang murah bahkan gratis kepada rakyatnya untuk berdagang bukan malah mempersulit demi alasan materi semata.
Membangun Fasilitas Umum Strategis
Menanggapi kasus penggusuran para pedagang di beberapa pasar/pajak di kota Medan dengan alasan kemacetan, merusak pemandangan kota, sampah, kotor, kumuh dll, maka di sini nampak mental pemimpin yang gemar menyalahkan rakyatnya. Beda jauh dengan kepemimpinan islam, seperti Khalifah Umar bin Khattab yang sangat khawatir akan dituntun oleh rakyatnya di hadapan Yang Maha Tahu segalanya karena pengaturan yang tidak baik kepada mereka bahkan seekor keledaipun sangat diperhatikan jalannya agar tidak sampai celaka. Mindset seperti ini yang seharusnya mendasari seorang pemimpin untuk melayani rakyatnya
Ada 3 prinsip dalam membangun fasilitas umum strategis, pertama, pembangunan fasilitas umum seperti pasar/pajak adalah tanggung jawab negara, tidak boleh dibisniskan baik untuk kalangan sendiri atau swasta, kedua, perencanaan yang baik akan mengurangi masalah yang muncul di belakang hari, seperti penggusuran. Bercermin dari kepemimpinan islam, ketika Baghdad sebagai ibu kota kekhilafahahan, setiap bagian kota diproyeksikan hanya untuk jumlah penduduk tertentu. Di kota itu dibangunkan masjid, sekolah, perpustakaan, taman, industri gandum, area komersial, pasar, tempat singgah bagi musafir, hingga pemandian umum yang terpisah antara laki-laki dan perempuan. Tidak ketinggalan pemakaman umum dan tempat pengolahan sampah. Warga tak perlu menempuh perjalanan jauh untuk memenuhi kebutuhan, menuntut ilmu, belanja atau bekerja, karena semua dalam jangkauan perjalanan kaki yang wajar, dan semua memiliki kualitas yang standar, tidak perlu khawatir jalanan macet karena semua tempat terjangkau dengan berjalan kaki. Ketiga, negara membangun fasilitas umum dengan standar teknologi terkini dan tercanggih, seperti pengolahan sampah, alat kebersihan tercanggih, kios, toilet, mushola yang bersih dan aman dari terik dan hujan, serta air bersih yang memadai, jalan yang diperkeras sehingga tidak becek/ tergenang, dibersihkan kotoran di sepanjang jalan dalam pasar/pajak, malam diterangi lampu kualitas terbaik. Biaya perawatan fasilitas dalam pasar/ pajak tidak dibebankan lagi kepada para pedagang dan pembeli.
Tentu tidak murah pembiayaan fasilitas umum hanya untuk pasar/pajak saja, makanya dalam kepemimpinan islam roda ekonominya juga diatur dengan sistem ekonomi islam saja bukan sistem yang lain. Untuk Indonesia sebagai negeri muslim terbesar punya potensi SDA yang besar untuk semua pembiayaan publik jika semua SDA tidak dikapitalisasi oleh kalangan sendiri, swasta lokal, nasional, atau asing. Sangat lebih dari kata cukup hasil dari SDA Indonesia untuk bisa mensejahterakan semua rakyatnya, buktinya banyak negara di dunia saat ini berebut berinvestasi dan bekerjasama dalam bidang ekonomi dengan Indonesia untuk membangun negara mereka dari hasil kekayaan bumi Indonesia.
Negara telah melakukan salah urus dengan menerapkan sistem kapitalisme. Sumber masalah bukanlah berasal dari siapa yang berkepentingan untuk mengurus negara dan rakyat, melainkan lebih bersifat sistemik. Sistem demokrasi kapitalis meniscayakan lahirnya pemimpin -pemimpin yang korup. Hal ini logis, karena bangunan dasar untuk maju dalam bursa pemilihan pemimpin adalah kemanfaatan, bukan untuk kemaslahatan umat.
Berbeda jauh dengan kondisi pada era khilafah Islam eksis. Dalam sejarah ulama salaf, diriwayatkan bahwa Khalifah Umar bin Abdil Aziz dalam shalat tahajudnya sering membaca ayat berikut, yang artinya:
(Kepada para malaikat diperintahkan), “Kumpulkanlah orang-orang yang zalim beserta teman sejawat mereka dan sembah-sembahan yang selalu mereka sembah, selain Allah. Lalu tunjukkanlah kepada mereka jalan ke neraka. Tahanlah mereka di tempat perhentian karena sesungguhnya mereka akan dimintai pertanggungjawaban.” (QS ash-Shaffat [37]: 22-24).
Beliau mengulangi ayat tersebut beberapa kali karena merenungi besarnya tanggung jawab seorang pemimpin di akhirat bila melakukan kezaliman.
Dalam riwayat lain, karena begitu khawatirnya atas pertanggungjawaban di akhirat sebagai pemimpin, Khalifah Umar bin Khaththab ra. berkata dengan kata-katanya yang terkenal, “Seandainya seekor keledai terperosok di Kota Baghdad karena jalanan rusak, aku sangat khawatir karena pasti akan ditanya oleh Allah SWT, ‘Mengapa kamu tidak meratakan jalan untuknya?’”
Mereka memahami benar sabda Baginda Rasulullah saw:
“Pemimpin suatu kaum adalah pelayan mereka”. (HR Ibn Majah dan Abu Nu’aim).
Mereka juga amat memahami sabda Rasul saw. yang lain:
“Imam (Khalifah) adalah pengurus rakyat dan dia bertanggung jawab atas rakyat yang dia urus” (HR al-Bukhari).

Para penguasa negeri ini patutlah merenungkan sabda Baginda Rasulullah saw., “Jabatan (kedudukan) itu pada permulaannya penyesalan, pertengahannya kesengsaraan (kekesalan hati) dan akhirnya adalah azab pada Hari Kiamat (HR Ath-Thabrani).
Wallahu’alam bishshawab