Tanah dan Kebengisan Aparat

Bentrok yang terjadi antara warga Sari Rejo dan TNI AU Lanud Suwondo kembali pecah pada hari senin tanggal 15 agustus 2016 yang lalu. Tepatnya 2 (dua) hari sebelum negeri ini merayakan ceremonial kemerdekaan yang setiap tahun diadakan. Delapan warga tertembak aparat dan dua wartawan yang meliput peristiwa pun jadi korban keberingasan aparat TNI AU.

Penyebab bentrok aparat TNI AU dan warga ini adalah masalah sengketa tanah. Tanah yang disengketakan mencapai 260 hektare dikelurahan Sari Rejo, kecamatan Medan Polonia. Sebenarnya status tanah sudah diputuskan oleh Mahkamah Agung pada tahun 1995.

Prosesnya tinggal di Kementrian Pertahanan untuk membuat permohonan penghapusan asset kepada menteri Keuangan, sebab permohonan kasasi TNI telah ditolak Mahkamah Agung.

Jadi, masyarakatlah yang berhak atas tanah tersebut. Namun, TNI AU melakukan pematokan tanah yang bersengketa ini berarti TNI AU menyerobot tanah milik warga Sari Rejo. Tindakan TNI AU yang menduduki permukiman warga merupakan tindakan melawan hokum.

Akhirnya warga yang tergabung dalam Forum Masyarakat (Formas) Sari Rejo bentrok dengan aparat TNI AU. Mereka membakar ban dan memblokir Jalan SMA 2, kecamatan medan Polonia. Tak berselang lama terjadi aksi saling dorong antara warga dan TNI AU.

Namun sejumlah warga sempat diseret dan diinjak anggota TNI AU. Hal ini terjadi saat anggota TNI AU berusaha untuk memadamkan api dari ban bekas yang dibakar. Warga tidak terima. Salah satu warga menjadi korban keberingasan TNI AU. Ia dipukuli, ditampar dan diinjak sampai tersungkur. Hal ini semakin membuat warga histeris dan berteriak tidak terima ada warga yang dipukuli.

Belum usai sampai disana. Setelah melerai massa, puluhan prajurit yang dipersenjatai pentungan melakukan aksi balas dendam. Mereka melakukan sweeping-sweeping keseluruh rumah dikelurahan Sari Rejo.

Bahkan, tempat ibadahpun dilakukan sweeping oleh puluhan prajurit TNI AU. Selama sweeping ini 2 wartawan menjadi korban keberingasan TNI AU. Tidak hanya itu, 8 warga Sari Rejo pun menjadi sasaran amuk dari puluhan prajurit TNI AU dan tertembak oleh peluru karet.

Dari peristiwa ini ada beberapa hal yang dapat kita tarik. Pertama, masalah sengketa tanah yang tak pernah selesai dinegeri ini. Kedua, aparat yang seharusnya menjadi pelindung warga menjadi penganiaya. Mengapa hal ini terjadi?

Akar Masalah Sengketa Tanah

Melihat dari berbagai kasus sengketa tanah yang terjadi dinegeri ini, kita dapat menyimpulkan setidaknya ada 3 (tiga) factor yang menyebabkan mengapa masalah sengketa tanah ini sering sekali mencuat kepermukaan. Pertama, sistem administrasi pertanahan, terutama dalam hal sertifikat tanah yang tidak beres.

Kedua, distribusi kepemilikan tanah yang tidak merata.
Ketidakseimbangan dalam distribusi pemilikan tanah ini-baik untuk tanah pertanian maupun bukan pertanian-telah menimbulkan ketimpangan baik secara ekonomi, politis maupun sosiologis.

Dalam hal ini, masyarakat bawah, khususnya petani/penggarap tanah memikul beban paling berat. Ketimpangan ini tidak terlepas dari kebijakan ekonomi yang kapitalistik dan liberalistic.

Ketiga, legalitas kepemilikan tanah yang semata-mata didasarkan pada bukti formal (sertifikat), tanpa memperhatikan produktivitas tanah. Akibatnya secara legal (de jure), boleh jadi banyak tanah bersertifikat dimiliki oleh perusahaan atau para pemodal besar, karena mereka telah membelinya dari petani/penggarap tanah, tetapi tanah tersebut lama ditelantarkan begitu saja.tidak jarang pula, karena tidak adanya bukti legal-formal atas kepemilikan tanah, banyak warga masyarakat, khususnya masyrakat miskin yang tinggal dikota-kota besar, digusur pemerintah.

