Larangan Allah Menimbun Harta (Kanzul Maal)


بسم الله الرحمن الرحيم


Oleh : Tommy Abdillah

(Ketua Asosiasi Praktisi Ekonomi Islam Indonesia/APEII Sumut)

Saat ini Kapitalisme global masih mencengkeram ekonomi dunia. Jurang pemisah antara si kaya dan simiskin semakin ebar. Survei menunjukkan bahwa 1% orang terkaya didunia mengusai 49% kekayaan dunia.

Untuk Indonesia sendiri, berdasarkan laporan Distribusi Simpanan Bank Umum Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Sekitar 64 % dari total Rp. 5.279 triliun simpanan yang ada di perbankan Indonesia dikuasai oleh 0,2 % segelintir orang kaya. Bahkan, bila melihat data Forbes, laju pertumbuhan 40 orang terkaya di Indonesia empat kali lebih cepat daripada pertumbuhan ekonomi nasional pada 2006-2016. Diantara keburukan sistem Kapitalisme adalah terpusatnya keuangan hanya pada segelintir orang.

Uang Dalam Ekonomi Islam

Dalam konsep Islam, uang adalah alat tukar (medium of exchange) antara harta yang satu dengan harta yang lain, antara harta dengan tenaga. Jadi uang adalah satuan hitung (unit of account) dalam pertukaran. Islam tidak mengenal motif kebutuhan uang untuk spekulasi karena tidak dibolehkan. Uang adalah barang publik dan milik masyarakat.

Konsep uang dalam ekonomi Islam berbeda dengan konsep uang dalam ekonomi konvensional. Dalam ekonomi Islam, konsep uang adalah uang bukan capital. Uang hanya sebagai alat tukar. Jadi uang merupakan suatu barang yang terus mengalir dalam perekonomian. Sedangkan uang dalam perspektif ekonomi konvensional diartikan secara bolak-balik, yaitu uang sebagai capital yang artinya semakin banyak uang semakin banyak pula keuntungan yang didapatkan.

Karenanya, penimbunan uang yang dibiarkan tidak produktif berarti mengurangi jumlah uang beredar dan merusak harga pasar. Jika uang hilang dari pasar dan tidak sampai ke masyarakat maka pertukaran pun hilang dan roda perekonomian berhenti.

Para ahli ekonomi Islam mengakui manfaat uang sebagai media pertukaran. Nabi Muhammad SAW sendiri lebih menyukai penggunaan uang dibandingkan menukarkan barang dengan barang langkah menuju transisi ke suatu perekonomian uang dan juga suatu upaya yang diarahkan untuk membuat transaksi barter bersifat rasional dan bebas dari elemen ketidakadilan adalah dilarangnya riba Al-fadl.

Makna Kanzul Maal

Dalam Bahasa Arab kanzu adalah isim mashdar dari kalimat kanaza-yaknizu-kanz[an]. Al-Kanzu secara bahasa artinya harta yang dipendam. (Imam Ar-Razi, Kitab Mukhtar ash-Shihah, I/124).
Kanzul maal berarti Harta yang dikumpulkan itu untuk ditimbun, yaitu dikumpulkan dan disimpan.

Hukum Kanzul Maal

Menimbun emas dan perak hukumnya adalah *Haram*  dengan pernyataan gamblang di dalam Al-Quran. Allah SWT berfirman:

وَٱلَّذِينَ يَكۡنِزُونَ ٱلذَّهَبَ وَٱلۡفِضَّةَ وَلَا يُنفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ ٱللَّهِ فَبَشِّرۡهُم بِعَذَابٍ أَلِيمٖ  ٣٤

Artinya : "Orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkan kedduanya di jalan Allah, maka beritahulah mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih." (QS. At-taubah : 34).

Ancaman dengan siksaan pedih terhadap orang-orang yang menyimpan emas dan perak ini merupakan dalil yang jelas bahwa Asy-syari’ menuntut dengan tuntutan yang tegas agar aktivitas menyimpan emas dan perak itu ditinggalkan. Dengan demikian menyimpan emas dan perak itu haram.

Bahaya Kanzul Maal

Ketika uang ditimbun tanpa aktivitas ekonomi yang produktif akan menimbulkan masalah ekonomi masyarakat diantaranya:

1. Tingkat pemasukan keuangan akan menurun dan daya beli masyarakat lemah.

2. Pengangguran akan meningkat sehingga berimplikasi buruk terhadap meningkatnya kemiskinan masyarakat.

3. Uang hanya beredar pada sekelompok kecil masyarakat. Sementara masyarakat luas yang dominan pelaku roda ekonomi tidak memilikinya.

*Syaikh Atha bin Khalil Abu ar-Rasytah Hafidzhallahu menjelaskan kriteria kanzul maal :*

1. Menimbun harta adalah mengumpulkan harta tanpa keperluan. Jika di situ ada keperluan yang disyariatkan seperti Anda mengumpulkan harta untuk membangun rumah, membeli tanah, membangun pabrik, menikah, dsb atau Anda punya anak-anak sehingga Anda mengumpulkan untuk mereka angsuran mereka untuk menyekolahkan mereka di sekolah tertentu atau untuk membeli mobil atau semacam itu.

