Anak Penjarakan Ibu Kandung : Rapuhnya Tatanan Keluarga Dalam Sistem Demokrasi



Oleh: Nurul Fadhilah, S.Pd - Aktivis Muslimah Medan


Bak air susu dibalas dengan air tuba. Agesti Ayu Wulandari (19) adalah seorang gadis yang tengah jadi perbincangan publik, lantaran melaporkan ibu kandungnya Sumiyatun (36) ke polisi (TribunNews.com11/1/2021).

Banyak hal yang ternyata melatarbelakangi pelaporan AAW tersebut. Salah satunya adanya dugaan perselingkuhan oleh sang Ibu dengan lelaki lain yang terjadi sejak April 2020 lalu. Ditambah kasus penganiayaan yang dilakukan terhadapnya. Dengan dalih mencari keadilan, AAW hingga saat  ini enggan untuk mencabut laporannya meskipun sudah dilakukan tiga kali mediasi (kumparanNews11/1/2021).

Dalam satu kasus diatas, ada beberapa hal yang perlu kita cermati agar mendapatkan solusi dari permasalahan tersebut. Bukan hanya alasan untuk mencari keadilan saja, namun juga bagaimana menciptakan keharmonisan dalam keluarga. Selain interaksi antara orang tua dan anak yang harus dijaga, juga hubungan yang terjalin antara suami dan istri karena salah satu faktor kerapuhan tatanan keluarga adanya kasus perselingkuhan antar keduanya. 

Pertama, adanya paham kapitalis-sekuleris yang tengah bercokol di pemikiran masyarakat saat ini menjadi pemicu munculnya problem dalam keluarga. Hubungan interaksi yang terjalin didalamnya diukur dengan materi, alias matrealistis. Sikap yang memandang kebahagiaan dari sisi materi saja cenderung akan menghantarkan manusia pada kesengsaraan semata. 

Karena itu keharmonisan dalam keluarga adalah keharmonisan dalam koridor syariah. Menyadari akan setiap peran dan hak juga kewajiban dalam keluarga akan menjadikan hubungan yang harmonis didalamnya. Peran ayah sebagai pemimpin dan pencari nafkah, Ibu sebagai pengatur rumah tangga dan guru bagi anak-anaknya juga anak-anak yang memiliki kewajiban untuk taat dengan orang tuanya. 

Kedua, adanya paham liberalisme yang gagal menghadirkan rasa hormat terhadap orang tua khususnya Ibu. Kebebasan yang rentan kebablasan semakin memperburuk moral generasi. Ataupun sebaliknya, sosok ibu yang abai terhadap fungsinya sebagai ummu wa robbatul baiyt atau ibu dan pengatur rumah tangga. Yang akhirnya menjadikan setiap peran dalam rumah tangga berjalan nafsi –nafsi (sendiri-sendiri), tidak terciptanya interaksi yang harmonis. Sehingga, keluarga yang harusnya menjadi tempat ternyaman, tempat awal untuk menghasilkan generasi penerus yang berkualitas baik dari sisi akidah, moral dan tsaqofah (ilmu pengetahuan) tersebut menjadi benteng pertahanan pertama dalam menjaga generasi. Tentu ini semua akan berjalan sesuai dukungan dari setiap peran. Baik ayah, ibu dan anak-anaknya. 

Lalu bagaimana fungsi keluarga itu berjalan dengan semestinya? Tentunya semua tak luput dari hukum syara’ yaitu tentang segala perintah dan larangan Allah. Dalam Islam, menikah adalah menyempurnakan sebagian agama. Oleh sebab itu menikah artinya menjalankan ibadah untuk meraih ridho Allah swt. Sebagaimana ayah memiliki tanggung jawab sebagai pemimpin dalam keluarganya, mencari nafkah, mendidik istri dan bertanggung jawab atas rumah tangganya. Begitu pula istri dan anak-anaknya yang memiliki porsi kewajibannya sendiri. 

Untuk membentengi dan menjaga keutuhan keluarga ini tentu sangat dibutuhkan peran Negara yang menjamin berjalannya fungsi masing-masing dalam keluarga dengan menjalankan hukum Islam, juga membentengi segala paham yang merusak seperti sekulerisme dan liberalisme. Wallahu'alam.