Empat Poin Kritik Terhadap Ulil Abshar Abdalla Terkait Dikotomi Khilafah


 

Dakwahsumut.com,- Pakar Fikih Kontemporer K.H. Muhammad Shiddiq Al Jawi memberi kritik terhadap pernyataan Ulil Abshar Abdalla yang membuat dikotomi khilafah menjadi khilafah siyasiyah dan khilafah tsaqofiyyah.

"Ide Ulil ini perlu diberi kritik secukupnya," tegas Kiai Shiddiq dalam Keterangan Tertulisnya (26/7/2023) di Yogyakarta.

Pertama, ia mengatakan dikotomi khilafah siyasiyah dan khilafah tsaqofiyyah itu kontradiktif dengan fiqih Islam, karena bertentangan dengan hukum wajibnya Khilafah. Dalam kitab-kitab fiqih, Khilafah yang sinonim dengan Imamah itu, hukumnya adalah wajib.

"Syekh Abdurrahman Al-Juzairi, dalam kitab fiqihnya Al-Fiqh ‘Ala Al-Madzāhib Al-Arba’ah menegaskan,”ittifaqal a’immatu rahimahumullahu ta’āla ‘ala annal imāmatu fardhun, artinya,”Para imam yang empat, yaitu Imam abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’I, dan Imam Ahmad, semoga Allah memberi rahmat kepada mereka, telah sepakat bahwa Imamah (Khilafah) adalah fardhu (wajib).” (Abdurrahman Al-Juzairi, Al-Fiqh ‘Ala Al-Madzāhib Al-Arba’ah, 4/516)," paparnya.

Kedua basis dikotomi itu sesungguhnya adalah tidak jelas (atau minimal) tidak dijelaskan oleh Ulil. Jika dipikir secara mendalam, basisnya ada dua, pertama jalan tengah, yaitu di satu sisi mengakui Khilafah, tapi di sisi lain tetap mempertahankan NKRI.

"Adapun basis kedua_ dikotomi Khilafah ala Ulil itu didasarkan pada sikap mensakralkan NKRI sebagai sistem final yang bersifat suci yang tidak bisa diubah secara absolut. Sikap memfinalkan NKRI itu justru bertentangan dengan sejarah bentuk negara di Indonesia yang dinamis dan bertentangan pula dengan aspek normatif dalam UUD 1945, khususnya UUD 1945 yang asli," tuturnya.


Ketiga Kiai Shiddiq mengatakan pernyataan Ulil bahwa khilafah tsaqofiyyah di pesantren dilestarikan dalam bentuk ilmu, salah satunya tentang thareqat yang banyak berkembang di pesantren tidak proporsional, karena thareqat ini posisinya hanya sebagai salah satu unsur dari kultur pesantren. Ini terkait dengan posisi pesantren sebagai sub kultur, sebagaimana kata Gus Dur (www.gusdur.net)," ungkapnya.

"Berdasarkan yang dipahaminya dari ide pesantren sebagai sub kultur oleh Gus Dur, bahwa pesantren itu mempunya kultur "tradisional" yang sifatnya minor, sebagai bagian integral dari kultur "moderen" yang mayor (dominan), yang menguasai ranah publik. Padahal an-nādir lā hukma lahu, sesuatu yang jarang atau minor itu tidak mempunyai kekuatan hukum. (Ibnul Qayyim,Zādul Ma’ād, 5/421)," jelasnya.

Keempat terkait pernyataan Ulil bahwa Thareqat Naqsabandiyah, yang banyak diamalkan di pesantren, didirikan pada masa Khilafah Utsmaniyah, scara historis keliru, karena thareqat Naqsabandiyah lahir sebelum eksisnya Khilafah Utsmaniyah. Thareqat Naqsabandiyah pertama kali muncul pada abad ke-14 M di Turkistan. Pencetusnya bernama Muhammad bin Muhammad Baha’udin al-Bukhari, yang kemudian mendapatkan gelar Syah Naqsyaband. Dia dilahirkan tahun 618 H dan meninggal tahun 719 H, atau hidup antara 1317-1389 M. _(Al-Mausū’ah Al-Muyassaroh fi Al-Adyān wa Al-Madzāhib, 1/260).

"Padahal Khilafah Utsmaniyyah, baru eksis sebagai Khilafah yang meneruskan estafet kekhalifahan Khilafah Abbasiyah ketika Sultan Salim I di Turki berkuasa pada 1512-1550 M," sanggahnya.

"Jadi, tidak benar kata Ulil bahwa Thareqat Naqsabandiyah didirikan pada masa Khilafah Utsmaniyah. Ini salah secara historis. Ulil tidak teliti," pungkasnya.[]Muhammad Nur