Teladan dari Bunda Maryam Soal Kesetaraan Gender

 


Oleh: Rahmah Khairani, S.Pd (Aktivis Muslimah Medan)

Mungkin sebagian dari kita belum mengetahui sisi lain dari kisah sosok wanita mulia yaitu ibunda Maryam binti Imron, sang wanita suci ahlul jannah. Maryam, begitulah ia dinamakan oleh orangtuanya sebab arti namanya adalah pelayan rumah Allah. Kehadirannya telah lama dinanti-nantikan. Ketaatannya kepada Allah adalah buah nadzar orangtuanya yang rela mewakafkan anak mereka untuk agama Allah. Ibunda Maryam tumbuh ibarat bunga yang mekar dan memancarkan aura ketaqwaan. Bahkan Allah sendiri memuliakannya dengan makanan syurga yang diberikan langsung dihadapannya sebagai rizki bagi siapa yang Dia kehendaki.

Di balik Mihrabnya di dalam Masjidil Aqsha, Ibunda Maryam senantiasa beribadah kepada Allah dengan penuh ketaatan. Sebelumnya sempat terjadi perdebatan antara orang-orang bani Israil dan Nabi Zakariya ‘alaihissalam. Sebab, tradisi jahiliyah bani Israil telah memposisikan wanita sebagai manusia kelas dua yang kotor sehingga tidak pantas berada di dalam tempat ibadah yang suci. Hanya kaum laki-laki sajalah yang boleh untuk beribadah di dalam Masjid. Namun, kecerdasan Nabi Zakariya mengalahkan argumentasi mereka. Sehingga sejak saat itu, para wanita dari bani Israil mulai beribadah di dalam Masjid. 

Ibunda Maryam mendobrak tradisi jahiliyah Bani Israil yang merendahkan martabat wanita, mereka lupa bahwa Para Nabi dan Rasul adalah manusia-manusia yang terlahir dari para wanita (Ibu) yang memelihara dan mendidik mereka sehingga menjadi hamba-hamba yang dekat dengan Robbnya. Demikianlah agama tauhid yang berasal dari Allah ta’ala telah memuliakan wanita sebagaimana kedudukannya kaum laki-laki. Tidak ada perbedaan diantara keduanya. Hanya takwa saja yang menentukan posisi kedekataanya kepada Allah. 

Berbeda dengan fakta kesetaraan yang diperjuangkan oleh kaum feminis. Mereka salah kaprah mengartikan kesetaraan gender yang mati-matian mereka perjuangkan. Bahwasannya para wanita harus setara di setiap bidang yang dimiliki oleh laki-laki. Pengakuan, pekerjaan, tingkah laku, pendapat, dan sebagainya. Sudut pandang tersebut adalah sebuah kesimpulan dari perlakuan tradisi jahiliyah yang mereka terima dari peradaban mereka. Maka wajar jika mereka menuntut kesetaraan seperti demikian.

Dari Kisah ibunda Maryam kita bisa mengambil hikmah, bahwa kemuliaan seseorang tidaklah dilihat dari rupa, harta, ataupun gender, melainkan kepada hati dan perbuatan manusia. Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah tidaklah melihat kepada rupa kalian, dan harta kalian, tetapi Dia melihat kepada hati-hati kalian dan perbuatan-perbuatan kalian.” (HR. Muslim)

Oleh karena itu, kita patut menjaga diri kita dari pemikiran-pemikiran keliru termasuk perjuangan feminisme dalam kesetaraan gendernya. Karena sesungguhnya, Islam telah lebih dari cukup memberikan kita ketenangan dalam posisi sebagai makhluk Allah yang berakal. Wallahu’alam bish showab.