Memutus Mata Rantai Kekerasan Seksual


Rahmah Khairani, S.Pd (Pendidik, dan Aktivis The Great Muslimah Community Medan)

Baru-baru ini sempat viral kasus rudapaksa seorang gadis belia 18 tahun oleh 5 lelaki di Blitar. Mirisnya, pelaku merekam kejadian yang kemudian videonya tersebar di grup-grup Whatsapp. Kasus tersebut membuktikan bahwa kekerasan terhadap perempuan seperti fenomena gunung es yang jumlah sebenarnya lebih besar dari yang terekspos. Komisi Nasional (Komnas) Perempuan mencatat setidaknya ada 46.698 kasus kekerasan seksual yang terjadi terhadap perempuan sepanjang 2011-2019. Jika dianalogikan, setiap 2 jam sekali ada 3 perempuan Indonesia yang mengalami kekerasan seksual, dan ini yang berhasil didata. Betapa angka yang sangat fantastis dengan jumlah korban yang tentunya mengalami trauma psikologis, hal ini begitu sangat memprihatinkan.

Di Sumut sendiri, sepanjang tahun 2018-2019 tercatat ada 266 kekerasan terhadap perempuan yang terjadi (antarasumut, 24/2). Angka ini tidak bisa dianggap remeh karena dampak yang dihasilkan sangat merugikan perempuan. Mata rantai kekerasan seksual harus diputus mulai dari aspek pencegahan hingga aspek penanganannya. Kekerasan seksual umumnya dipicu dari aspek internal dan aspek eksternal. Lemah iman dan ketaqwaan menyebabkan seseorang mudah melakukan kemaksiatan. Suasana lingkungan yang buruk dan tontonan tidak baik, sangat mempengaruhi pola pikir seseorang. Sedangkan pola sikap manusia bergantung kepada pola pikirnya. Ditambah dengan pidana yang tidak memberikan efek jera bagi pelaku kejahatan.

Dalam kitab Nidzom al-Islam karya An-Nabhani, halaman 5 disebutkan “…manusia selalu mengatur tingkah lakunya dalam kehidupan ini sesuai dengan mafahimnya terhadap kehidupan.” Sehingga untuk bisa merubah tingkah laku seseorang maka harus dirubah terlebih dahulu mafahimnya. Contohnya pada kasus ini, seseorang mudah berbuat maksiat (melakukan kekerasan seksual) karena tidak memahami bahwa perbuatan dosa akan berakibat fatal bagi dirinya baik di dunia maupun di akhirat. Bila mafahim yang terbentuk tidak cenderung mengingat bahwa segala perbuatan akan dihisab di akhirat maka yang terjadi adalah sebaliknya, yakni memilih kepuasaan birahi sesaat yang melampaui batas.

Di dalam QS. Al-Mu’minun:5 disebutkan bahwa ciri-ciri orang beriman yang beruntung adalah orang-orang yang dapat menjaga kemaluannya. Begitupun di dalam QS. Al-Ma’arij:29 disebutkan demikian. Ayat-ayat tersebut mengabarkan bahwa betapa tidak mudahnya mencapai derajat mu’min hingga Allah ta’ala menghadiahkan syurga bagi yang mampu mencapainya. Apalagi di tengah suasana lingkungan yang cenderung mengaruskan manusia kepada perbuatan maksiat. Tontonan yang mengundang syahwat, “legalitas” khamr, kebebasan berpakaian (tidak menutup aurat) semakin memperparah kondisi masyarakat. Di lain sisi, aturan hukum positif yang tidak berpengaruh signifikan pada angka kekerasan seksual semakin memperpanjang mata rantai kasus serupa.

Jika melihat pemicu terjadinya kekerasan seksual yang bermacam-macam, seharusnya membuka mata kita semua bahwa problematika ini laksana efek domino dari penerapan sistem sekular-liberal. Negara tidak tampak serius menanganinya, padahal generasi muda adalah harapan masa depan peradaban umat. Ada yang karena tidak tahan ditinggal istri yang bekerja di luar Negeri, ada pula yang karena sekedar bersenang-senang setelah terpicu dengan tontonan, dan alasan-alasan lainnya yang tidak bisa disebutkan satu-persatu. Sehingga solusinya harus mampu meng-cover seluruh faktor-faktor penyebab sekaligus menerapkan hukum yang akan memutus mata rantai perbuatan keji tersebut serta melahirkan masyarakat yang beriman dan bertaqwa pada Tuhannya.

Sebuah urgensitas yang harus diprioritaskan bagi umat hari ini untuk memiliki sistem kehidupan yang solutif pengganti sistem sekuler-liberal yang menyengsarakan. Tiada lain adalah sistem Islam yang mampu mengentaskan seluruh problematika umat termasuk bagian masalah ini. Sesungguhnya Islam telah memberi solusi sebelum masalah itu lahir. Mulai dari syari’at untuk menutup aurat, menjaga pandangan, menjaga kemaluan, memenuhi kebutuhan jasmani dengan cara yang halal, serta didukung oleh UU Negara untuk memelihara keimanan individu dan masyarakat dengan penerapan sanksi berat berupa hudud, jinayah, dan ta’zir. Tidak hanya memberikan efek jera bagi pelaku maupun orang yang menyaksikan eksekusi, namun juga sebagai pelebur dosa tersebut di akhirat. Bila sudah seperti ini maka nikmat Tuhan yang manakah yang manusia dustakan lagi? Betapa Allah ta’ala akan menurunkan rahmat dan berkahnya kepada penduduk bumi yang beriman. 
Maka dari itu, Khilafah Islamiyah yang sedang diperjuangkan adalah sebuah titik balik peradaban manusia untuk mencapai kejayaan dan kemuliaan dunia dan akhirat. Semoga kita semua ikut andil dalam barisannya dan menghindarkan diri dari perbuatan yang menghambat kedatangannya. Wallahu’alam bishowab.