Ulama Perempuan Untuk Hilangkan Bias Gender?

 



Oleh: Sari Ramadani (Aktivis Muslimah)


Pada maulanya, ide gender lahir dari perlakuan buruk masyarakat Eropa terhadap kaum perempuan. Perempuan pun dipandang rendah sehingga tak memiliki hak atas pendidikan, berpendapat, ekonomi, politik, termasuk dirinya sendiri. Dari sini maka muncullah gerakan feminisme bak pahlawan namun menyesatkan.


Baru-baru ini Imam Besar/Ketua Harian Badan Pengelola Masjid Istiqlal Prof KH Nasaruddin Umar mengatakan pihaknya akan mengadakan pendidikan kader ulama perempuan sebagai salah satu tindak lanjut nota kesepahaman dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (antaranews.com, 19/02/2021).


Nasaruddin mengatakan pemberdayaan masyarakat berawal dari penguatan keluarga. Untuk membentuk masyarakat dan negara yang ideal, berawal dari keluarga yang ideal. Itu sebabnya, kitab suci Islam Alquran lebih banyak mengatur tentang hukum-hukum keluarga daripada hukum-hukum tentang bermasyarakat dan bernegara (ihram.co.id, 19/02/2021).


"Kalau ingin memperbaiki sebuah negara dan masyarakat, maka basic masyarakat itu adalah keluarga. Segala-galanya bersumber dari keluarga," ucap Nasaruddin (nasional.kompas.com, 19/02/2021).


Benarkah demikian? Apakah cukup dengan memperbaiki kualitas keluarga saja maka akan lahir negara yang ideal itu? Lantas apa sebenarnya tujuan diadakannya program pendidikan ulama perempuan ini?


Program pendidikan ulama perempuan adalah untuk penghapusan bias gender yang mana, dapat menghantarkan lahirnya "rujukan publik" yang memperkuat moderasi dan penguatan sekularisme. Selain itu, program semacam ini juga salah satu cara untuk menyudutkan Islam sebagai agama yang tidak memihak perempuan.


Dalam program ini, perempuan di berikan ruang dan peran penting dalam mengampanyekan pemahaman Islam moderat yang lebih ramah dan toleran. Serta agar kualitas dan kuantitas ulama yang responsif gender dan peduli hak anak dapat meningkat, khususnya kader ulama perempuan yang memiliki keilmuan Islam berbasis gender melalui paham Islam yang moderat.


Program ini juga seperti ingin membentuk keluarga feminis ditengah-tengah kaum muslim yang dicitrakan keluarga sakinah agar dapat menjadi role model bagi keluarga muslim. Padahal konsep keluarga feminis sangat bertolak belakang dengan konsep keluarga sakinah dalam Islam. Keluarga sakinah adalah keluarga taat pada syariat Islam tanpa pilih-pilih, sementara keluarga feminis adalah keluarga liberal yang menentang Islam bahkan jauh dari Islam. Selain itu dalam keluarga feminis suami dan istri bebas memilih peran yang disukai tanpa paksaan. Contohnya saja istri boleh menjadi kepala keluarga dan suami boleh memilih peran sebagai ibu.


Hal semacam ini jelas bertentangan dengan syariat. Allah SWT berfirman, “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka).” (TQS. An-Nisa: 34).


Selain itu, dalam Islam kedudukan ulama sangat tinggi dan dimuliakan oleh Allah Swt karena selain memiliki ilmu dan pemahaman Islam, ulama juga orang-orang yang takut kepada Allah Swt yang mana hal ini akan mengantarkan pada ketaatan pada Allah. "Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hannyalah ulama." (TQS. Fathir: 28).


Ulama juga orang yang paling peduli terhadap umat dan memiliki peran pada perbaikan kualitas keluarga dengan amar ma'ruf nahi munkar yang dilakukan setiap kali melihat kezholiman yang ada tanpa ragu-ragu.


Sebenarnya untuk melahirkan keluarga yang ideal maka negara harus bertanggung jawab dan hal ini akan mudah jika kebijakan negara berbasis aturan syariat dalam institusi negara khilafah peran ulama pun menjadi maksimal dengannya.


Wallahualam bissawab.