Dengan penggusuran ini sering sekali terjadi bentrok antara warga dengan aparat keamanan. Apalagi bila kita lihat kasus warga Sari Rejo. Pihak yang bersengketa masalah tanah adalah warga dengan prajutir TNI AU yang notabene adalah aparat keamanan juga dinegeri ini. Yang seharusnya bertugas menjaga keamanan warga, mengayomi, melindungi warga dari gangguan-gangguan orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Tapi, faktanya menjadi beringas dan penganiaya warga yang seharusnya dilindungi.

Solusi Islam

Dari akar persoalan diatas, syariah islam setidaknya memberikan 4 (empat) solusi mendasar. Pertama, kebijakan menghidupkan tanah mati (ihya’ al-mawat).

Dalam hal ini syariat islam mengizinkan siapa saja yang memiliki kemampuan untuk menghidupkan tanah-tanah yang mati (tidak produktif) dengan cara mengelola/menggarapnya. Setiap tanah yang mati, jika dihidupkan/digarap oleh orang, adalah milik orang yang bersangkutan.

Ketentuan ini didasarkan pada sabda Nabi saw. Berikut :
“siapa saja yang telah mengelola sebidang tanah, yang bukan milik orang lain, maka dialah yang paling berhak.”(HR al-Bukhari).

Hadist ini berlaku mutlak bagi siapa saja, baik muslim maupun non-muslim. Hadist ini menjadi dalil bagi kebolehan (mubah) bagi siapa saja untuk menghidupkan/memagari tanah mati tanpa izin kepala Negara (khalifah). Alasannya, karena perkara-perkara yang mubah memang tidak memerlukan izin.

Kedua, kebijakan membatasi masa berlaku legalitas kepemilikan tanah, dalam hal ini tanah pertanian, yang tidak produktif alias ditelantarkan pemiliknya selama 3 (tiga) tahun. Ketetapan ini didasarkan pada kebijakan Umar bin al-Khaththab ra. Yang disepakati (ijmak) oleh para Sahabat Nabi saw.

Beliau menyatakan :
“orang yang memagari tanah tidak berhak (atas tanah yang dipagari itu) setelah (menelantarkannya) selama tiga tahun.
Dengan ketentuan ini, setiap orang tidak bisa seenaknya memagari tanah sekaligus mengklaim secara seppihak, sementara dia sendiri telah menelantarkannya lebih dari tiga tahun.

Artinya, setelah ditelantarkan lebih dari tiga tahun, orang berhak atas tanah tersebut.

Ketiga, kebijakan Negara memberikan taah secara Cuma-Cuma kepada masyarakat (iqtha’ ad-dawlah). Hal ini didasarkan pada af’al (perbuatan) Rasulullah saw. sebagaimana yang pernah Beliau lakukan ketika berada di Madinah.

Hal yang sama juga pernah dilakukan oleh Khulafur Rasyidin sepeninggal Beliau. Pemberian Cuma-Cuma oleh Negara tidak terkait dengan tanah mati, namun terkait dengan tanah yang pernah dimiliki/dikelola oleh seseorang sebelumnya yang karena alasan-alasan tertentu diambil Negara, lalu diberikan kepada siapa saja yang membutuhkan.

Keempat, kebijakan subsidi Negara. Setiap orang yang telah memilki/menguasai tanah akan dipaksa Negara (khalifah) untuk mengelolah/menggarap tanahnya, tidak boleh membiarkannya. Jika mereka tidak memiliki modal untuk menggarapnya maka Negara akan memberikan subsidi kepada mereka.

Kebijakan ini pernah ditempuh oleh khalifah Umar bin al-khaththab ra. Beliau mengambil dana dari Baitul Mal (kas Negara) secara cuma-cuma kepada petani irak yang memunngkinkan mereka bisa menggarap tanah pertaniannya serta memenuhi kebutuhan dasar mereka.

oleh: Ria Nurvika (Ketua Lajnah Khusus Intelektual MHTI Sumut)
tulisan ini dimuat di Harian Waspada Medan, 9 September 2016