PEMILIHAN DAN PENGANGKATAN GUBERNUR DALAM POLITIK ISLAM


Oleh : Tommy Abdillah, ST, MT
Divisi Litbang eLSIM (Lembaga Studi Islam Multy Dimensi)
Para pengamat politik dan elit politikus sering menyatakan bahwa Demokrasi di Indonesia yang diakui dunia semakin demokratis dan pemilihan umumnya berlangsung relatif luber dan jurdil termasuk diselenggarakannya pemilukada langsung.
Tetapi realitanya berbeda bahkan cukup mencengangkan bahwa pilkada secara langsung menimbulkan berbagai macam dampak negatif yaitu : pertama biaya politik sangat besar, kedua rusaknya pranata sosial di masyarakat yang sudah terbangun sebelum kemerdekaan, ketiga penyelenggara pemilu ternyata semakin tidak independen, keempat pemilih tidak semakin cerdas malah pragmatis, kelima orang yang terpilih adalah yang memiliki kekayaan, kekuasaan dan popularitas semata, keenam hasil kajian Pemerintah (Kemendagri) tentang 205 kepala daerah hasil Pilkada secara langsung yang terkena kasus hukum akibat tindak pidana korupsi yang ternyata tersandera oleh para pemodal (Kapitalis).
Pilkada serentak 2018 akan menjadi pilkada serentak gelombang ketiga yang memilih kepala daerah di 17 provinsi serta 154 kabupaten dan kota. Sebelumnya, pada 2017 sudah berlangsung pemilihan di 101 daerah dan pada 2015 berlangsung di 269 daerah.
Untuk memuluskan program pilkada serentak Komisi pemilihan umum (KPU) mengatakan total anggaran Pilkada Serentak 2018 sebesar Rp 11,4 triliun untuk 171 daerah. Anggaran pembiayaan pilkada ini tentunya sangat besar sehingga memperbesar APBN 2018 dan memperkecil anggaran untuk subsidi rakyat.
Bagaimana sistem politik Islam didalam pemilihan dan pengangkatan kepala daerah?
Gelar Kepala Daerah Didalam Islam
Mengutip dari wikipedia, Sulthan merupakan istilah bahasa Arab yang berarti Sulthan, raja, penguasa, keterangan atau dalil. Sulthan kemudian dijadikan sebutan untuk seorang raja atau pemimpin muslim yang memiliki suatu wilayah kedaulatan penuh yang disebut “Kesulthanan”. Dalam bahasa Ibrani “Shilton” atau “Shaltan” berarti wilayah kekauasaan atau rezim.
Sulthan berbeda dgn Khalifah yang dianggap sebagai pemimpin untuk keseluruhan umat Islam. Gelar Sultan biasanya dipakai sebagai pemimpin kaum muslimin untuk bangsa atau daerah kekuasaan tertentu saja atau sebagai raja bawahan atau gubernur bagi khalifah atas suatu wilayah tertentu.(1)
Didalam sistem politik Khilafah Islam Gubernur disebut dengan nama Wali, sedangkan Bupati disebut dgn 'Amil. Berdasarkan sunnah Rasulullah SAW dan ijmak sahabat dapat diketahui bahwa Wali (Gubernur) dan ‘amil (setingkat bupati/walikota) ditunjuk dan diangkat oleh seorang Khalifah atau Imam.
Sistem Pengangkatan Wali
Al-imam Ibnu Hazm rahimahullahu menjelaskan bahwa Rasulullah SAW mengangkat para wali dan ‘amil. Diantara wali dan ‘amil yang diangkat oleh Rasulullah SAW adalah : Muadz bin jabal r.a diangkat menjadi wali di Yaman, Uttab bin usayd r.a untuk wali di Makkah, Amr bin ash r.a wali di Oman Utsman bin Abu Al-ash Ats-tsaqafi r.a untuk wali di Thaif dsb.(2).
Wali adalah orang yang diangkat oleh Khalifah sebagai pejabat pemerintah untuk suatu wilayah Provinsi. Negeri yang diperintah oleh negara Khilafah dibagi dlm beberapa bagian dan setiap bagian disebut wilayah. Setiap wilayah dibagi dalam beberapa bagian dan setiap bagian disebut imalah.
Disebabkan para wali adl penguasa maka mereka harus memenuhi syarat-syarat sebagai penguasa yaitu : harus seorang laki-laki, muslim, baligh, berakal, merdeka, adil dan memiliki kemampuan. Wali tidak diangkat kecuali oleh Khalifah. Dasar adanya jabatan Wali adalah perbuatan Rasulullah SAW karena beliau yang telah mengangkat para wali untuk berbagai negeri. Rasulullah SAW mengangkat Muadz bin Jabal r.a sebagai wali diwilayah Janad, Abu Musa Al-ash’ari r.a sebagai wali diwilayah zabid & ’Adn.(3)
Pengangkatan Wali atau Gubernur dan ‘Amil atau Bupati didalam Islam langsung dipilih langsung oleh Khalifah bukan dipilih oleh rakyat. Tentunya pilihannya harus memenuhi kriteria pemimpin sesuai dengan hukum syara’ bukan atas dasar kepentingan penguasa, apalagi nepotisme. Bentuk pengangkatan model seperti ini lebih efektif dan efisien tanpa banyak membuang waktu dan biaya serta meminimalisir terjadinya konflik kepentingan.
Seorang Khalifah juga memiliki hak untuk memberhentikan Gubernur (Wali) dan Bupati (Amil). Hal ini dapat dilihat dari perbuatan (af'al) Rasulullah SAW ketika mengangkat para wali. Nabi SAW mengangkat Mu’adz bin jabal r.a sbg wali di Yaman. Beliau SAW juga yang memecat wali, sebagaimana beliau lakukan terhadap Al-A’la bin al-Hadhrami r.a, yang ketika itu menjadi wali di Bahrain karena ada pengaduan tentang dirinya dari penduduk setempat maka ia diberhentikan.
Hal Ini menunjukkan bahwa seorang wali juga bertanggung jawab kepada penduduk setempat, sebagaimana dia bertanggung jawab kepada khalifah dan Majelis Umat karena Majelis Umat merupakan perwakilan umat dari seluruh wilayah. Ini dalil yang berkaitan dengan pengangkatan, pemberhentian dan pertanggung jawaban para wali.
Bila seorang Khalifah mengangkat seorang Wali atau Gubernur yang tidak berkompeten maka ada lembaga Majelis ummat sebagai lembaga representatif ummat untuk mengoreksi dan mengontrol Khalifah didlm menjalankan tugas-tugasnya sehingga ia dapat menggantinya dengan yang lebih baik.
Penutup
Begitu mulia dan sempurnanya ajaran Islam (Kaffah) yang memiliki aturan yang jelas tentang tatanan kehidupan manusia mulai dari aqidah, ibadah, akhlaq hingga masalah politik. Semoga sistem politik Islam yakni sistem Khilafah yang sesuai dengan metode kenabian dapat kembali terwujud diterapkan sebelum hari kiamat tiba.
Wallahu a’lam
Referensi :
1. Ensiklopedi Islam, PT.Ichtiar Baru Van Hoeve, Jilid 4 hal 291, 2011.
2. Kitab Jawami’ As-sirah pd topik Umara’uhu shallallahu ‘alaihi wa sallam hal 23-24.
3. Kitab Ajhizah Ad-daulah Al-khilafah hal 119.