Yatim Piatu Sejak Dini


 Oleh: siti hasnah
 (aktivis peduli keluarga dan generasi)

Bukan, kali ini saya bukan ingin menceritakan kisah pilu seseorang yang yatim piatu sejak dini, namun ini tentang keprihatinan saya sebagai orang tua terhadap keadaan anak-anak hari. Dimana keluarga hanya sekedar tempat untuk numpang lahir dan numpang besar. Idealnya sebuah rumah tangga harusnya ada ayah,ibu dan anak yang masing-masing komponen miliki peran, hak dan tanggungjawabnya masing-masing. Sebagaimana ibu bertugas menjadi ibu dan pengatur rumah tangga ( ummun warobbatul bait). Begitu juga dengan ayah, ada peran sebagai kepala keluarga yang bertugas membina dan mendidik anggota keluarga serta memberikan nafkah bagi istri dan anak. Keutuhan sebuah rumah tangga sangat dipengaruhi oleh baiknya kepemimpinan seorang suami (sebagai kepala keluarga) dalam membina keluarganya. Suami-istri sebagai tokoh UTAMA dalam sebuah rumah tangga, bila mengalami kerusakan maka bangunan rumah tangga pun akan runtuh.

 Disebabkan hubungan ini seharusnya sangat  dijaga dengan memperhatikan HAK & KEWAJIBAN masing-masing. Bagi suami isteri harus saling menunaikan kewajibannya setelah itu baru boleh mendapatkan apa yang menjadi haknya. Allah berfirman dalam Al-Quran, Surah An Nisa : 34 : “Kaum lelaki adalah pemimpin bagi kaum wanita, Allah telah melebihkan sebahagian mereka (lelaki atas sebahagian yang lain (wanita) & mereka (lelaki) telah menafkahkan sebahagian dari harta mereka. Sebab itu, maka wanita yg sholehah, ialah wanita yang taat Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena  Allah telah memelihara (mereka). Wanita- wanita yg kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasihatilah mereka & pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka & pukullah mereka. Kemudian jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari–cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar” Setidaknya dalam rumah tangga memiliki beberapa fungsi keluarga yang  diantaranya adalah fungsi reproduksi, edukasi dan rekreasi. Fungsi reproduksi maknanya, keluarga melalui pernikahan memiliki tujuan untuk melestarikan keturunan.

Fungsi edukasi, keluarga sebagai tempat pembelajaran. Sedangkan fungsi rekreatif, keluarga merupakan pusat rekreasi untuk anggota keluarganya. Rumah sebagai sumber kebahagiaan. Nah, sayangnya hari ini fungsi reproduksi, edukasi dan rekreasi serentak tidak berjalan. Mengapa demikian? Bayangkan saja, hari ini  ketika bertambah anggota keluarga bukan menambah kebahagiaan tapi menambah permasalahan dan tingkat stress. Karena memang semakin banyak anggota dalam sebuah keluarga maka pengeluaran akan semakin banyak, beban hidup yang berat terkait pemenuhan kebutuhan nafkah  ini akan memaksa para ayah untuk berjuang lebih keras untuk memenuhi kebutuhan. Sehingga yang terjadi adalah ayah meninggalkan fungsi sebagai pendidik keluarga.

 Sering kita lihat seorang ayah yang mengambil pekerjaan lembur, agar bisa memberikan pemasukan tambahan untuk keluarga, padahal seharusnya waktu lembur itu bisa digunakan untuk bersama anak dan istri. Namun, apa boleh buat, di zaman kapitalis saat ini jika kita sakit, maka biaya kesehatan ditanggung oleh individu, jika kita mau pintar, maka biaya pendidikan ditanggung juga oleh individu, negara benar-benar lepas tangan terhadap kepengurusan rakyatnya. Maka anak-anak benar-benar terpisah dari ayahnya, ayah hanya layaknya mesin ATM berjalan. Hanya tempat untuk meminta uang, fisiknya ada namun perannya ditiadakan. Padahal seorang anak perempuan membutuhkan perlindungan dari ayahnya. Dan anak laki-laki, membutuhkan teladan kepemimpinan dan tanggungjawab dari ayahnya. Coba kita bayangkan apa jadinya anak yang tumbuh tanpa peran ayah, tanpa kasihnya, tanpa pendidikannya, dan tanpa perlindungannya.