Maka hal ini adalah mengumpulkan harta untuk keperluan dan bukan menimbun. Ini adalah pengumpulan harta yang halal. Dizakati jika nishab-nya telah berlalu satu haul. Adapun mengumpulkan uang untuk perkara yang mustahil maka itu adalah menimbun. Ini tidak boleh. Misalnya, mengumpulkan harta untuk jaga-jaga jika terjadi gempa sehingga rumahnya hancur, lalu dia nanti ingin membangun kembali rumahnya ketika itu terjadi.

2. Mengumpulkan nafkah (belanja) untuk diri sendiri dan untuk orang yang menjadi tanggungannya yang cukup untuk satu tahun adalah perkara yang boleh dan bukan merupakan penimbunan. Sebab Rasul SAW memberi para Ummul Mukminin nafkah untuk satu tahun. Umar ra. bertutur:

كَانَتْ أَمْوَالُ بَنِي النَّضِيرِ مِمَّا أَفَاءَ اللهُ عَلَى رَسُولِهِ، مِمَّا لَم يُوجِفْ عَلَيْهِ الْمُسْلِمُونَ بِخَيْلٍ وَلَا رِكَابٍ، فَكَانَتْ لِلنَّبِيِّ صَلَّ الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَاصَّةً، فَكَانَ يُنْفِقُ عَلَى أَهْلِهِ نَفَقَةَ سَنَةٍ، وَمَا بَقِيَ يَجْعَلُهُ فِي الْكُرَاعِ وَالسِّلَاحِ، عُدَّةً فِي سَبِيلِ اللهِ

Artinya : "Dulu harta Bani Nadhir termasuk apa yang diberikan oleh Allah kepada Rasul-Nya; termasuk harta yang tidak diperoleh oleh kaum Muslim dengan kuda atau pasukan. Dengan demikian itu adalah untuk Nabi saw. secara khusus. Beliau membelanjakan harta itu kepada keluarga beliau sebagai nafkah satu tahun. Yang tersisa beliau jadikan untuk membeli kuda dan senjata sebagai persiapan jihad fi sabilillah." (HR Muslim).

Imam An-Nawawi rahimahullahu menjelaskan hadis ini di dalam Syarh Shahih Muslim: “Ucapan Umar, Beliau membelanjakan kepada keluarga beliau sebagai nafkah satu tahun,’ yakni beliau sisihkan untuk mereka nafkah satu tahun, tetapi akhirnya sebelum habis satu tahun beliau belanjakan dalam berbagai kebaikan sehingga tidak sampai genap satu tahun.

Oleh karena itu, mengumpulkan harta untuk nafkah selama satu tahun bukan merupakan penimbunan (kanzul mal). Nishab-nya dizakati jika telah berlalu satu haul.

3. Seorang wanita yang bekerja, seandainya dia mengumpulkan harta untuk membantu pernikahannya, ini pun bukanlah menimbun harta (kanzul mal). Demikian juga ketika wanita itu memiliki anak-anak. Dia boleh mengumpulkan harta untuk anak-anaknya itu, angsuran sekolah mereka atau kebutuhan mereka. Semua itu bukanlah penimbunan (kanzul mal). Nishab-nya harus dizakati jika telah berlalu atasnya satu haul.

4. Demikian juga, seorang laki-laki boleh mengumpulkan harta untuk menikah, dan itu bukanlah penimbunan (kanzul mal). Demikian juga ketika dia memiliki anak-anak. Dia boleh mengumpulkan untuk mereka cicilan sekolah mereka atau kebutuhan mereka. Semua itu bukan merupakan penimbunan. Namun demikian, harus dizakati nishab-nya jika telah berlalu atasnya satu haul.

5. Adapun mengumpulkan harta untuk jaga-jaga menghadapi bencana yang kemungkinan terjadinya jauh, dengan anggapan bahwa jika suatu ketika terjadi bencana yang akan memporakporandakan rumah, menghancurkan harta benda dan dia ingin mengumpulkan harta sebagai jaga-jaga untuk kondisi-kondisi yang tidak biasa itu, maka ini tidak boleh.

*Penutup*

Solusi yang menjadi pandangan saya untuk orang yang Allah beri karunia dengan harta yang banyak melebihi nafkah mereka satu tahun dan nafkah orang-orang yang menjadi tanggungannya dan dia tidak memiliki keperluan yang ingin dibiayai maka hendaknya pemilik harta itu hendaknya menginvestasikan hartanya dalam proyek yang halal baik industri, perdagangan, pertanian, perternakan atau dia sedekahkan.

Bisa juga dia menanggung anak-anak yatim dan dia belanjakan di pintu-pintu kebaikan yang benar. Janganlah dia pertahankan harta itu sebagian dengan sebagian lainnya, tidak dia belanjakan. Ketika itu maka berlaku atasnya hukum penimbunan harta (kanzul maal) yakni menyimpannya tanpa ada keperluan yang ingin dibiayai dan itu adalah haram.

Wallahu a'lam