"In Moderation", Islam Zaman Now?


#resolusihijrah
Oleh : Zayna Ghauts Purwodihardjo ( Politisi Muda Sumut )

Kebangkitan masyarakat lahir dari pemikirannya. Kebangkitan yang benar pastilah dihasilkan dari pemikiran yang benar, maka begitu pun sebaliknya, pemikiran yang salah akan menghasilkan kebangkitan yang salah pula. Pemikiran yang benar dibangun berdasarkan akal sehat nan lurus tanpa unsur kepentingan, desakan, maupun alasan fleksibilitas.
Berkaca pada peristiwa-peristiwa penting sepanjang tahun 2017 hingga awal tahun 2018 yang berhasil menyedot perhatian jutaan pasang mata, Indonesia masih disibukkan dengan sandiwara para koruptor diatas kebusukan sistem, juga dilanda krisis multidimensi, berbagai jenis penyakit dan bencana, hingga kerusakan generasi muda buah pendidikan sekuler. Problematika ini akan terus menjadi problem jangka panjang karena belum pernah diselesaikan secara tuntas terlebih melihat kebijakan Pemerintah ala demokrasi yang pragmatis dan sarat kepentingan.
Lalu dimana para Intelektualnya? Disibukkan dengan program pro asing dan aseng. Beberapa pencapaian Pemerintah dan sebagian pemuda dalam hal pembangunan maupun dunia digital kreatif juga tidak terbukti memberi pengaruh yang berarti pada kesejahteraan masyarakat (berdasarkan data BPS tahun 2017 'tingginya angka kemiskinan') alih-alih berharap kebangkitan pemikiran yang shohih. Adapun yang tak kalah menariknya adalah isu kebangsaan dan ormas Islam pengusung ide Khilafah sebagai 'tersangka' utamanya. Sedangkan elit politik semu memanfaatkan agama sebagai alat tunggangnya. Penulis melihat kondisi Indonesia yang paling parah khususnya menanggapi respon terhadap ormas dan rekonstruksi ide ide Islam.
Sebagai tandingannya, disyiarkanlah ajaran Islam moderat dalam kotak toleransi dan pita damai dilengkapi dengan sepucuk dalil di belakang para ulama. "In Moderation" atau "secukupnya" itulah jargonnya. Jika ingin ber-Islam jangan berlebihan, secukupnya saja. Itulah potret "Islam Zaman Now" alias Islam Masa Kini. Pemikiran publik semakin dikacaukan dengan fiksi beda zaman beda aturan, seolah ada kitab baru, seraya melupakan dosa 'investasi'. Muncullah banyak paham keliru akibat gagal fokus pada persoalan umat.
Gerakan-gerakan kebangkitan Islam akhirnya kerap menjadi korban kebijakan salah sasaran. Padahal apa yang diperjuangkan sejauh ini tak ubahnya harapan besar gerakan agama dan ideologi lainnya untuk menegakkan persepsi yang mereka emban. Misi pergerakan Islam adalah misi yang mulia, sebagaimana cita-cita para tokoh yang memperjuangkan Negeri ini keluar dari mimpi buruknya, mengusir para penjajah beserta seluruh makar jahatnya. Terlebih yang senantiasa dijunjung tinggi adalah syariah-Nya.
Bicara syariah, berarti bicara visi politik yang akan melahirkan kemajuan jangka panjang. Aneh sekali, jika para pejuangnya diserang dengan tuduhan "apancasila", "radikal", ataupun "intoleran" dan sejenisnya yang dianggap kontraproduktif (sekalipun tidak pernah ada dasar kuat terhadap tuduhan tersebut). Yang perlu dicurigai justru adalah oknum-oknum yang terus menghalangi upaya perbaikan umat dengan syariah yang mulia ini.
Politik Islam yang agung karena ajaran kaffah-nya kian diburu dengan status "pemecah-belah". Opini digulirkan secara massif ke tengah-tengah umat seolah kekhawatiran terhadap politik Islam itu datang dari masyarakat lalu sengaja membentuk dan memelihara 'mindset' salah kaprah. Jadilah para aktivisnya buronan massa. Cara semacam ini juga dilakukan di berbagai Negeri, terhadap perjuangan politik Islam sebagai satu-satunya rival ideologi berkuasa saat ini. Namun biidznillaah, derasnya arus Islamophobia" juga berbanding lurus dengan derasnya jumlah muallaf, seperti halnya di Eropa.
Satu hal yang harus selalu terpatri dalam diri kita bahwa bumi dan Negeri ini adalah milik Allah subhanahu wata'ala dan senantiasa berada dibawah kekuasaan-Nya. Jika jelas sudah siapa penguasanya, maka jawaban dari pertanyaan "apa yang harusnya berkuasa?" sudah pasti jawabannya adalah syariah-Nya, namun ini hanya mampu dijawab oleh orang-orang mukmin yang bertaqwa. Maka mari mengintrospeksi diri, jika kita benar-benar orang yang berilmu.
