Krisis Air Bersih di Medan Belawan: Bukti Nyata Penguasa Abai terhadap Hak Dasar Rakyat

 



Oleh: Aulia Zuriyati

(Aktivis Muslimah)


Air adalah karunia Allah yang tak ternilai. Fungsinya bukan hanya untuk minum, mandi, dan mencuci, tetapi juga sebagai penopang utama kehidupan manusia. Tanpa adanya air bersih, bukan hanya kesehatan yang terancam, tetapi juga keberlangsungan hidup manusia akan terganggu.


Namun, nyatanya saat ini karunia sebesar itu justru menjadi barang langka di tengah masyarakat. Inilah kenyataan pahit yang dialami oleh warga Jalan Selebes, Gang Paloh Perta, Lingkungan 36, Kelurahan Belawan II, Kecamatan Medan Belawan. Selama ini, warga hanya bisa mengandalkan sumur bor untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sayangnya, air dari sumur tersebut bukan hanya jauh dari kata bersih, tetapi juga berwarna kekuningan dan berbau tidak sedap. Bahkan, tidak sedikit warga yang mengalami gatal-gatal akibat penggunaan air tersebut. Ironisnya, warga tetap harus mengeluarkan biaya hanya untuk mendapatkan air dengan kualitas seperti itu. Ini bukan sekadar peristiwa, tetapi kenyataan yang mencabik hati nurani kita.


Wali Kota Medan, Rico Tri Putra Bayu Waas, akhirnya turun tangan langsung meninjau lokasi pada Senin, 19 Mei 2025. Ia mengakui bahwa kualitas air yang dikonsumsi warga sangat memprihatinkan. Kunjungan tersebut memang memberi secercah harapan. Namun, apakah itu cukup? Apakah sekadar kunjungan dan janji penambahan debit air mampu menyelesaikan akar persoalan?

(portal.medan.go.id, 19/5/2025).


Indonesia dikenal sebagai negara maritim yang dikelilingi laut, memiliki ribuan sungai, dan dikaruniai curah hujan tinggi. Namun, kenyataannya kekayaan alam tersebut justru berbanding terbalik dengan realitas yang terjadi di lapangan. Bencana kekeringan dan krisis air bersih justru menjadi masalah yang berulang di berbagai daerah, termasuk di Kota Medan.


Ada beberapa hal yang melatarbelakangi krisis ini. Pertama, kerusakan hutan yang terus terjadi akibat penebangan liar dan ekspansi industri, sehingga wilayah resapan air kian menyusut. Kedua, pencemaran sungai yang disebabkan oleh limbah domestik dan industri. Ketiga, alih fungsi lahan besar-besaran yang mengubah daerah resapan menjadi kawasan beton dan gedung pencakar langit.


Namun, semua itu hanyalah gejala. Akar permasalahan dari krisis ini terletak pada tata kelola negara yang berpijak pada sistem kapitalisme dan liberalisme, di mana pengelolaan sumber daya alam—termasuk air—dipandang sebagai komoditas ekonomi. Negara tidak lagi berperan sebagai pengurus rakyat, melainkan sebagai fasilitator bagi kepentingan pemilik modal. Maka tidak heran jika air, yang seharusnya menjadi hak semua orang, justru dijadikan barang dagangan.


Dalam Islam, air merupakan salah satu bentuk kepemilikan umum (milkiyyah 'ammah) yang tidak boleh diprivatisasi.

Rasulullah saw. bersabda:


“Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara: air, padang rumput, dan api.”

(h.r. Abu Dawud)


Artinya, air tidak boleh diperjualbelikan secara komersial karena ia adalah kebutuhan pokok seluruh manusia.


Dalam sistem Islam, negara wajib bertanggung jawab penuh atas kebutuhan rakyat—termasuk penyediaan air bersih—tanpa syarat langganan berbayar seperti sistem PDAM saat ini, apalagi diserahkan kepada pihak swasta. Pengelolaan air dilakukan langsung oleh negara sebagai bentuk pelayanan dan tanggung jawab terhadap rakyat. Negara memastikan rakyat mendapatkan akses air secara adil dan merata.


Islam juga memiliki konsep lingkungan yang sangat progresif, dikenal dengan istilah hima, yaitu kawasan lindung yang ditetapkan untuk menjaga keseimbangan alam—termasuk kelestarian sumber air. Hutan, daerah aliran sungai, dan wilayah resapan dikelola secara serius dan penuh tanggung jawab oleh negara agar tetap lestari dan bermanfaat bagi umat.


Dengan menggunakan Baitul Mal sebagai lembaga keuangan negara dalam sistem Islam, tersedia pos-pos khusus yang digunakan untuk membiayai pembangunan infrastruktur air, perbaikan saluran, dan pemeliharaan lingkungan. Semua ini dilakukan tanpa menunggu investor atau proyek komersial. Dalam Islam, melayani rakyat adalah ibadah—bukan proyek yang harus menghasilkan keuntungan bagi negara.


Rasulullah saw. bersabda:

"Imam adalah pemelihara rakyat, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang ia pimpin."

(h.r. Bukhari dan Muslim)


Artinya, jika suatu wilayah mengalami kekurangan air, maka pemimpin bertanggung jawab penuh. Ia tidak boleh diam dan menunggu desakan warga. Inilah sistem yang berpihak pada rakyat—bukan sekadar janji—tetapi memiliki struktur dan hukum yang memastikan pelayanan publik menjadi bagian dari amanah dan ibadah.


Sayangnya, selama sistem kapitalisme masih menjadi dasar pengaturan kehidupan, maka harapan akan ketersediaan air bersih yang adil dan merata hanyalah mimpi di siang bolong. Rakyat akan terus menjadi korban, sementara elite pemilik modal terus diuntungkan.


Solusi mendasar dari krisis ini bukanlah sekadar menambah pipa atau memperbaiki sumur, melainkan mengubah sistem yang menjadi akar masalah. Kita membutuhkan sistem yang mampu menjamin hak-hak dasar seluruh warga negara—tanpa diskriminasi dan tanpa syarat ekonomi. Perubahan hakiki tidak datang dari tambal-sulam kebijakan, melainkan dari transformasi sistemik. Sudah saatnya umat Islam menyadari bahwa sistem Islam bukan hanya solusi spiritual, tetapi juga solusi praktis yang mampu mewujudkan keadilan, kesejahteraan, dan ketersediaan air bersih bagi seluruh umat manusia.


Wallahualam bissawab.