Pengamat: Agenda IMF-World Bank 2018 itu Bentuk Penjajahan, tak Usah Bangga


Jelang penyelenggaraan acara tahunan International Monetary Fund (IMF)–World Bank Annual Meeting 2018 menjadi perbincangan masyarakat dan viral di media sosial. Pemerhati Kebijakan Politik, Pratma Julia Sunjandari saat ditanyai MNews, Rabu (10/10/2018) menyatakan bahwa pemerintah tak harus bangga karena telah memenangkan pertandingan menjadi tuan rumah penyelenggaraan agenda itu.
“Penjajahan sebagai watak Kapitalisme akan selalu mengarahkan negara-negara neokolonial untuk mencari sumber-sumber ekonomi yang mampu dihisap hingga habis. Ditambah lagi, krisis ekonomi telah menjadi cacat bawaan yang dibawa Kapitalisme yang periodisasi serta spektrumnya kian meluas,” ungkap Pratma.
Menurut Pratma, seharusnya Indonesia tidak bangga ketika memenangkan kompetisi sebagai tuan rumah Annual Meeting IMF-World Bank 2018 ini. Karena kekayaan Indonesia belum habis untuk dihisap drakula neoimperialis, apalagi Indonesia masuk dalam prioritas target pertumbuhan kawasan Indo Pacific sebagaimana rancangan AS dalam National Defense Strategy of USA 2018.
Pratma juga menanggapi bila pemerintah mengeluarkan buku ‘State-owned Enterprise Investment Opportunity Book 2018‘, menurutnya hal itu bakal menjadi semacam lapak yang menyodorkan 79 proyek dagangan menggugah selera konsumen.
“Bagaimana tidak jika proyek yang melibatkan 21 BUMN itu menyasar hajat hidup orang banyak seperti energi listrik, gas, manufaktur, telekomunukasi, konstruksi – infrastruktur, hingga pasar modal? Dan ini bukan hal aneh karena tupoksi World Bank itu adalah memobilisasi investasi luar negeri, perdagangan internasional dan fasilitasi investasi modal. Judulnya, momen ini menjadi ajang empuk bagi korporasi global untuk mencengkeram dan membelit Indonesia lebih jauh dengan tentakel-tentakel bisnis yang menggurita di seluruh pelosok Indonesia,” tukas Pratma.
Pratma lalu melanjutkan, “Dengan semakin masifnya Penanaman Modal Asing (PMA) justru pemerintah kian menjerumuskan dirinya dalam defisit transaksi, karena selain kebijakan suku bunga The Fed, defisit yang paling parah karena impor pangan dan transaksi terkait infrastruktur. PMA besar, bukankah utang makin besar? Sungguh logika absurd jika menyelesaikan defisit dengan malah undang investasi asing.”
Terkait klaim keuntungan atas perhelatan ini, Pratma menegaskan, hal itu semakin absurd dengan klaim yang menyatakan pemerintah akan dapat untung dari belanja 18.000 orang yang hadir sehingga ongkos Rp 855 M akan ditutup dengan income Rp 943,5 M. “Jadi ini bangsa EO atau negara yang bekerja untuk rakyat? Kalau bangsa yang andalkan bisnis MICE (Meeting Incentive Conference Exhibitions), wajar jika mereka tak akan peduli dengan mudharat besar yang menimpa bangsa ini. Karena pariwisata bukan hanya sekadar menjual kekayaan alam anugerah Allah, tapi juga pertaruhan akan kerugian ekonomi dan sosial budaya.”[]Muslmahnews