Kondisi orang-orang berilmu saat ini sangatlah jauh berbeda dari apa yang sejatinya menjadi peran mereka sebagaimana para pendahulu. Imam Al-Ghazali pernah bertutur, "Dulu tradisi orang-orang berilmu adalah mengoreksi dan menjaga penguasa untuk menerapkan hukum Allah SWT. Mereka mengikhlaskan niat. Pernyataannya pun membekas dihati. Namun, sekarang terdapat penguasa yang zhalim namun orang-orang berilmu hanya diam. Andaikan mereka bicara, pernyataannya berbeda dengan perbuatannya sehingga tidak mencapai keberhasilan. Kerusakan masyarakat itu akibat kerusakan penguasa, dan kerusakan penguasa akibat kerusakan orang-orang berilmu. Adapun kerusakan orang-orang berilmu akibat digenggam cinta harta dan jabatan. Siapapun yang digenggam cinta dunia niscaya tidak akan mampu menguasai kerikilnya, apalagi untuk mengingatkan  para penguasa dan para pembesar".
Lantas bagaimana harusnya sikap kita menghadapi seluruh persoalan Negeri?. Sebagai orang cerdas, kita perlu melihat akar permasalahan. Kerusakan masyarakat itu berakar dari kerusakan pemikiran dan aturannya. Masyarakat harus sadar bahwa mereka terjebak dalam sistem kehidupan yang bathil buatan manusia yang akan hanya menghisap dalam jangka panjang. Tidak pernah ada landasan hukum yang menyatakan bahwa hukum Islam dapat berubah sesuai dengan perubahan zaman, sebagaimana Islam masa kini diharuskan menjadi Islam yang moderat. Kita harus berani melangkah, mengaplikasikan resolusi hijrah untuk Indonesia yang lebih baik.
Sebagian orang mungkin berargumen perbincangan ini hanyalah omong kosong agama dan generasi kini tak perlu menyibukkan diri karenanya. Benar, di zaman milenial ini kita perlu bijak bersosial media agar tak tenggelam dalam perdebatan kurang sehat ala kaum 'nyinyirisme', namun kita tidak dapat menutup mata terhadap setiap kejadian yang menimpa Negeri, karena realitanya, masa depan bangsa bergantung pada kontribusi aktif dalam setiap problematika umat ini, khususnya persoalan aqidah yang menjadi dasar bangunan ideologi sebagai benih unggul sebuah kebangkitan yang benar.
Kita perlu memandang seluruh persoalan Negeri dengan pandangan holistik, tidak mengotak-ngotakkannya, ialah Islam sebagai sebuah ideologi, bukan sentimen agama, karena ia berlaku bagi seluruh umat manusia. Hingga setelah Rasul saw. wafat dan digantikan kepemimpinan negerinya dengan Khalifah satu ke Khalifah berikutnya, tetap dengan konteks konstitusi yang sama yakni Islam, maka siapapun membuktikan bahwa sepanjang sejarahnya, Islam digunakan disegala lini kehidupan dengan jaya sehingga disebut The Golden Age, hidup berdampingan antar umat yang beragam dengan sistem masyarakat yang unggul dan sejahtera tanpa kedzhaliman, sangat mengagumkan dan menjadi mercusuar yang mempengaruhi dunia modern.
Islam moderat hanyalah senjata beracun sebagai upaya mematikan gerakan kebangkitan Islam kaffah dan jelas sangat berbahaya bagi umat. Isu ini sudah berulang kali dibahas dalam forum-forum diskusi tokoh, namun tampaknya berulang kali pula umat dibuat gagal paham seolah Negeri ini dirundung masalah karena intervensi agama dalam politik Negara. Padahal Politik adalah bagian yang terintegrasi dalam sistem hidup Islam, dan karena pengabaian terhadapnya lah yang justru menjadi akar setiap persoalan Negeri. Allah subhanahu wata'ala memerintahkan kita untuk mengambil Islam secara kaffah, tidak setengah-setengah atau secukupnya saja.
Solusinya adalah mengembalikan Islam pada tatanan kehidupan secara paripurna. Seruan itu jelas pada seluruh manusia yang sempurna akalnya. Sehingga mereka tidak lantas berhenti mencari tahu kebenaran hanya karena mereka tidak sanggup menahan tekanan duniawi. Sudah saatnya umat Islam masa kini berpikir dan bertindak cerdas demi menyongsong kebangkitan hakiki, bangga bicara syariah kaffah dan tidak takut bicara Khilafah karena ialah kharisma kemuliaan. "Hai kaum kami, terimalah (seruan) orang yang menyeru kepada Allah dan berimanlah kepada-Nya, niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosa kamu dan melepaskan kamu dari azab yang pedih.” (TQS. Al-Ahqaaf : 31). Wallahua'lambishawab.