PERGURUAN TINGGI "TERLARANG" BAGI ORANG MISKIN



Oleh:  Ika Maulida (Mahasiswa Unimed)

Saat ini sedang berlangsung pendaftaran UTBK  untuk Gelombang Pertama pada 1 Maret hingga 24 Maret 2019. Berikutnya, pendaftaran Gelombang Kedua UTBK pada 25 Maret hingga 1 April 2019.

Saat meninjau simulasi Ujian Tulis Berbasis Komputer (UTBK) di lokasi tes Kampus Universitas Diponegoro (Undip) di Semarang, Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Mohamad Nasir meminta Lembaga Tes Masuk Perguruan Tinggi (LTMPT) dan panitia UTBK lokal untuk menginstall aplikasi UTBK dan mengunduh seluruh soal sebelum Tes Gelombang Pertama UTBK dilakukan. Hal ini untuk mengantisipasi koneksi internet yang terlalu padat apabila semua lokasi tes mengunduh soal menjelang atau pada saat tanggal tes.
Nasir menyampaikan semua peserta UTBK yang mendaftar akan mendapatkan kursi di lokasi ujian yang mereka masing-masing pilih. Pemerintah menjamin semua pemuda memiliki kesempatan yang sama dalam masuk ke perguruan tinggi negeri (ristekdikti.go.id)

Namun dikutip dari laman medcom.id, Riset yang dilakukan Haruka Evolusi Digital Utama (HarukaEDU) di 2018 menyebutkan, 79% lulusan SMA/SMK yang sudah bekerja tertarik untuk melanjutkan kuliah lagi.  Namun 66% responden di antaranya urung kuliah karena mengaku terkendala biaya. Salah satu kendala yang banyak ditemui oleh para lulusan SMA dan SMK untuk langsung melanjutkan ke perguruan tinggi di antaranya adalah persoalan biaya.  Bahkan persoalan biaya juga masih membayangi para lulusan SMA/SMK tersebut, meskipun mereka telah bekerja dan memiliki penghasilan.  

Padahal pendidikan adalah suatu bentuk hak asasi yang harus dipenuhi oleh negara secara merata, sehingga semua masyarakat dalam suatu bangsa tersebut dapat menikmatinya. Bukannya hanya ditujukan untuk orang yang mampu membayarnya. Bantuan pendidikan dari pemerintah seperti Bidikmisi ternyata tidak  diberikan secara merata, masih banyak masyarakat kurang mampu dan memiliki potensi belum bisa merasakan program ini.

Salah satu penyebab mahalnya biaya pendidikan yaitu adanya RUU tentang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP). Berubahnya status pendidikan dari milik publik ke bentuk Badan Hukum jelas memiliki konsekuensi ekonomis dan politis amat besar. Dengan perubahan status itu Pemerintah secara mudah dapat melemparkan tanggung jawabnya atas pendidikan warganya kepada pemilik badan hukum yang sosoknya tidak jelas. Perguruan Tinggi Negeri pun berubah menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Pembiayaan sejumlah PTN yang berformat BHMN (Badan Hukum Milik Negara), tak lagi sepenuhnya ditanggung negara. Maka perguruan tinggi BHMN pun harus mencari biaya sendiri. Pembiayaan pendidikan lalu dibebankan kepada mahasiswa.

Mahalnya biaya pendidikan itu buah dari kebijakan pemerintah yang mengadopsi ideologi negara barat khususnya AS, yakni neoliberalisme. Wajah pendidikan yang dulunya bersifat sosial pun berubah menjadi profit oriented. Bahkan visi mulia lembaga pendidikan pun mulai digeser untuk sekedar memetik keuntungan. Profitisasi pendidikan ini tentu saja tidak lepas dari peran para pemilik modal yang ingin menguatkan hegemoni sistem kapitalisme itu sendiri.

Dalam Islam, hubungan Pemerintah dengan rakyat adalah hubungan pengurusan dan tanggung jawab. Negara (Khalifah) bertanggung jawab penuh dalam memelihara urusan rakyatnya. Sebagai bagian dari ri’ayah itu maka pendidikan harus diatur sepenuhnya oleh negara berdasarkan akidah Islam. Seluruh pembiayaan pendidikan, baik menyangkut gaji para guru/dosen, maupun menyangkut infrastruktur serta sarana dan prasarana pendidikan, sepenuhnya menjadi kewajiban negara.