Memang ini semua bukan semata-mata salah ayah karena seorang ayah pun bahunya telah bengkok menanggung beban yang seharusnya menjadi tanggung jawab Negara. Sedang ibu, perannya sebagai ibu bagi anak-anak dan pengatur rumah tangga kini pun kian terancam. Minimnya penghasilan suami membuat ibu harus mengerjakan sendiri aktivitas domestik di rumah, seperti memasak, mencuci, membersihkan rumah hingga mengurus anak pun sendiri. Maka adalah wajar ibu merasa kelelahan akan aktivitas tersebut hingga tidak sempat lagi untuk memberikan pendidikan dan pengajaran yang baik untuk anak-anak. Yang semua beban ini meningkatkan emosi seorang ibu, maka ketika anak bermasalah selalu diselesaikan dengan kemarahan demi kemarahan. Belum lagi ketika penghasilan suami tidak mencukupi maka isteri pun terpaksa ikut membantu, maka yang terjadi adalah pengasuhan yang menjadi kewajiban ibu justru diwakilkan kepada orang lain. sedang bekerja yang merupakan kemubahan menjadi suatu yang diprioritaskan.

 Terbalik sudah semua tersebab sistem memang menjungkirbalikkan peran ayah dan ibu dalam keluarga. Saat ini ide feminisme begitu gencar menyerang perempuan dan kaum ibu, status perempuan sebagai ibu dan pengatur rumah tangga dianggap bukan posisi mulia atau bergengsi, bahkan dianggap sebuah pengekangan, kemunduran dan kebodohan. Kaum ibu beramai-ramai meninggalkan rumahnya dan anaknya, hanya demi karir. Ia lebih senang bersama dengan teman arisanya daripada membersamai anaknya. Lebih takut jika terlewat episode sinetron kesayangannya daripada terlewat menyaksikan tumbuh kembang buah hatinya. Maka sekarang banyak ibu pintar dalam karir tapi tak pintar mengurus anak. Negara adalah penyumbang kerusakan terbesar dalam keluarga dan generasi. Mencerai beraikan keluarga, jadilah anak tumbuh tanpa didikan ibu dan ayah, anak seolah yatim-piatu walau sebenarnya memiliki orang tua. Sehingga runtuhlah bangunan rumah tangga. Maka memang dibutuhkan kesadaran oleh ayah dan ibu akan peran dan tanggungjawab mereka sebagai orang tua. Kemudian dibutuhkan sebuah sistem yang mampu mendukung untuk terwujudnya keluarga/rumah tangga yang sakinah mawadah warahmah dimana seluruh yang didalamnya merasakan cinta,ketenangan dan kesejahteraan. Dan Islam adalah solusi paling tepat untuk mewujudkan hal tersebut. Sebab Allah Al-kholiq Al-mudabbir yang paling tau tentang kepengurusan umatnya, dalam hal individu, keluarga dan negara. Di dalam Islam, setiap orang tua diwajibkan mendidik anak-anaknya. Sebagaimana hadits Rasul saw: Dari Abu Hurairah ra, Ia berkata: Rasulullah SAW bersabda : “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan suci, ayah dan ibunyalah yang menjadikan Yahudi, Nasrani, atau Majusi.” (HR. Bukhori dan Muslim) Dari hadits ini, jelas dikatakan bahwa akidah anak itu sangat tergantung pada pendidikan dari orang tuanya.

Maka jika kita menginginkan anak kita menjadi anak yang sholeh/sholehah, tentu anak harus kita didik dengan pondasi akidah islam. Agar orang tua bisa mendidik anaknya, Islam memiliki metode yang jelas.

 1. Islam mewajibkan bagi ayah untuk menafkahi keluarganya. “Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang makruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya.” (QS. Al Baqarah: 233) Khilafah punya kewajiban untuk memastikan setiap kepala keluarga mampu menafkahi keluarganya. Jika ada yang tidak memiliki pekerjaan, maka khilafah akan menyediakan. Jika ada yang ingin membangun usaha tetapi tidak punya modal, maka khilafah akan memberikan pinjaman tanpa riba, dan jika ada yang membutuhkan keterampilan tertentu maka khilafah siap mendidiknya.
2. Jika ayah sudah bekerja namun tidak cukup untuk menafkahi keluarganya. Maka khilafah akan menyantuninya dari harta zakat. Sehingga ayah tidak perlu kerja lembur demi menafkahi keluarga sehingga kehilangan waktu untuk mendidik anak.

3. Wanita tidak diwajibkan bekerja. Sehingga bisa menjadi fulltime mom, demi mendidik dan melahirkan anak-anak sholih/sholihah yang kelak mampu memuliakan islam dan kaum muslimin. Islam memberikan mekanisme terkait siapa yang harus menafkahi dirinya tanpa dia perlu bekerja. Yang pertama suaminya,  jika tidak mampu jatuh pada walinya,  jika tidak mampu maka negara akan menyalurkan harta zakat, jika harta zakat kosong,  maka akan diminta sedekah dari kaum muslimin yang kaya. Maka dalam Khilafah, seorang ibu dijamin kesejahteraannya.  Sehingga jiwanya terjaga dari beban hidup yang berat seperti saat ini. Dengan begitu, para ibu bisa mendidik anak-anaknya dengan tenang. Bisa memenuhi jiwa anak-anaknya dengan kasih sayang.

 Wallahu'alam.