Humas HTI Sumut: Tidak Ada Keadilan Dalam Demokrasi

 

www.dakwahsumut.com, Medan. Humas Hizbut Tahrir Sumatera Utara Marwan Abu Zahid mengatakan dalam sistem demokrasi tidak pernah ada keadilan bagi kaum musliminl. Buktinya adanya pelarangan jilbab bagi polwan, perencanaan pengosongan kolom KTP, isu pelarangan doa bagi siswa, dan bahkan yang teranyar pembatasan tema khutbah jum’at. Hal itu beliau sampaikan dalam acara Tablig Akbar yang dilaksanakan oleh HTI Medan Perjuangan dengan tema "Indonesia Terancam Selamatkan dengan Syariat Islam" pada hari Ahad (28/12) bertempat di Masjid Perjuangan 45, Jl. H.M. Yamin, Medan.

Acara tersebut dipandu oleh Inspirator muda Medan, yakni Muhammad Yugi Parayogo, dengan semangat mengajak para peserta yang terdiri dari berbagai kalangan, untuk mengikuti acara dengan serius hingga akhir. Abdi Wardana, selaku DPC HTI Medan perjuangan. Beliau mengatakan dalam sambutannya bahwa kondisi umat muslim Indonesia tengah berada pada kondisi kritis, namun masih banyak dari kaum muslimin yang belum menyadari. Sehingga dengan adanya acara ini, dihdapakan umat benar-benar memahami dan turut berjuang agar terlepas dari belenggu penjajahan.

Sementara  pembicara  lain  Ustadz Selamet Riyadi, S.Hi  memaparkan betapa buruknya kondisi perekonomian negara ini. Salah satunya adalah hutang negara yang berdasarkan data di bulan Februari 2014 masih menanggung hutang sebesar Rp 2. 428, 63 triliun, dengan rasio terhadap PDB 24,7 %. Belum lagi 30 juta penduduk yang masih berada di garis kemiskinan, korupsi merambat ke seluruh instansi pemerintahan dan lainnya. Inilah buah diterapkannya sistem sekulerisme dan kapitalisme yang menjadikan asing bercokol dan meraup kekayaan negeri, sementara rakyat bertambah sengsara.

Ancaman Indonesia dari aspek pendidikan di utarakan juga Fatih al-Mallawiy Lajnah Tsaqofiyah HTI DPD I Sumut. Muara dari hancurnya pendidikan di negeri ini karena diterapkannya sistem kapitalisme, sekulerisme dan demokrasi dalam sistem pendidikan Indonesia. Sehingga katanya wajar jika pendidikan tidak lagi dipandang sebagai pencipta siswa yang cerdas dan pelepas kebodohan, namun sebagai wadah pengisi perut dan penyalur uang para lintah politik. Hingga, tidak lagi diperhatikan bagaimana kualitas siswa-siswi di sekolahan, materi pelajaran apa yang mereka peroleh dan pergaulan seperti apa yang mereka dapatkan.

Dia juga mempersoalkan bahwa sistem demokrasi yang mengkomersialkan pendidikan. Akhirnya wajar katanya jika para pelajar yang bersifat apatis, hedonis dan pragmatis. Menjadikan hura-hura sebagai aktivitas mereka, menjadikan style barat sebagai budaya mereka dan seks bebas menjadi rutinitas mereka. []Pendi/MISumut