Mimpi Semu PUG Implementasikan Kesejahteraan




Nazli Agustina Nst, S.PdI/Aktivis Pendidikan

Perspektif  kesetaraan gender masih menjadi tema utama integralisasi proses pembangunan di Sumatera Utara. Lagi-lagi, dalam mengukur tingkat kemajuan pemberdayaan perempuan adalah dengan menempatkan mayoritas perempuan duduk di ranah publik dalam bidang politik dan pemerintahan. Sebut saja, Kadis Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Pemrov Sumut, Wakil Ketua DPD RI, maupun sekretaris daerah Sumut adalah kaum perempuan. Hal ini disinyalir menjadi sebuah keberhasilan dan kebanggaan kaum perempuan Sumut yang diharapkan akan memberikan kontribusi yang besar dalam proses kemajuan pembangunan di Sumatera Utara. Namun, apakah memang benar demikian adanya? 
Perspektif Kesetaraan Gender Bias 'Problem Solving'
Agaknya pengarusutamaan gender (PUG) sebagai strategi pembangunan dalam mewujudkan komitmen pemerintah untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan sejahtera perlu ditelaah ulang. Sebab persoalannya, mengukur tingkat kesejahteraan masyarakat khususnya kaum perempuan dan anak bukanlah bicara tentang angka-angka diatas kertas, atau perolehan penghargaan demi penghargaan tetapi justru dengan melihat realitas masyarakat tersebut. Artinya, ketika kita berbicara tentang bahwa pemberdayaan perempuan akan berkontribusi terhadap kesejahteraanya, namun pada faktanya  pemberdayaan perempuan justru melahirkan problem-problem baru. Misalnya fakta tingginya angka perceraian di Medan hingga 80 persen, begitu juga kasus kekerasan seksual anak di Sumut mencapai 70 persen, belum lagi kasus gizi buruk yang masih menghantui kota Medan, tercatat ada 82 kasus gizi buruk menurut Kadiskes kota Medan , yang terbaru sekitar 48 anak di Langkat menderita gizi buruk kronis. Maka dapat kita katakan, bahwa problem-problem tersebut belum tersentuh solusi yang signifikan. Atau dengan kata lain, tidak nyambung antara program pemberdayaan perempuan dengan tingkat kesejahteraan perempuan yang dapat berkontribusi terhadap pembangunan daerah.
Sejatinya, yang menyebabkan tidak tuntasnya problem-problem kesejahteraan masyarakat khususnya kaum perempuan adalah akibat diterapkannya sistem Kapitalisme-Liberal. Sebuah sistem atau tata nilai yang tidak mampu memahami akar permasalahan utama kaum perempuan. Perspektif kesetaraan gender adalah buah dari penerapan sistem Kapitalisme-Liberal yang menjadikan pemberdayaan perempuan justru digunakan untuk kepentingan para kapitalis, terutama pemberdayaan ekonomi perempuan yang katanya bisa mendongrak kesejahteraan perempuan dan keluarga, faktanya tingginya angka perceraian di provinsi Sumatera Utara menurut Harmona Daulay, Sosiolog USU, diduga karena telah berubahnya pola pikir kaum perempuan dari sisi kemandirian ekonomi. Harmona mengatakan, kemajuan wawasan dan eksistensi di dunia kerja membuat kaum perempuan lebih independen. Sehingga muncul sikap menggugat cerai suami jika tak bisa lagi memberikan kenyamanan di dalam rumah tangga. Hal ini diperparah dengan semakin terkikis dan bergesernya fungsi-fungsi keluarga dalam masyarakat sehingga semakin langka lah interaksi yang kuat antara suami-istri. Akibat dari semua itu bermunculan lah anak-anak atau generasi yang broken home, yang sangat rapuh dan mudah terpapar kriminalitas. 
 Belum lagi, ketika bicara kesejahteraan perempuan secara ekonomi, belum memberikan dampak signifikan. Perempuan bekerja pada faktanya tetap tidak bisa menutupi kebutuhan keluarga yang semakin hari semakin mahal. Perempuan masih mengeluhkan persoalan kebutuhan rumah tangga walaupun merasa sudah pontang-panting bekerja membantu ekonomi suami. Dampak lainnya, perempuan bekerja telah menyita waktu berharganya untuk mengurus dan mendidik anak-anaknya. Sehingga, mengaitkan program pemberdayaan perempuan dengan mengentaskan problem kesejahteraan perempuan ibarat jauh panggang dari api.
Islam Menuntaskan Problem Kesejahteraan Perempuan
Walhasil, mendudukkan mayoritas perempuan di ranah publik khususnya dalam bidang politik dan pemerintahan sebagai paradigma kesetaraan gender tidak menjadi jaminan bahwa hak-hak kaum perempuan utamanya kesejahteraan akan terpenuhi. Justru hal tersebut akan mencerabut fitrah perempuan sebagai ibu dan pendidik generasi. Kungkungan sistem Kapitalisme liberel telah memberikan ruang kebebasan bagi perempuan untuk eksis diranah publik sebagai korban eksploitasi. 
Berbeda halnya dengan Islam. Ketika yang mengatur  kehidupan kita adalah sistem Islam yang diterapkan oleh negara, maka seluruh elemen masyarakat akan merasakan manfaat dan maslahat dari Islam itu sendiri. Islam sebagai sebuah sistem telah menjelaskan bagaimana fungsi negara dalam menjalankan pengurusan (riayah) nya kepada seluruh rakyat. Baik dalam memenuhi kebutuhan sandang, pangan dan papan individu masyarakat. Begitu juga dalam memenuhi kebutuhan kolektif berupa pendidikan, kesehatan dan keamanan. Di sisi lain, Islam akan menempatkan posisi perempuan sesuai dengan fitrahnya, yaitu sebagai ibu dan pendidik generasi. Tidak akan dibiarkan perempuan berada diranah publik untuk bekerja (dieksploitasi) apalagi hanya untuk eksistensi diri yang justru akan menghilangkan martabat dan kehormatan perempuan.
Sejatinya paradigma keseteraan gender yang disematkan dalam setiap upaya mengintergrasikan kemajuan pembangunan di Sumatera Utara adalah isu menyesatkan yang akan terus menuai kegagalan dalam upaya mengentaskan kemiskinan dan mimpi mencapai kesejahteraan. Justru ketika perempuan kembali kepada kodratnya sebagai ibu dan pendidik generasi, maka akan terlihat kontribusi nyata dari pembangunan ini. Itulah sesungguhnya peran politik perempuan. Sehingga ketika peran politik ini disadari dan di implementasikan oleh kaum perempuan, mereka akan fokus mendidik generasi tanpa harus memikirkan pemenuhan kebutuhan hidupnya karena telah diselenggarakan oleh negara. Sehingga akan lahirlah generasi cemerlang sebagai pelanjut estafet peradaban yang gemilang. Wallahua'lambishawab.