Islam menentukan penyediaan pendidikan bermutu untuk semua rakyat sebagai kebutuhan dasar masyarakat yang wajib disediakan oleh Negara secara gratis. Pelayanan pendidikan harus steril dari unsur komersial. Artinya Negara berkebijakan setiap individu masyarakat dijamin aksesnya oleh Negara terhadap pelayanan pendidikan gratis berkualitas, tanpa membayar sepeserpun.  Hal ini karena Islam telah menjadikan menuntut ilmu sebagai kewajiban setiap muslim, dan menjadikan pelayanan pendidikan sebagai kebutuhan pokok publik yang dijamin langsung pemenuhannya oleh Negara.

Sejarah Islam pun telah mencatat kebijakan para Khalifah yang menyediakan pendidikan gratis bagi rakyatnya. Sejak abad IV H para Khalifah membangun berbagai perguruan tinggi dan berusaha melengkapinya dengan berbagai sarana dan prasarananya. Pada zaman Khalifah Hakam bin Abdurrahman an-Nashir telah didirikan Universitas Cordova yang mampu menampung ribuan mahasiswa muslim dan non-muslim secara gratis. Pada masa Dinasti Utsmaniyyah, Khalifah Muhammad II juga menyediakan pendidikan secara gratis di Istanbul. Ia bahkan membangun sekolah-sekolah beserta asrama siswa yang lengkap dengan kamar tidur dan ruang makan. Dan sejarah telah mencatat para ilmuwan-ilmuwan besar muslim seperti Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, Khawarizmi, dan lain-lain ternyata terlahir dari universitas-universitas tersebut.

Sistem pendidikan formal yang diselenggarakan Negara Khilafah memperoleh sumber pembiayaan sepenuhnya dari negara (Baitul Mal). Terdapat 2 (dua) sumber pendapatan Baitul Mal yang dapat digunakan membiayai pendidikan, yaitu : (1) pos fai` dan kharaj –yang merupakan kepemilikan negara– seperti ghanimah, khumus (seperlima harta rampasan perang), jizyah, dan dharibah (pajak); (2) pos kepemilikan umum, seperti tambang minyak dan gas, hutan, laut, dan hima (milik umum yang penggunaannya telah dikhususkan). Sedangkan pendapatan dari pos zakat, tidak dapat digunakan untuk pembiayaan pendidikan, karena zakat mempunyai peruntukannya sendiri, yaitu delapan golongan mustahik zakat.

Biaya pendidikan dari Baitul Mal itu secara garis besar dibelanjakan untuk 2 (dua) kepentingan. Pertama, untuk membayar gaji segala pihak yang terkait dengan pelayanan pendidikan, seperti guru, dosen, karyawan, dan lain-lain. Kedua, untuk membiayai segala macam sarana dan prasana pendidikan, seperti bangunan sekolah, asrama, perpustakaan, buku-buku pegangan, dan sebagainya.
Hegemoni kebijakan kapitalis dalam bidang pendidikan saat ini memang semakin menguat. Peran pemerintah pun semakin diminimalisasi; dan Negara hanya mengambil fungsi sebagai regulator.
Padahal Negaralah yang seharusnya bertanggungjawab untuk mencerdaskan anak bangsanya. Dan menyediakan pendidikan gratis dan berkualitas untuk semua elemen masyarakat. Dan tentu saja itu semua hanya akan terwujud jika Negara mampu memaksimalkan potensi alam di negeri ini berupa migas maupun non-migas secara baik dan tidak menyerahkan pengelolaannya kepada swasta maupun asing.

Dan selama negeri ini masih mengadopsi sistem politik dan ekonomi kapitalisme, rasanya tidak mungkin semua itu akan terwujud. Kecuali jika kita mau kembali untuk melaksanakan syariah Islam secara totalitas. Hanya dengan penerapan syariah dalam bingkai Khilafah Rasyidah saja, pendidikan gratis dan bermutu bisa dirasakan oleh seluruh rakyat tanpa kecuali baik kaya atau miskin, muslim atau non muslim.Wallahu a’lam.