RUU P-KS Merusak Tatanan Keluarga dan Bangsa


Oleh : Dina Muhibbah (Aktivis Muslimah Medan)

Kasus kekerasan seksual memang tak pernah bisa tuntas untuk diselesaikan, solusi yang diberikan pun sebenarnya tak pernah bisa untuk menuntaskan masalah yang menimpa perempuan ini. Data dari Komnas Perempuan tercatat sejak 2014 Indonesia dinyatakan darurat kekerasan seksual. Angka kekerasan seksual yang terus meningkat setiap tahunnya tercatat pada tahun 2017 ada 348.446 kasus kekerasan seksual yang dilaporkan dan ditangani. Angka ini meningkat dari tahun sebelumnya yang berjumlah 259.150 kasus (Tempo.com 7/2/2019) 
Kasus kekerasan seksual yang memprihatinkan ini akhirnya ditempuh dengan solusi dibuatnya RUU P-KS (Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual) namun apakah ini justru memberikan solusi yang solutif bagi tindak kekerasan seksual ? 
Mengutip dari situs resmi DPR, beberapa isi pokok dari RUU P-KS ini terdiri dari: Pertama, definisi kekerasan seksual yang diatur secara jelas dalam pasal 1 RUU P-KS. Kedua, mengenai tujuan penghapusan kekerasan seksual yaitu untuk mencegah segala bentuk kekerasan seksual; menangani, melindungi dan memulihkan korban; menindak pelaku; dan menjamin terlaksananya kewajiban negara dan peran dan tanggung jawab keluarga, masyarakat dan korporasi dalam mewujudkan lingkungan bebas kekerasan seksual. Ketiga, cakupan tindak pidana kekerasan seksual. Kekerasan seksual disini termasuk tindak (a)pelecehan seksual, (b)eksploitasi seksual, (c)pemaksaan kontrasepsi, (d)pemaksaan aborsi, (e)pemerkosaan, (f)pemaksaan perkawinan, (g)pemaksaan pelacuran, (h)perbudakan seksual dan (i)penyiksaan seksual. Tindakan kekerasan seksual termasuk yang terjadi dalam lingkup relasi personal, rumah tangga, relasi kerja, publik, termasuk yang terjadi di dalam situasi konfli, bencana alam dan situasi khusus lainnya. Ketentuan mengenai hak korban, keluarga korban, dan saksi kekerasan seksual juga dijelaskan secara gamblang pada pasal 21 hingga 39. 
Seperti yang dinyatakan di dalam beberapa isi pokok RUU PKS diatas sangat jauh dari nilai dan norma agama. Muatan Western yakni liberalisme (kebebasan) nampak dalam definisi kekerasan seksual yang digunakan terfokus pada klausul “secara paksa” yang terdapat pada cakupan nomor 3, bila bertentangan dengan kehendak seseorang, yang menyebabkan seseorang itu tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas”. Memberi kesan bahwa sebuah perbuatan seksual yang dilakukan tanpa paksaan, dikehendaki oleh satu sama lain -sekalipun relasinya tidak setara - dan orang secara bebas memberikan persetujuannya, tidak akan dikategorikan sebagai perbuatan yang patut disanksi. 
Dalam pasal 7 ayat (2) RUU P-KS dinyatakan bahwa kontrol seksual sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) meliputi pemaksaan menggunakan atau tidak menggunakan busana tertentu. Maka orang tua tidak boleh mendisiplinkan anaknya berhijab untuk menutup aurat. Sebab itu dianggap kontrol seksual dalam hal busana.
Begitu juga pada frasa pasal 5 ayat (2) huruf B yang dapat diartikan mendorong setiap orang untuk bebas memilih aktivitas seksual tanpa ada kontrol dari pihak lain. Bahkan, pihak yang melakukan kontrol seksual justru bisa dipidanakan.
Muatan yang mengedepankan kebebasan seksual di pasal 7 ayat (1). Ada hak mengambil keputusan yang terbaik atas diri, tubuh, dan seksualitas seseorang agar melakukan atau berbuat atau tidak berbuat artinya, kebebasan seksual harus dilindungi. Termasuk ketika memilih seks bebas, kumpul kebo, zina, dan seks menyimpang semisal LGBT.  
Arah rancangan RUU P-KS juga mengarahkan para perilaku liberalisme persis dengan para pendukung untuk disahkannya RUU P-KS ini. Menjadikan pertimbangan dalam berbuat tak lagi pada halal dan haram melainkan pada apa yang disukai dan tidak disukai.
Terkait RUU P-KS ini sangat dikritisi keras oleh berbagai pihak seperti Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan banyak kalangan masyarakat, termasuk Maimon Herawati yang pernah membuat petisi terkait iklan 'blackpink' yang mengundang syahwat. Maimon berkomentar terkait pemaksaan hubungan seksual ini sangat jelas bertentangan dengan agama.  
Tak bisa diungkapkan betapa buruknya RUU P-KS ini. Zina yang dilakukan secara sukerela dianggap sah-sah saja di mata hukum sekalipun mencampakkan nilai sosial, budaya masyarakat serta norma agama-apalagi agama Islam. 
