MUSIBAH DEMOKRASI


Oleh: Arief B. Iskandar

Pesta demokrasi. Begitu orang menjuluki Pemilu/Pilkada, yang kembali bakal digelar tahun ini. Meski mulai banyak yang tak lagi antusias, hajatan lima tahunan di negeri ini masih diminati oleh sebagian masyarakat.

Pesta yang di-organized oleh KPU sebagai wakil Pemerintah, sebagaimana biasa, diikuti oleh sejumlah pasangan calon (paslon), yang ingin berebut duduk di kursi kepala daerah, baik propinsi ataupun kabupaten/kota.

Layaknya pesta, Pemilu haruslah meriah. Agar meriah, anggaran pun harus wah. Karena itu uang puluhan triliun pun digelontorkan, bukan hanya oleh Pemerintah, tetapi juga oleh pribadi para paslon atau para cukong. Untuk sekadar jadi paslon—belum pasti jadi terpilih—setiap orang bisa merogoh sakunya puluhan hingga ratusan miliaran rupiah; tentu tidak harus dari kantongnya, bisa dari para cukong yang mendukung dirinya. Dukungan para cukong tidaklah gratis. Ia hanyalah semacam ‘utang’ yang harus dibayarkan kembali oleh para paslon—setelah mereka berhasil duduk jadi kepala daerah—dalam bentuk ragam kompensasi seperti proyek, kebijakan yang berpihak kepada mereka, dll.

Pemilu/Pilkada tentu tak sekadar pesta, tetapi juga permainan. Siapa yang bermain? Tentu partai peserta Pemilu/Pilkada dan para partai pendukung. Bagaimana dengan rakyat? Mereka memang yang paling banyak dilibatkan, tetapi sekadar ‘meramaikan’ pesta, bukan sebagai penikmat pesta. Yang benar-benar menikmati pesta hanyalah parpol dan paslon .

Hingar-bingar kampanye hanyalah milik partai dan paslon. Rakyat hanya penggembira. Memang, selama pesta, rakyat disanjung dan dipuja. Suaranya pun sangat diharap-harapkan, bila perlu dihargakan dengan uang. Namun, usai pencoblosan, rakyat segera dilupakan. Parpol dan kepala daerah terpilih kembali menjauhi rakyat, bahkan seolah-olah tak pernah kenal dengan rakyat yang pernah memilih mereka.

Saya jadi teringat ceramah seorang kiai di kampung saya setahun lalu. Ia mengambil monyet sebagai analogi. Saat lapar, monyet akan turun dari pohon ke bawah mencari makanan atau sekadar sepotong pisang. Setelah makanan atau pisang didapat, dia akan naik lagi dan duduk-duduk santai di pohon sambil memakan makanannya hingga kenyang. Selama kenyang, dia akan tetap di atas pohon, dan baru turun lagi ke bawah saat lapar datang kembali.

Demikianlah para pejabat terpilih. Mereka akan ‘turba’ menyapa rakyat saat "lapar"; saat membutuhkan dukungan rakyat, sekali dalam lima tahun. Jika telah mendapatkan jabatan dan duduk di atas, serta kenyang menikmati segala fasilitas dan kemewahan, mereka segera melupakan rakyat yang ada di bawah. Mereka baru akan kembali ‘turba’ lima tahun berikutnya, tentu saat kembali membutuhkan dukungan rakyat.
*****

Namun, bangsa Indonesia memang bangsa yang pemaaf. Meski berkali-kali ditipu, dicurangi dan dikhianati, mereka dengan mudah memaafkan partai, para pejabat atau wakil rakyat yang pernah mereka pilih. Rakyat kembali antusias untuk datang kembali ke pesta-pora demokrasi; memilih kembali partai yang pernah menipu, melupakan atau bahkan mengkhianati mereka. Lagi-lagi rakyat dengan antusias dan bergembira ikut merayakan hajatan lima tahunan itu. Usai pesta, lagi-lagi mereka ditipu, dicurangi dan dikhianati. Hak-hak rakyat mereka abaikan. Tuntutan rakyat tak mereka pedulikan. Kekayaan rakyat mereka jadikan bancakan. Sumberdaya alam milik rakyat pun mereka gadaikan. Yang menakjubkan, semua itu tak lantas menjadikan rakyat berontak. Dalam keluguannya, mereka tetap sabar dan tawakal dalam kadar yang luar biasa.

Tak mau kalah dengan keluguan rakyat, dengan percaya diri para pejabat dan wakil rakyat itu kembali meminta dukungan rakyat saat pesta demokrasi datang lagi. Mungkin karena mereka pun merasakan, betapa pemaafnya bangsa ini. Karena itu, kembali mereka menyapa rakyat yang pernah mereka tinggalkan; kembali mereka meminta dukungan rakyat yang pernah mereka khianati, tanpa merasa risih dan berat hati.

Dipampanglah foto-foto mereka yang tampak sumringah, di ratusan bahkan ribuan spanduk dan baliho, lengkap dengan kopiah atau kerudung sebagai
simbol keshalihan. Tak lupa, senyum merekah, ramah dan tampak merakyat melengkapi manisnya tampilan spanduk dan baliho yang dipasang hingga ke sudut-sudut kampung terpencil, yang justru sebelumnya tak pernah terjamah oleh mereka.

Serasa masih kurang lengkap, ditambahkan pula slogan-slogan yang sungguh-sungguh membuat rakyat sepantasnya bangga. Betapa tidak. Rakyat tak harus bersusah-payah mengenal atau meneliti para calon pemimpin atau calon wakil mereka. Semua paslon dengan penuh kesadaran tinggi mengenalkan dirinya kepada rakyat lengkap dengan semua keunggulan dan kelebihannya lewat sejumlah jargon: “Jujur dan Ikhlas”, “Bersih dan Peduli”, “Pilihan Rakyat”, “Mengabdi Sepenuh Hati”, “Berjuang untuk Kepentingan Rakyat”, "Saatnya Membahagiakan Rakyat", dll. Begitulah pengakuan tulus ikhlas mereka.

Partai-partai pendukung paslon tentu tak ketinggalan. Masing-masing—juga dengan kepercayaan diri tingkat tinggi—mempromosikan dirinya di media cetak maupun elektronik, di ribuan spanduk atau baliho. Tak peduli bahwa selama ini mereka banyak mengkhianati rakyat sg mendukung kebijakan-kebijakan penguasa yg menzalimi rakyat.

Barangkali, hanya rakyat yang benar-benar ikhlas dan lugu yang bakal memilih kembali partai-partai semacam ini, termasuk para paslon yang mereka dukung. Pastinya, keikhlasan dan keluguan mereka gagal mendeteksi atau sekadar mencium aroma kebusukan dan kebobrokan demokrasi.

Itulah secuil musibah akibat demokrasi yang telah lama melanda negeri ini. Musibah akibat demokrasi yang sebenarnya, sesungguhnya jauh lebih berbahaya bagi bangsa ini dibandingkan dengan bencana akibat letusan Gunung Kelud sekalipun! Musibah yang jauh lebih besar itu tidak lain saat kedaulatan (elit wakil) rakyat mengalahkan kedaulatan Allah SWT. Saat demikian, yang Allah haramkan, dihalalkan (misal: miras, lgbt, dll); yang halal bahkan wajib, diharamkan (misal: penerapan syariah kaffah, apalagi khilafah).

Pertanyaannya: Masih kuatkah bangsa ini menghadapi musibah demi musibah akibat demokrasi?!
Semoga saja bangsa ini segera menyadari. Agar tak ada lagi orang berani menyapa, "Salam gigit jari!" []