RUU ini juga secara tidak langsung akan melanggengkan perzinahan dan aborsi, yang berujung pada pembuangan bayi. Dari kasus pembuangan bayi mulai mengalami peningkatan sejak Januari 2018 terdapat 54 pembuangan bayi yang dibuang ke jalanan dan pelaku umumnya adalah wanita berusia 15 hingga 21 tahun. Angka ini 100 persen lebih dibandingkan dengan tahun 2017. Bayangkan belum disahkan saja angka pembuangan bayi mencapai lebih dari 100 persen bagaimana kalau sudah disahkan !!!. Na'udzubillahi mindzalik, bila pembuangan bayi saja sudah mengalami peningkatan jangan heran bila nantinya tingkat aborsi justru menjadi hal yang biasa dilakukan, sebab perbuatan tersebut jelas sudah mendapat payung hukum. 
Tak hanya itu RUU P-KS ini juga berpotensi mengancam rusaknya tatanan keluarga, seperti apa yang dilansir oleh Walikota Padang Mahyeldi Anshurullah. “Saya walikota pertama di Indonesia yang menolak draft RUU P-KS. Sepertinya sengaja dirancang untuk melindungi kalangan LGBT. Ini seperti lampu hijau melegalkan perbuatan zina. Ini bisa merusak tatanan keluarga dan hidup berumah tangga”, kata Mahyeldi, Selasa (5/4). 
Rusaknya tatanan keluarga dan hidup berumah tangga jelas akan dirasakan bila RUU P-KS ini disahkan, mengapa demikian. RUU P-KS dengan anggapan bahwa, “dikatakan kekerasan seksual bila dilakukan secara terpaksa atau ada pihak yang dirugikan namun bila tidak maka zina dianggap sah-sah saja”. Terlebih lagi bila ada yang melaporkan maka sanksi bagi pelapor justru akan diberlakukan. 
Bayangkan saja bila RUU P-KS ini dilegalkan maka baik istri maupun suami akan bebas selingkuh dan berhubungan intim dengan wanita lain yang dianggap sah dimata hukum namun bila istri atau suami melapor maka ia yang lantas akan dikenai hukum. Padahal perselingkuhan justru dapat memicu masalah cabang yaitu pembunuhan. Menilik kasus pada bulan Desember 2018 lalu terdapat pria asal Sukabumi, Bandar Lampung tega membunuh istrinya dengan racun karbon monoksida karena telah selingkuh. 
Bila sudah perselingkuhan mencederai kehidupan berumah tangga maka hilanglah sudah keharmonisan dalam keluarga yang akhirnya berdampak pada kurangnya pendidikan moral dan pendidikan ber-edukasi yang seharusnya dapat diberikan orang tua kepada anak sebagai pendidikan pertama anak. Hilanglah sudah peran suami dalam mendidik istri, serta peran istri sebagai pengurus rumah tangga termasuk mendidik anak. Maka masalah struktural bobroknya generasi adalah akibat dari rusaknya moral seorang ibu. RUU ini membuat ibu justru tak bisa berbuat apa-apa kesulitan dalam mendidik anak agar berkepribadian islam dimulai dengan menggunakan hijab terasa akan sulit, sebab bila anak mulai merasa terancam dengan paksaan orang tuanya tersebut maka anak bisa langsung melaporkan orang tuanya kepada pihak yang berwenang sesuai dengan pasal 7 ayat 2. Na'udzubillah. Ya RUU ini meniscayakan anak yang durhaka sekaligus melindungi para PSK dan menyenangkan kaum liberalis.  
Bila ketahanan keluarga rusak maka negara juga akan terkena dampaknya. Sebab, keluarga memiliki peran strategis untuk membangun bangsa dan negara menuju arah yang lebih baik. Keharmonisan keluarga sangat menentukan arah kecerdasan dan kepribadian anak. Ibu misalnya memiliki peran strategis dalam mendidik moral dan kecerdasan anak, atau ayah memiliki peran mendidik istri untuk terus memberikan pendidikan terbaik pada anak dan memberikan nafkah lahir dan batin termasuk memberikan segala yang diperlukan baik sarana dan prasarana untuk pendidikan anak. Ingatlah bahwa sejatinya baik buruknya suatu bangsa kedepannya ditentukan dari generasi muda dizaman sekarang. Bila nantinya RUU P-KS ini disahkan maka mustahil melahirkan generasi berkualitas sebagai komponen yang membangun dan mekahirkan generasi berkualitas telah rusak dikarenakan kebijakan dan solusi abal-abal ala demokrasi-sekuler hari ini. 
Maka tak lain tak bukan bahwa solusi tuntas hanya akan diberikan bila islam memegang tampuk kekuasaan. Di dalam islam, keluarga memiliki peran strategis dalam membangun sebuah peradaban yang gemilang. Bila keluarga baik istri maupun suami memahami dengan benar apa perannya dalam keluarga maka terciptalah keharmonisan keluarga dibawah nilai-nilai Islam. Yang berujung pada terlahirnya generasi berkualitas dan berkepribadian Islam yang mampu menjadi generasi emas demi menyongsong peradaban gemilang. Wallahua'lambishawab.